Editorial

HPN 2022: Pers Lawan Hoaks, Konfirmasi Sebelum Publikasi, Saring Sebelum Sharing

Published

on

Suarahimpunan.com – Kemudahan mengakses informasi di era digital seperti sekarang ini, tidak menjamin masyarakat umum dapat menyaring informasi dengan baik. Pada realitanya, kemudahan mengakses informasi justru sering kali membuat kegaduhan, baik dalam ranah privasi maupun publik.

Tidak bisa kita pungkiri, masyarakat cenderung lebih mudah menelan informasi viral yang belum tentu benar alias hoaks, ketimbang berita yang aktual. Media massa atau platform yang menyebarluaskan informasi secara tidak sadar mereka telah melakukan framing atau menggiring opini publik.

Tentu cepatnya penyebaran informasi bisa menjadi boomerang tersendiri, dan bahkan bisa sampai menghilangkan nyawa orang lain. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu sosial media dihebohkan dengan pemberitaan seorang lansia yang meninggal dikeroyok massa karena diteriaki maling mobil.

Pengguna jalan yang mendengar ini pun turut serta mengejar mobil yang dikendarai oleh lansia tersebut, entah karena ingin menolong si penyebar atau mengedepankan emosi, massa justru melakukan main hakim sendiri tanpa memberi waktu klarifikasi.

Dahsyatnya burung yang belum terverifikasi ini akan berdampak pada psikologis dan tindakan si pembaca atau pendengar. Sebagai contoh lain, pada 2019 lalu, jagat raya sosial media dihebohkan oleh tagar #saveaudrey dan #justiceforaudrey.

Tagar ini muncul sebab Audrey yang mengaku mendapat perundungan dari kakak kelasnya. Warganet pun banyak yang bersimpati dan berempati dengan menggunakan tagar tersebut, dan mendesak pihak berwajib mengusut tuntas kasus perundungan tersebut.

Teranyar, kasus video ceramah milik Oki Setiana Dewi yang beberapa hari lalu viral di media sosial. Dalam video tersebut, digambarkan seolah-olah Oki menyebut para istri yang melaporkan kasus KDRT sebagai wanita yang lemah. Media pun mengutip penggalan ceramah tersebut dan dijadikan berita, tanpa melakukan konfirmasi.

Hingga akhirnya, Oki Setiana Dewi buka suara. Ia pun meminta maaf atas penggalan ceramah dirinya yang beredar, dan memberikan tautan link ceramah versi lengkapnya kepada netizen. Ia juga menegaskan bahwa dirinya menolak KDRT.

“Assalamualaikum sahabat semua, kemarin saya mendapatkan pesan dari beberapa teman mengenai potongan ceramah saya dua atau tiga tahun lalu. Di atas inilah video versi panjangnya. Terima kasih atas perhatian dan kasih sayangnya. Tentu, saya sangat menolak kekerasan dalam rumah tangga. Mohon maaf lahir batin atas kesalahan dalam menyampaikan dan semoga Allah mengampuni saya dalam setiap kesalahan-kesalahan saya,” katanya dalam akun instagram resmi miliknya.

Baca Juga:  Untuk Tingkatkan PAD Kota Serang, HMI MPO Cabang Serang Usulkan Bentuk BPRS

Meskipun telah melakukan klarifikasi, nyatanya perundungan terhadap Oki Setiana Dewi masih terus berlanjut. Sejumlah tokoh publik masih saja menyindir-nyindir potongan ceramah tersebut.

Seperti yang dilakukan oleh Dedy Corbuzier dalam kanal YouTube miliknya. Seperti dikutip dari PikiranRakyat.com, diduga Dedy menyindir ceramah yang disampaikan oleh Oki, dengan mengatakan bahwa jika dia yang melakukan KDRT, maka si istri tidak akan bisa berbuat banyak.

“Pasti suaminya bukan saya, karena kalau saya yang mukul Anda pasti nggak bisa ngapa-ngapain,” katanya.

Selain itu, Deddy melontarkan sindiran pedas lainnya dengan menyebutkan bahwa doa tidak berguna saat seseorang mendapatkan pukulan.

