Kabar
Ditta Rahmawati Illahi: Kontribusi Abdul Qadir Hassan terhadap Hadis dan Ilmu Hadis di Indonesia
Published
2 tahun agoon
Suarahimpunan.com – Dilansir dari laman ejournal.stdiis.ac.id, telah diterbitkannya Al-Atsar: Jurnal Ilmu Hadits volume 1 nomor 1 pada bulan April 2023 ini. Jurnal Al-Atsar diterbitkan oleh tim redaksi dua kali dalam setiap tahun akademik, yaitu pada bulan April dan Oktober. Pada edisi kali ini tim redaksi mengangkat 5 judul penelitian ilmiah yang berkaitan dengan tokoh hadis, fikih hadis, kitab hadis, kritik hadis, living hadis dan aplikasi hadis. Diterbitkannya pada hari Selasa (10/01).
Mahasiswi semester 6 program studi ilmu hadis Sekolah Tinggi Islam Imam Syafii’i Jember (STDIIS), Ditta Rahmawati Illahi, mengatakan “Sepak terjang Abdul Qadir Hassan dalam bidang hadis sangatlah banyak. Kontribusi beliau secara langsung seperti mengajar mulai dari tingkat pendidikan tsanawiyyahdan aliyyah (di pesantren PERSIS), perkuliahan di Universitas Persatuan Islam, menjadi anggota dari Rabitat al-‘Alam al-Islami. Dalam bidang publikasi beliau rajin menuliskan hasil kajiannya terhadap al-Qur’an maupun hadis. Karya-karya tulis tersebut ada yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, risalah (buku tipis), dalam majalah, dan ada pula yang masih tersimpan dalam bentuk tulisan tangan (manuskrip),” ujarnya.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa dalam jurnal kepenulisannya AL-ATSAR : Jurnal Ilmu HaditsVol. 1 No. 1 April 2023.
“Sebagai sebuah upaya mengenang kembali kontribusi Abdul Qadir Hassan sebagai salah satu ulama hadis di Indonesia yang kontribusinya berpengaruh hingga kini, artikel ini sungguh penting guna membuka mata umat islam akan peran ulama yang berkontribusi, berjuang dan berdedikasi bagi kemajuan umat islam dulu dan sekarang,” ungkapnya.
“Alhamdulillah bini’mati tatimmusholihat, jika bukan karena bantuan Allah, ustadz, partner dan semua temen saya, saya gatau apakah bisa menyelesaikan ini semua,” tandasnya.
“Semoga apa yang saya tulis dapat bermanfaat bagi agama dan ummat, meskipun tulisan saya masih jauh dari kata baik,” tegasnya.
Pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan metode penelitian pustaka yaitu penelitian yang berorientasi pada kajian terhadap data-data kepustakaan yang relevan dengan tema penelitian. Pada penelitian ini, penulis juga menggunakan metode kualitatif, dengan mengumpulkan data pustaka yang relevan. Selanjutnya dengan metode deskriptif analitik, penulis berusaha memahami, menjelaskan dan menganalisis data-data tersebut. Dan pada akhir penelitian, penulis berusaha menarik satu kesimpulan yang sesuai dengan data yang berhasil dikumpulkan.
1. Riwayat Hidup, Keluarga dan Pendidikan
Abdul Qadir Hassan lahir di Singapura pada tahun 1914. Ia merupakan putera pertama dari Guru Besar PERSIS (Persatuan Islam), A. Hassan (yang lebih dikenal dengan Hassan Bandung atau Hassan Bangil). Pendidikannya diawali di Sekolah Melayu, Singapura. Pada tahun 1923, kemudian ia pindah ke Surabaya dan belajar di Taman Siswa. Ketika ayahnya pindah ke Bandung, ia melanjutkan pendidikannya di HIS (Hollands Inlandse School) Bandung dan memasuki Sekolah Ambtenaren Belanda selama dua tahun.
