Jakarta, suarahimpunan.com – Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam – Majelis Penyelamat Organisasi (PB HMI MPO) mendesak Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpu untuk membatalkan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Hal tersebut lantaran dalam proses penyusunannya dinilai cacat prosedural dan mengebiri kedaulatan rakyat.
Desakan tersebut dilontarkan dalam aksi unjuk rasa memperingati momentum setahun kepemimpinan Jokowi-Amin di Jakarta. Hadir dalam aksi tersebut perwakilan HMI MPO Cabang Jakarta, Tangerang Raya, Lebak dan Cabang Serang.
Sekretaris Jendral (Sekjend) PB HMI MPO, Zunnur Roin, dalam orasinya mengatakan bahwa rezim Jokowi-Amin dalam hal hingar bingar UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, mengisyaratkan ketidakberpihakannya terhadap kedaulatan rakyat.
“Maka di satu tahun kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf ini, HMI MPO menuntut Jokowi agar menjalankan dengan benar amanah UUD 45 dan tegas berpihak dengan rakyat,” ujarnya di atas mobil komando, Selasa (20/10).
Secara kelembagaan, ia mewakili PB HMI MPO mengajak seluruh elemen masyarakat agar tetap konsisten untuk menolak dengan keras UU Omnibus Law Cipta Kerja, dengan mendesak Presiden Jokowi mengeluarkan Perpu Pembatalan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
“HMI MPO dengan seluruh elemen struktur dari PB Hingga Komisariat akan berikhtiar membangun eskalasi gerakan, untuk melawan kedurjanaan pemerintah atas keberpihakannya dengan kepentingan oligarki yang rakus dan menindas,” tegasnya.
Ditemui seusai aksi, Zunnur mengatakan bahwa UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada 5 Oktober lalu dinilai tidak dipandu dengan naskah akademi yang kajiannya mendalam. Selain itu juga dalam pembentukan UU sapu jagat ini disebutkan minim transparansi terhadap publik, dan berkiblat pada kepentingan kelompok tertentu.
“Pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja pun disinyalir menempuh mekanisme legislasi yang tidak pantas dalam politik hukum dan memeras nilai demokrasi di Indonesia. Proses politik perundang-undangannya mempersembahkan praktik yang mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat,” ucapnya.
Di tempat yang sana, Koordinator Aksi, Ahmad Izzat Jazuli, mengatakan bahwa DPR dan pemerintah terkesan menutup mata dan telinga atas gelombang kritik yang terus berkembang. Padahal menurutnya, suara-suara kritik tersebut merupakan kebutuhan akan keadilan yang terancam jika UU tersebut direalisasikan.
“Dalil investasi dan pandemi dibenturkan, meskipun relevansi antara pasal-pasal yang terdapat dalam UU Omnibus Law dengan usaha pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 masih lemah. Justru UU ini menafikkan peningkatan daya saing negara dalam kompetisi menarik minat investor asing atau dalam rangka meningkatkan skor Global Competitiveness Index,” jelasnya.
Sehingga, ia menduga bahwa situasi pandemi justru dijadikan oleh penguasa untuk melakukan persekongkolan melalui pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja, yang sarat akan kepentingan kelompok tertentu dan dinilai cacat formil.
“Faktanya, beredar 4 versi naskah final dengan beberapa pasal yang berubah secara substansial. Temuan itu membuktikan cacatnya aspek formil pada proses legislasi UU tersebut, karena dilakukannya revisi naskah pasca pengesahan. Noda-noda persengkokolan sangat tampak dengan karut marutnya mekanisme yang dipaksakan,” tandasnya. (RED)