“Apapun yang terjadi harus disertai dengan doa. Biar bagaimana pun, doa itu bagus. Tapi, kalau dipukulin terus, doa Anda juga nggak nolong sih sebenarnya,” katanya lagi.

Tentu saja hal ini sangat mengkhawatirkan jika tidak bisa menelaah informasi dengan benar. Akibatnya, jika seseorang bahkan pers membenarkan dan menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya, akan ada banyak pihak yang mengalami kerugian. Apalagi pada era digital sekarang ini informasi sangat mudah menyebar melalui media sosial seperti WhatsApp, Instagram, Line, Telegram, dan lain sebagainya.

Praktik yang lumrah saat ini terjadi di dunia pers Indonesia ialah mencuplik informasi dari media sosial. Namun hal itu terkadang berbahaya, apalagi yang sifatnya informasi ‘berat’ dan berdampak pada keselamatan hidup masyarakat. Apalagi, media sosial milik pemerintah saja masih sering tidak benar dalam membagikan informasi.

Publik, khususnya Banten, mungkin masih bisa ingat pada 2018 lalu, ketika terjadi Tsunami Selat Sunda, media sosial milik BMKG menyebutkan kalau kejadian di Selat Sunda bukan Tsunami, melainkan air pasang.

Pada akhirnya, banyak media yang mengambil informasi tersebut dari unggahan media sosial BMKG, dan menyebut bahwa Tsunami Selat Sunda merupakan hoaks. Namun karena tidak melakukan konfirmasi dan klarifikasi, apa yang disebut hoaks nyatanya merupakan kebenaran.

Baca Juga:  Gelar Parade Satire dan Solat Ghoib, HMI (MPO) Cabang Serang Tolak Revisi UU KPK

Seperti halnya pemberitaan yang menegaskan kalau Tsunami Selat Sunda bukan merupakan Tsunami, yang disampaikan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho.

Sebagai Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, sudah pasti awak media percaya dengan keterangan dia. Akan tetapi, ternyata Sutopo sendiri termakan hoaks yang disampaikan oleh akun media sosial BMKG yang pada akhirnya telah dihapus itu.

Ahli Komunikasi dari Universitas Indonesia, Profesor Muhammad Alwi Dahlan yang juga merupakan mantan Menteri Penerangan, berpendapat bahwa hoaks ialah manipulasi berita yang sengaja dilakukan dan memiliki tujuan untuk memberikan pengakuan atau pemahaman yang salah.

Tujuannya ialah untuk mendapat perhatian para pembaca, yang didalamnya terdapat penyelewengan fakta sehingga pembaca tertarik untuk membacanya.

Banyak dari media-media di Indonesia saat ini, juga menggunakan teknik ‘manipulasi’ judul, dengan menggunakan judul yang boombastis, namun tidak relevan dengan isi pemberitaan. Tentunya hal itu berbahaya, mengingat kecenderungan masyarakat Indonesia hanya membaca judul saja.

Media yang paham akan etika pers tentunya dapat mengindari penyebaran berita hoaks. Sebab dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, dalam BAB II pasal 6 dalam poin c dan e telah dijelaskan bahwa: c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Sebagai insan pers yang berpedoman tentunya penting bagi kita untuk menginformasikan kabar yang telah terverifikasi. Sebab, bila kita menyebarkan informasi palsu atau bohong, itu akan berdampak pada legalitas media redaksi tersebut.

Konfirmasi sebelum publikasi terhadap pemberitaan, sangat penting dilakukan. Setidaknya, upaya untuk melakukan hal tersebut sangat penting, sehingga tidak terjadi disinformasi dalam pemberitaan yang dibuat. Masyarakat pun harus cerdas dalam menyaring informasi, sebelum sharing.

Dalam kasus ini, tentunya pers memiliki fungsi untuk menjadi wadah pendidikan bagi masyarakat, sebagaimana dalam UU No 40 tahun 1990 pasal 1 butir 1. Pers harus menjadi garda terdepan dalam melawan hoaks, jangan malah terbawa hoaks atau bahkan menyebarkan hoaks.

(AL/LIAN/ARA/SALMA/SPT)

Lagi Trending