Pengetahuan agamanya ia pelajari dari ayahnya (A. Hassan) dan selebihnya secara otodidak. Abdul Qadir Hassan menikah di Bandung dengan seorang gadis berdarah Minang bernama Zuraidah. Dari pernikahan ini Abdul Qadir Hassan dikaruniai dua orang putra, yaitu Zuhri dan Zuhal. Zuhri meninggal ketika berusia 16 tahun. Pada tahun 1940, Abdul Qadir Hassan dan Zuraidah berpisah karena Zuraidah tidak mau ikut beliau pindah ke Bangil.
Tahun 1942, Abdul Qadir Hassan menikah lagi di Singosari dengan gadis berdarah Turki bernama Khalidah. Ia dikarunia 9 orang putera-puteri, yaitu Zuhriyah, Shafiyah, Ghazie, Majidah, Hamimah, Luthfiyah, Sakinah, Rafidah, dan Rifqie. Pada usianya yang masih muda, Abdul Qadir Hassan sudah mampu menjadi tenaga pengajar di Pesantren Persis Bandung, bahkan pada usia 22 tahun, ia telah memiliki kemampuan menyusun buku Qamus al-Qur’an, yang digarap selama sepuluh tahun. Buku tersebut hingga kini sudah dicetak berulang kali.
Ketika ayahnya (A. Hassan) pindah dari Bandung menuju Bangil sekitar tahun1940, Abdul Qadir Hassan masih aktif mengajar di Bandung. Hal itu berlangsung hingga tahun 1950 ketika zaman pendudukan Jepang. Setelah itu, ia turut mengajar dengan ayahnya di Pesantren Persis Bangil dan menjabat sebagai mudir amm (putra dan putri).
Hal tersebut terus dilakukan hingga akhir hayatnya.Di masa hidupnya, Abdul Qadir Hassan mengasuh Pesantren Persis Bangil menggantikan ayahnya, di samping memimpin Dewan Hisbah Persis ketika Persis diketuai oleh E. Abdurrahman (Periode 1962-1983). Dewan Hisbah Persis sebelumnya bernama Majelis Ulama Persis. Tugas Majelis Ulama ini adalah menyelidiki dan menetapkan hukum-hukum Islam berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnahdan PP. Persis yang menyiarkannya. Anggota-anggotanya antara lain M. Tamim, A. Hassan, Abdul Qadir Hassan, E. Abdurrahman, Munawar Chalil, T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Abdullah Ahmad, dan lain-lain.
Abdul Qadir Hassan juga menjadi dosen pada Fakultas Syariah, Universitas Pesantren Islam di Bangil yang pada waktu itu diketuai oleh Dr. Fuad Moehammad Fachroeddin. Selain itu, di dunia international ia dipercaya oleh Rabitat al-‘Alam al-Islami (Liga Islam Se-Dunia) menjadi anggota al-Majma‘ al-Fiqhi al-Islami di Makkah. Lembaga ini merupakan laboratorium fikih yang beranggotakan sejumlah ulama dan ahli fikih untuk melakukan studi tentang kenyataan hidup umat Islam dalam berbagai problema yang dihadapinya serta mencarikan jalan pemecahannya yang benar sesuai dengan prinsip-prinsip al-Qur’an dan al-Sunnah,di samping ijma’dan sumber-sumber fikih Islam lainnya yang muktamad.
Ketika hendak menghadiri konferensi tahunan al-Majma‘ al-Fiqhi al-Islamidi Makkah, Abdul Qadir Hassan jatuh sakit. Setelah dirawat di RSUP Dr. Sutomo Surabaya, selama 40 hari, dengan melalui operasi sebanyak dua kali, barulah diketahui bahwa ia mengidap penyakit kanker paru-paru, yang telah menjalar ke daerah sumsum pangkal paha kanannya.
Sepulang dirawat dari RSUP Dr. Sutomo Surabaya, Abdul Qadir Hassan sempat istirahat selama satu minggu di rumahnya.
