Rami Musrady Zaini,
Ketua Umum HMI Cabang Kendari dari Tahun 2006-2010.
PLENO III PB HMI itu sedang berlansung di tempat lahirnya, Djogyakarta. Kota yang penuh kenangan heroisme yang merekam jejak perlawanan dan kebangkitan bangsa yang bernama Indonesia.
HMI yang pernah juga saya katakan bak kembar dengan bangunan Indonesia ini pun, punya kenangan heroisme di Kota Sri Sultan itu.
Pleno III itu akhirnya digelar di salah satu hotel megah di Kabupaten Sleman, DIY. Saya pun hadir disitu menyaksikan sedikit pengantar pembuka yang di lontarkan dari orang-orang yang kecil hingga yang besar.
Sembari itu, saya tertuju pada sebuah tema dalam baliho ukuran kurang lebih 7 x 4 itu. Disana tersurat “HMI baru dan berkeadilan”.
Saya langsung menafsirkan, term kebaruan mungkin dirasa tak asing lagi bagi orang-orang HMI, tetapi saya masih menunggu sebuah kesimpulan. Apa yang baru itu?
Tapi baiklah saya mencoba mendekati dengan pendekatan manajemen organisasi. HMI sebagai sebuah organisasi bisa dibilang telah mendekati uzur, untuk itu kebutuhan akan sebuah padanan sistem dan manajemen yang baru, HMI memang dituntut untuk melakukan pembaharuan.
Secara singkat dalam sambutannya ketua PB HMI hanya mendekati kebaruan itu dari sudut pandang konstitusional yang dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi zaman. Ini juga menyentuh pada kebaruan khittah perjuangan yang dirasa perlu untuk di upgrade atau mungkin untuk diganti.
Disini, saya setuju dengan ketua PB HMI, sebab dalam teori manajemen modern kebaruan itu hanya bisa di dapat dengan perubahan yang fundamental. Apa itu? kebaruan yang sepenuh-penuhnya. Dimulai dari perubahan bangunan paradigma dan ide-logos. Di HMI ia bermula di khittah perjuangan.
Bagaimana dengan keadilan?
Hampir tak ada padanan yang tepat dalam literatur hukum tentang arti dari sebuah keadilan. Karena keadilan adalah menuntut sebuah kepuasan, sedang kepuasan itu sendiri adalah jawaban dari pemenuhan sebuah kebutuhan.
Di konteks HMI, Apa yang menjadi kebutuhan? Jujur hari ini, kalau saya boleh berterus terang kebutuhan dari HMI itu adalah keadilan itu sendiri.
Sampai disini mari Kita mulai merenung!
Saya pernah mendengar istilah desentralisasi perkaderan. Saat itu saya masih aktif ber-HMI. Dirasakan bahwa selain Poros Jakarta-Jogyakarta-makassar tumbuh kembang sebuah perkaderan di sebuah cabang diluar cabang yang saya sebutkan tadi ibarat metafor bunga yang layu, hidup segan mati pun tak kunjung tiba.
Adalah dari itu saya yang waktu itu masih duduk di pengurus cabang berkomitmen untuk menjawab tantangan desentralisasi perkaderan itu di rumah masing-masing yang bernama Kendari.
Di tahun 2006 berdiri, hingga warsa 2019 ini tersebutlah beberapa cabang yang lahir dari induksi cabang Kendari, lahirlah Baubau, Konawe, Raha, dan kolaka Utara. Dan akhirnya di kurun waktu tiga tahun terakhir Badan Koordinasi Sulawesi Tenggara lahir, ia berdiri bergandengan nama dalam sebuah Provinsi yang juga Sulawesi Tenggara. Tak ada badko seperti itu dalam tradisi HMI MPO yang betul-betul menempatkan tema desentralisasi perkaderan itu Secara dengan desentralisasi pembangunan ala otonomi daerah.
Tepatnya, saya ingin mengatakan bahwa jawaban dari kebaruan dan keadilan itu adalah menguatkan lagi desentralisasi perkaderan tersebut.
Sebutlah kegiatan-kegiatan nasional HMI semisal Kongres hanya berkutat pada cabang-cabang yang telah saya sebutkan tadi. Jika saya tidak salah, Jakarta-Jogyakarta-makassar-Bogor, Pekanbaru, Palu, terakhir sorong pernah menjadi tuan rumah Kongres.
Tetapi sekali lagi, frekuensi terbesar tertuju pada poros yang telah saya singgung di atas. Olehnya jikalau PB HMI ingin menjawab masalah tema Pleno, mungkin term desentralisasi perkaderan masih sedikit memiliki irisan dengan kebaruan dan keadilan ber-HMI.
Dimulai dari menempatkan tuan rumah Kongres yang tidak hanya baru tetapi juga mengusung mandat keadilan. Semoga.