PENDAHULUAN
Seorang politikus Amerika Serikat, Henry Kissinger, menyebut “
Kontrol minyak, maka Anda akan kendalikan negara; Kontrol pangan, maka Anda akan mengendalikan rakyat.” Tidak bisa dipungkiri, bahan pangan dan air telah menjadi kebutuhan utama umat manusia, terlepas status sosial, suku, ras, hingga agama.
Begitu mengakarnya konsep tersebut di lingkungan kita, membuat bahan pangan menjadi komoditas politik. Mulai dari kail untuk menarik suara (bagi calon wakil rakyat) melalui bagi-bagi sembako gratis, hingga alat untuk menjaga kekuasaan rezim melalui program
‘pengenyangan’ rakyat. Jika perut masyarakat telah terisi, maka memudarlah para pengkritisi.
Bila yang terjadi sebaliknya, maka bencana kelaparan yang akan menyapa. Konflik antarwarga sipil juga tidak bisa terhindarkan. Budayawan Indonesia, Sujiwo Tejo, menyebut bahwa untuk menjaga perdamaian dunia, daripada repot-repot diskusi angsana-sini tentang potensi konflik antaragama, antarideologi, dan lain-lain, mending fokus ke soal rasio ketersediaan pangan dan jumlah warga dunia.
Apakah mungkin dunia dilanda krisis pangan? Sekilas pertanyaan tersebut terkesan utopis. Bagaimana tidak? Para petani masih bekerja, ditambah sawah masih membentang di mana-mana. Apalagi, persyaratan terjadinya krisis pangan adalah penurunan tajam produksi pangan dunia dan peningkatan harga pangan.
Berdasarkan data dari vas-USDA (
Foreign Agricultural Servis of the U.S. Department of Agriculture) menyebut bahwa produksi serealia dunia di periode 2019/2020 justru mencapai rekor tertinggi, 3 miliar ton. Walaupun, di Indonesia produksi pangan terutama padi memang tidak menggembirakan. Peningkatan produksi rata-rata hanya 0,78 persen setiap tahun, selama 18 tahun terakhir. Angka tersebut jauh di bawah pertumbuhan penduduk yakni 1,3 hingga 1,4 persen.