Kemudian tanggal 19 Juli 1984 menuju RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta untuk melanjutkan pengobatannya. Ia dirawat hingga tanggal 10 Agustus 1984. Dalam perawatan di Jakarta, ia sempat pula dioperasi untuk yang ketiga kalinya, setelah diketahui kanker yang menjalar ke sumsum paha kanannya cukup parah. Ketika para dokter sudah tidak mampu menanganinya, akhirnya ia kembali dibawa menuju rumahnya di Bangil, sampai pada saat terakhir kondisi badannya terus kian menurun.
Pada hari Sabtu, tanggal 25 Agustus 1984 sekitar pukul 21:50WIB, Abdul Qadir Hassan wafat di kediamannya, Jalan Pembangunan (sekarang Jalan Pattimura) No. 185 Bangil, Jawa Timur. Ia dikuburkan di Pekuburan Segok Bangil, berdampingan dengan kuburan ayahnya (A. Hassan), setelah sebelumnya ribuan umat Islam turut mensalatkannya di Masjid Manarul Islam Bangil.
Abdul Qadir Hassan merupakan sosok pribadi, yang hidupnya tawakal dan sabar. Hal itu dibuktikan di kala ia sakit keras, nampaknya tidak pernah terlontar kata keluhan. Beliau senantiasa menampakkan keceriaan, sebagai bukti kebesaran jiwanya. Di samping itu, ia juga sebagai sosok pribadi yang memiliki prinsip tangguh, baik dalam sikap ijtihadnya dalam menentukan suatu istinbat hukum, maupun dalam sikap pribadi, yang tidak pernah terbawa arus oleh situasi dan kondisi.
Abdul Qadir Hassan merupakan ulama yang senantiasa konsisten dalam memegang prinsip yang diyakininya, setelah sebelumnya mengadakan pengkajian terhadap al-Qur’an dan hadis sahih, baik dalam lisan maupun amal. Dan beliau tidak pernah mundur setapak pun, misalkan saja dalam masalah sedekap ketika berdiri i’tidalsetelah rukuk dan bacaan surat al-Fatihah dalam salat khusuf (gerhana).
Berbeda dengan ulama lainnya, Abdul Qadir Hassan tidak mau berjabat tangan dengan santriwatinya, dan tangannya tidak suka dicium, ia juga melarang murid-muridnya berdiri menghormatinya ketika beliau datang. Semua itu dilakukan oleh Abdul Qadir Hassan karena menerapkan pemahamannya terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah yang pada pada diri beliau.
2. Karya-karya Abdul Qadir Hassan
Abdul Qadir Hassan termasuk seorang penulis yang produktif. Baik tulisan berbahasa Indonesia atau berbahasa Arab. Karya-karya tulis tersebut ada yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, risalah (buku tipis), dalam majalah, dan ada pula yang masih tersimpan dalam bentuk tulisan tangan (manuskrip). Penguasaan beliau terhadap ilmu tersebut, mampu melahirkan sejumlah karya seperti:
Qamus al-Qur’an, Ushul al-Fiqh, Kata Berjawab, Cara Berdiri I‘tidal, Kebenaran Takbir 7 dan 5 Pada Salat ‘Idain, Risalah Puasa, Petunjuk, Min al-Wahyi, Al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah, ‘Ilm al-‘Arud.
Dengan melihat karya-karya beliau diatas, maka dapat dikatakan bahwa beliau aktif dalam bidang publikasi. Dan yang lebih menarik perhatian penulis adalah pada karya kajian hadis dan ilmu hadis dalam kitabnya IlmuMusthalah Hadits. Kitab yang berisi uraian mendalam tentang hadis. Yang tadinya kitab ini terdiri atas dua juz ayng diterbitkan secara berangsur. Sebenarnya kedua juz itu belum mencakup seluruh uraian Ilmu Musthalah Hadits. Oleh karena itu, pada terbitan yang kedua juz itu telah dilengkapi, dan untuk memudahkan pembaca dalam menelaah kitab tersebut, diusahakan untuk diterbitkan dalam satu jilid.
