Walaupun reklamasi terjadi di Jakarta, namun hal ini memiliki dampak juga terhadap Banten, dikarenakan bahan dasar untuk reklamasi Teluk Jakarta ternyata menyedot pasir dari perairan Lontar dan sekitarnya di Teluk Banten. Hal ini sempat menyebabkan munculnya konflik horizontal antar warga di daerah yang terkena proyek tersebut.
Operasi produksi penambangan pasir laut di Teluk Banten dan komunikasi yang tidak konvergen di antara pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat pesisir serta pulau-pulau kecil di Teluk Banten memicu konflik yang telah terjadi sejak tahun 2003-2016, bahkan telah mencapai tahap konflik dengan kekerasan.
Nelayan yang melakukan penangkapan ikan harus bersaing dengan armada kapal penambangan pasir yang beroperasi karena lokasi penangkapan ikan nelayan berada di lokasi tambang. Proses penambangan pasir laut menyebabkan kondisi perairan sekitarnya menjadi keruh sehingga ikan-ikan yang berada di lokasi tangkapan nelayan bermigrasi ke perairan lainnya.
Nelayan mengalami penurunan pendapatan yang disebabkan menurunnya hasil tangkapan ikan dan meningkatnya biaya produksi penangkapan ikan. Tangkapan ikan nelayan menurun pada saat proses penambangan pasir laut khususnya produksi ikan, rajungan dan udang yang bernilai ekonomis. Peningkatan jarak tempuh, waktu dan kerusakan alat tangkap yang disebabkan proses penggalian pasir meningkat biaya modal produksi penangkapan ikan.
Penambangan pasir laut berdampak kepada kerusakan lahan budidaya, penurunan kuantitas dan kualitas hasil budidaya ikan dan rumput laut sebagai akibat dari abrasi pantai dan kekeruhan air laut. Akibatnya harga jual hasil produksi budidaya ikan dan rumput laut menjadi lebih rendah. Hal ini berdampak kepada ekonomi keluarga nelayan karena nelayan sebagai sumber nafkah keluarga. Nelayan yang merugi dan tidak mampu beradaptasi kemudian tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya.
Permasalahan penambangan pasir di Teluk Banten tidak hanya memunculkan masalah sumber daya alam saja. Akan tetapi juga menimbulkan permasalahan sosial di masyarakat, dimana ada masyarakat yang pro terhadap penambangan pasir, dan banyak pula yang kontra atasnya.
Akademisi Untirta Ail Muldi dalam disertasinya ‘Model Komunikasi dalam Manajemen Konflik Sumber Daya Alam di Teluk Banten,’ mencoba untuk memotret bagaimana konflik yang terjadi di elemen masyarakat serta pola komunikasinya.
Menurutnya, konflik pemanfaatan sumber daya dan lingkungan di Teluk Banten perlu dikelola secara konstruktif melalui proses komunikasi antara pihak-pihak konflik yang terlibat. Proses komunikasi dilakukan untuk mengelola potensi konflik sejak dini dengan tujuan untuk meminimalisir dampak konflik dengan mencegah konflik tereskalasi.
“Kebijakan Pemerintah Kabupaten Serang dan Pemerintah Propinsi Banten sejak tahun 2003-2016 berpihak pada perusahaan pensuplai pasir laiut di Teluk Jakarta, hal ini menyebabkan penurunan pendapatan, persaingan sumber nafkah dan gangguan teknis kerja di kalangan nelayan dan pembudidaya di Teluk Banten,” ungkapnya dalam dokumen ringkasan disertasi yang dipaparkan dalam sidang promosi Doktor Institut Pertanian Bogor, Rabu (4/9).
Namun di sisi lain, penambangan pasir menyumbang PAD yang cukup besar terhadap APBD Kabupaten Serang. Realisasi pajak dari kegiatan penambangan pasir laut di tahun 2015 mencapai Rp. 41.017.711.500,- dengan eksplorasi pasir laut 15.191.745 m³, dari wajib pajak PT. Jetstar, PT.MCA dan PT. Hamparan Laut Sejahtera.
Ia mengatakan, konflik menjadi sebuah keniscayaan di era reformasi karena sistem politik di Indonesia menganut sistem demokrasi yang memfasilitasi hak-hak masyarakat pesisir untuk mendapatkan kebebasan menyampaikan pandangan di muka umum, kebebasan berkumpul, berserikat dan berpolitik.
“Masalah utama konflik antara pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat pesisir terjadi karena komunikasi gagal dilakukan untuk mencapai konvergensi kepentingan pada saat pengelolaan potensi konflik dan pada saat konflik tercipta,” terangnya.
Kegagalan komunikasi antara pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat disebabkan oleh komunikasi yang tidak partisipatif, tidak melibatkan masyarakat pesisir dalam proses pemberian IUP. Yang kedua adanya ketidakefektifan komunikasi, karena partisipan komunikasi tidak representatif masyarakat terdampak, pendekatan komunikasi yang bersifat manipulatif dan instruktif.
Selanjutnya, ada perbedaan persepsi tentang dampak penambangan pasir terhadap kerusakan lingkungan dan kelangsungan sumber daya perikanan. Dan terakhir, munculnya peran LSM sebagai kelompok rujukan masyarakat pesisir.
“Komunikasi pemerintah daerah dan perusahaan baru dilakukan ketika konflik telah mengemuka (manifest). Komunikasi pemerintah daerah kurang efektif. Partisipan komunikasi tidak merepresentasikan kelompok nelayan sebagai masyarakat terdampak,” lanjut alumni FISIP Untirta tersebut.
Konflik antar stakeholder di Teluk Banten dipicu oleh ketidakefektifan komunikasi, komunikasi yang tidak partisipatif, perbedaan persepsi dan LSM sebagai reference group. Masyarakat pesisir di Teluk Banten terlibat konflik dalam bentuk aksi damai, aksi protes bersama, aksi kerusuhan dan aksi radikal.
Ail memberikan saran kepada Pemerintah Daerah untuk menerapkan komunikasi konvergen pada saat proses pemberian dukungan masyarakat untuk mengelola potensi konflik. Selain itu juga, meningkatkan konvergensi komunikasi dengan pola komunikasi semakin konvergen, hubungan kerjasama, penentuan lokasi tambang dengan pertimbangan aspek karakteristik geografis masyarakat dan meminimalisir faktor-faktor penyebab konflik serta peningkatan besaran dana kompensasi untuk pemberdayaan kelompok masyarakat terdampak berat.
“Kemudian mengelola strategi komunikasi yang memfasilitasi konvergensi komunikasi dalam siklus konflik dalam bingkai pendekatan kolaboratif untuk konsensus serta gaya penyampaian pesan persuasif dengan struktur partisipan yang setara,” tandasnya.
Aktivis Mahasiswa Gerakan Mahasiswa Serang Utara (Gamsut) Imron Nawawi menyatakan bersyukur dengan adanya kajian ini. Menurutnya, permasalahan perusakan SDA tersebut memang pada akhirnya memunculkan momok konflik yang mengkhawatirkan di masyarakat. Bahkan konflik tersebut masih terasa dalam bentuk laten di masyarakat, walaupun sudah ada moratoritum pada tahun 2016.
“Maka dari hasil studi ilmiah terkait metode komunikasi dalam sebuah konflik pengrusakan SDA di Teluk banten, semoga akan menjadi sebuah rujukan bagi pemerintah, tokoh masyarakat maupun kaum kaum terpelajar agar supaya mampu untuk membendung dan menghentikan konlik – konflik yang terjadi di tengah masyarakat kita, khususnya di wilayah pesisir Teluk Banten,” harapnya. (PBN)