Suarahimpunan.com – Buruknya leadership Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai sebagai alasan lambatnya penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Buruknya leadership itu akhirnya berdampak pada pemerintah daerah selaku ujung tombak peperangan melawan Covid-19.
Hal tersebut mengemuka dalam kegiatan Jum’atan Progresif Transformatif Ngaji Gerakan HMI bertajuk ‘Perpanjangan PPKM dan Nasib Demokrasi Indonesia: Ada Apa Sesungguhnya di Balik Penanggulangan Covid-19 di Indonesia?’ melalui Zoom dan ditayangkan secara langsung melalui YouTube LAPMI Cabang Serang, Jum’at (30/7/2021).
Diskusi virtual tersebut menghadirkan tiga narasumber yang ahli di bidangnya. Tiga narasumber tersebut yaitu Advokat TPUA, Eggi Sudjana, Peneliti dan Pengamat Sosial-Politik, Ubaidillah Badrun dan Dosen Fakultas Kedokteran UII Yogyakarta, dr. Sunarto, serta tentunya Ketua Umum PB HMI MPO, Affandi Ismail.
Perjalanan diskusi tersebut terpantau cukup dinamis. Berbagai pertanyaan dan pernyataan peserta diskusi sahut menyahut. Bahkan diskusi itu berjalan hingga tiga jam. Kru LAPMI Serang pun tergelitik untuk ikut bertanya.
Kru LAPMI Serang menanyakan pandangan dari para narasumber, apakah penanganan Covid-19 ini akan lebih baik jika diserahkan kepada pemerintah daerah?
Karena berdasarkan penelusuran Kru LAPMI Serang, pemerintah daerah khususnya Pemkot Serang, mengalami kesulitan dalam penanganan Covid-19 seperti dalam melaksanakan 3T, vaksinasi hingga pemberian bantuan. Hal itu dikarenakan semuanya terlalu terpusat.
Ubaidillah Badrun dalam pemaparannya mengatakan, dalam peraturan perundang-undangan, daerah memang diberi kewenangan untuk melakukan otonomi dalam soal karantina wilayah. Namun menurut UU Nomor 6 Tahun 2018, Kepala Daerah harus meminta izin kepada Menteri Kesehatan dan juga Presiden.
“Mekanismenya memang sentralistik, karena keadaannya darurat maka sistem komandonya pun harus berjalan. Jadi keberhasilan penanganan darurat pandemi Covid-19 ditentukan oleh pemimpin tertinggi, yaitu presiden,” katanya.
Selanjutnya, ia mengatakan jika problem yang terjadi adalah pada leadership Presiden, yang mana semua hal diurus oleh anak buahnya yakni para menteri seperti Luhut Panjaitan, Erlangga, dan lain-lain.
“Pemimpin seperti ini, dalam tanda kutip seperti melepaskan tanggung jawab sentral dalam situasi darurat,” ujarnya dalam diskusi virtual itu.
Di samping itu, ia juga mengatakan banyak narasi dari buzzer yang mengatakan bahwa rakyat tidak disiplin, rakyat individualistis, dan rakyat tidak peduli. Semua ini terkesan menyalahkan rakyat.
“Narasi-narasi yang dikatakan buzzer itu sangat berbahaya. Pada kenyataannya, dari tahun lalu, rakyat sudah banyak berkorban. Mulai dari di PHK, mengurangi jam kerja, kesulitan mencari uang namun tetap membantu tetangganya yang kena Covid-19,” tuturnya.
Ubaidillah menyampaikan bahwa pada saat ini, pemerintah lah yang harus berterima kasih kepada masyarakat. Sebab pada kondisi penanganan Covid-19 yang karut marut ini, masyarakat masih bisa bersabar dan tidak ‘ngamuk’.
“Kalau dalam tradisi Jawa, ada yang namanya ‘amuk’. Dalam Melayu dan politik Nusantara ada juga diksi ‘ngamuk’. Namun ‘amuk’ itu belum terjadi sampai saat ini, jelas itu karena solidaritas rakyat. Bahkan jika tidak ada solidaritas rakyat dalam negara ini, sudah pasti negara bangkrut. Jadi yang membantu keadaan Indonesia sampai saat ini adalah rakyat yang peduli,” jelasnya.
Ia menuturkan bahwa banyak sekali pembangunan-pembangunan negeri ini hasil gotong royong rakyat. Bahkan jika dihitung, jauh lebih banyak pengorbanan rakyat dibanding pemerintah.
“Pada titik itu seharusnya Pemerintah mengerti dan melakukan langkah-langkah untuk mengutamakan nyawa rakyat. Namun sejak awal paradigmanya memang sudah salah. Yang mana lebih mengutamakan ekonomi, dibanding nyawa rakyat,” tuturnya
Ia pun mengutip perkataan presiden bahwa ‘nyawa rakyat penting, tapi ekonomi juga penting’. Menurutnya, apabila nyawa rakyat penting, seharusnya tidak perlu menggunakan kata ‘tapi’. Cukup fokus pada ‘nyawa rakyat penting’ saja. Karena ketika nyawa rakyat selamat, maka ekonomi akan bangkit.
“Rakyat sebetulnya ingin menyuarakan yang sangat penting, bahwa republik harus diselamatkan. Tapi rakyat tidak berdaya, maka mahasiswa harus mengerti nurani rakyat itu, tangkap pesan penting rakyat dan jangan mengabaikan rakyat,” ungkapnya.
Pembicara lainnya, Sunarto, menyampaikan bahwa pada Permenkes tentang SPM, terdapat dua kategori pelayanan kesehatan. Pertama yakni dalam keadaan biasa, kedua dalam keadaan luar biasa.
“Saya tidak tau pandemi ini masuk kategori dalam kondisi luar biasa atau bukan. Tapi jika memang benar dalam kondisi luar biasa, maka pandemi itu adalah tanggungjawab Provinsi,” ujarnya.
Ia juga mengatakan jika penanganan diberikan sepenuhnya kepada daerah, namun daerah tidak diarahkan, maka akan bermasalah ke depannya.
“Sebenarnya pelayanan publik itu diserahkan kepada kabupaten-kota. Namun jika keadaan pandemi seperti ini, maka yang seharusnya berlaku adalah UU lockdown,” ungkapnya.
Ketua Umum PB HMI MPO, Affandi Ismail, mengatakan bahwa sudah cukup terungkap bahwa dalam penanggulangan Covid-19 ini, banyak sekali agenda-agenda terselubung di dalamnya, yang kemudian merugikan rakyat. Termasuk rentan kasus korupsi, proyek, dan sebagainya.
“Ternyata memang pemerintah kita ini lebih mengutamakan perekonomian dibanding nyawa masyarakat, sehingga tidak menetapkan lockdown tetapi malah menetapkan peraturan PPKM, padahal PPKM itu kan tidak ada dasar hukumnya,” ungkapnya
Kemudian, ia juga mengatakan bahwa diskusi seperti ini adalah salah satu bentuk kontribusi konkret HMI, dengan bagaimana mereka menyampaikan, mencerahkan, kemudian menjadi amunisi untuk semuanya bergerak.
(Ririn/RED)