3. Kontribusi dan Karakteristik Abdul Qadir Hasan
Yang pertama yaitu melalui lembaga pendidikan, dibawah kepemimpinan beliau, Pesantren Persis Bangil dikenal di seluruh Indonesia sebagai rujukan dalam mempelajari studi ilmu hadits dan fikih. Beberapa syaikh nagara Timur Tengah lainnya pun seringkali berkunjung ke pesantrennya. Sebagaimana saat itu, Abdul Qadir Hassan berkiprah di bidang pendidikan semasa hidupnya, dengan menjadi mudir amm pertama dan mengelola Pesantren Persatuan Islam yang telah didirikan oleh ayahnya Ahmad Hassan. Menjadi seorang dosen dari tahun 1960 hingga 1969 pun beliau jalankan, di Universitas Persatuan Islam yang merupakan cabang dari Universitas Islam Indonesia sebagai universitas Islam pertama di Indonesia yang dibangun oleh orang-orang Masyumi. Beliau juga memberangkatkan santri-santrinya untuk melanjutkan masa pendidikan ke timur tengah. Disana mereka mengambil jurusan hadis, nama-nama mereka diantaranya yaitu, Aliga Ramli, Ghazie, Hud, dan Abdur Rahim Nur. Mereka banyak mengambil jurusan hadis, mengikuti jejak gurunya, Abdul Qadir Hassan.
Yang kedua, kontribusi beliau melalui lembaga fatwa. Beliau menjadi bagian dari anggota Dewan Hisbah PERSIS. Dewan Hisbah adalah Lembaga pengkajian hukum yang sekaligus melakukan kontrol terhadap para fungsionaris PERSIS dan para jama’ah. Lembaga ini didirikan pada tahun 1953, yang saat itu namanya adalah Majelis Ulama PERSIS. Baru berganti nama menjadi Dewan Hisbah pada tahun 1967. Pada tahun 1958-1984, Abdul Qadir Hassan yang mengetuai Lembaga tersebut. Dewan hisbah beranggotakan 15 orang, yaitu:
1. A. Hassan,
2. KH. Munawwar Chalil (Anngota Dewan Tarjih Muhammadiyyah)
3. KH. Imam Ghazali (Pimpinan Al-Islam Solo)
4. KH. Moh. Ma’shum (Pimpinan Ulama Hadis Indonesia)
5. KH. Said Thalib Al-Hamdany (Dewan Fatwa Al-Irsyad)
6. KH. Abdur Rafieq7.KH. Prof. TM HasbiAsh Shiddiqy (Pakar Hadis Idonesia)
8. KH. Ahmad Mansyur9.KH. Yunus Hadhiri
10. KH. E. Abdurrahman
11. KH. O. Qamaruddin
12. KH. Md Aly Al-Hamidy
13. Abdul Qadir Hassan
14. KH. E. Abdullah
15. KH. Sudibya
Dari sini menunjukkan kontribusi beliau sebagai salah satu ulama hadis yang berkontribusi secara langsung melalui Lembaga fatwa.
Yang ketiga yaitu kontribusi melalui publikasi. Dalam hal ini Abdul Qadir Hassan aktif menulis di majalah al-muslimun Al-muslimun terbit pertama kali pada tahun 1954. Beliau mengisi 50% persen rubrik majalah al-muslimun dari tahun 1954 hingga 1984. Al-muslimun merupakan majalah yang berisi tanya jawab seputar ilmu hadis, fikih, ushul fikih, tafsir ahkam dan tafsir amm. Adapun pengetahuan tambahan yang dimuat dalam majalah tersebut yakni tentang; berita dunia Islam, Bahasa Arab, tsaqafah, masalah terkini, akhlaq dan aqidah.
Di Indonesia yang tepatnya di era tahun 1900 sampai munculnya A. Hassan, apabila menyebutkan suatu hadis shahih, hasan atau dhaif, mereka semua mengutip dari perkataan Ulama. Namun saat munculnya Abdul Qadir Hassan, beliau berbeda. Dengan karakteristik ilmu yang beliau miliki dan kuasai, beliau menulis didalam kitabnya dengan langsung merujuk pada kitab-kitab induk.
Terutama dalam pembahasan kritik sanad beliau langsung merujuk pada kitab-kitab jarh wa ta’dil. Sebagaimana yang terdapat dalam bukunya Ilmu Msthalah Hadits, buku ini merupakan uraian tentang hal-hal yang terkait ilmu hadis, antara lain dari segi periwayatannya, derajatnya, jenisnya, persyaratan atau kriterianya.
Pada mulanya buku ini merupakan tulisan Abdul Qadir Hassan secara berturut-turut pada majalah Al-Muslimun, lalu dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku secara berangsur yang terdiri atas dua juz. Hingga akhirnya diterbitkan dalam satu jilid buku seperti sekarang ini.
Dalam buku ini, Abdul Qadir Hassan menguraikan tidak kurang dari 144 macam yang berhubungan dengan ilmu hadis, lalu dibagi dalam 10 pembahasan pokok, yaitu: pasal hadis sahih; pasal hadis hasan; pasal hadis dhaif; pasal yang dapat dimasukkan dalam bagian sahih dan hasan; pasal yang dapat dimasukkan dalam bagian sahih, hasan, dan dhaif; pasal isnad atau sanad; pasal matan; pasal rawi; nama-nama imam dan ahli hadis yang masyhur-masyhur; dan pasal al-jarh wa ta‘dil.
Menurut Muhammad Dede Rudliyana, metodologi yang dilakukan oleh Abdul Qadir Hassan adalah mengutip dan merangkum seluruh pendapat yang ada, untuk kemudian ia bahas dan beri komentar. Biasanya, ia memberi keterangan atau penjelasan pada akhir pembahasan. Adapun kelebihan buku ini adalah banyaknya rujukan yang digunakan Abdul Qadir Hassan dari kitab-kitab hadis dan ‘ulum al-hadis periode awal, baik yang asal, syarh, nukat maupun nazam.
Sebagai contoh karakteristik tulisan dalam bukunya ketika menjelaskan didalam kitabnya:
a.Hadis Hasan Li Dzathihi
Beliau menjelaskan makna hadis tersebut dari sisi bahasa dan istilah, lalu memberikan contoh dari hadis tersebut dan menjelaskan sanad hadisnya. Kemudian menjelaskan keadaan dari sanad hadis tersebut dan menerangkan rawimana yang membuat hadis tersebut menjadi hadis hasan. Hasan, menurut Bahasa, artinya: yang baik, yang bagus. Li Dzatihi artinya: karena dzatnya atau dirinya.
“Hasan Li Dzatihi” menurut istilah, ialah: “Satu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang adil tetapi ada yang kurang dlabith, serta tidak ada syudzudzdan ‘illah.”
Artinya: (Kata Tirmidzi:) Telah menceritakan kepada kami, Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami ‘Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin ‘Amr, dari Abi Salamah, dari Abi Hurairah, ia berkata: Telah bersabda Rasullah shalallahu alaihi wasallam.: “Jika aku tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintah mereka bersugi di waktu tiap-tiap hendak sholat.”
Sanad Hadits ini, digambarkan sebagai berikut :
1.Tirmidzi
2.Abu Kurai
3.‘Abdah bin Sulaiman
4.Muhammad bin ‘Amr
5.Abi Salamah
6.Abi Hurairah
7.Rasullah shalallahu alaihi wasallam.
Keterangan:
1).Kalau diperiksa sanad ini, dari Tirmidzi sampai kepada Nabi, kita akan dapatinya bersambung, yakni tiap-tiap seorang mendengar atau mendapat khabar langsung dari yang lain.
2).Rawi-rawi dari No. 1 sampai No. 6, semua adil dan dlabith, melainkan Muhammad bin ‘Amr, seorang yang adil tetapi kedlabithannya kurang, karena lemah hafalannya.
3).Hadits tersebut tidak ada syudzudzdan pula ada ‘illahnya.
4).Oleh karena adaMuhammad bin ‘Amr tersebut, maka Hadits itu dinamakan: Hasan Li Dzatihi.
Dari penjelasan diatas disebutkan adanya rawi yang lemah hafalannya dan beliau menambahkan dasar mengapa rawi itu dikatakan lemah hafalannya sesuai dengan yang terdapat dalam kitab Tahdzibut Tahdzib. Tidak dengan mengutip qaul ulama tapi langsung ke kitab jarh wa ta’dilnya.
Dan dalam kitab “Terjemah Bulughul Maram” milik A. Hassan. Namun tulisan ringkasan ini Abdul Qadir yang menulisnya, beliau menjelaskan sebagaimana yang tertera dalam ringkasan, hadis shahih yang boleh dijadikan dalil bagi hukum agama ialah hadis yang seluruh sanadnya terdiri rawi-rawi yang muslim, yang baligh, yang adil, yang beres hafalannya yang beres catatannya, seperti yang dikehendaki oleh pasal ke 6, serta seorang dengan lainnya bertemu dan tidak berlawanan dengan suatu hadis lain yang lebih kuat, terutama tidak berlawanan dengan ayat atau maksud Al-Qur’an.
Hadis hasan ialah hadis yang sama seperti shahih juga tetapi diantara rawi-rawinya ada orang yang ada kesalahannya didalam urusan hadis, ada kelalaiannya, ada keragu-raguannya, ada yang menyalahi lain-lain rawi atau ada yang kurang baik hafalannya, tetapi didalam semua itu, tidak banyak, hanya sedikit-sedikit saja. Didalam satu urusan, kalau ada beberapa hadis hasan, maka dapat dianggap sejumlahnya sebagai shahih. Hadis hasan sering juga dijadikan alasan buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau penting.
Dalam catatan atau manuskrip beliau dengan judul Musthalah Hadis yang ditulis dalam Bahasa Arab pego. Beliau merupakan ulama yang menjaga dari berdalil dengan hadis-hadis dhaif. Beliau menyebutkan keterangan pada ujung tiap pembahasan, apakah hadis itu bias dipakai atau tidak Kitab yang beliau tulis baik kitab Ilmu Musthalah Hadis dan manuskrip Musthalah Hadis ini masih aktif digunakan sebagai pedoman santri-santri Persatuan Islam Bangil. Baik di tingkat tsanawiyyah menggunakan cetakan yang berbahasa Indonesia atau tingkat takhasus dan aliyyah yang menggunakan penulisan Arab pego. Kitab ini juga sudah terjual dan tersebar luas tidak hanya untuk dikalangan pesantren PERSIS. Gaya Bahasa yang dipakai dalam penulisan kitab ini pun mudah dipahami bagi pembaca meskipun bukan dari kalangan santri.
Demikian sosok Abdul Qadir Hassan, ulama Indonesia yang dikenal mumpuni dalam bidang studi hadis dan ilmu hadis. Melalui kitabnya diatas, beliau telah berhasil memperkenalkan kajian hadis kepada umat islam di Indonesia yang merujuk langsung kepada kitab rujukan seperti: Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, Subulus Salam karya Ash-Shan’ani, Nailul Authar karya Asy-Syaukani, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjaj karya An-Nawawi, Fathul Baarikarya Al-Asqalani, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud karya Al-Azimabadi, Faidh Al-Qadir karya Al-Munawi, Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabi, Tahzib At-Tahzib karya Al-Asqalani, Al-Jarh wa At-Ta’dil karya Ar-Razi, Al-Kamil fi Adh-Dhuafa Ar-Rijal karya Al-Jurjani, At-Tamhid karya Al-Qurthubi, dan lain-lain.