Kabar Regional

Himakum Bina Bangsa Ngabuburit Sambil Bedah Buku, Ajak Mahasiswa Kembali Kritis

Published

on

Serang, suarahimpunan.com – Himpunan Mahasiswa Hukum (Himakum) Universitas Bina Bangsa melakukan agenda ngabuburit dengan cara membedah sebuah buku yang saat ini menjadi perbincangan dikalangan mahasiswa : di kampus Bina Bangsa, Selasa (21/5).

Buku yang merupakan kisah nyata terkait suka duka perjalanan seorang menjelang meletusnya reformasi tersebut dibedah tepat pada momentum 21 tahun reformasi sebagai bentuk refleksi terhadap kondisi dan jati diri mahasiswa yang disebutkan di dalam forum telah jauh dari jati diri mahasiswa yang sebenarnya.

Dalam perjalanannya, peserta bedah buku terlihat antusias dalam mengikuti agenda tersebut. Para pembicara yang hadir pun menyampaikan materi dengan lugas dan berdasarkan sisi objektif yang pernah mereka jabarkan. Karena, dua dari empat pemateri yang hadir memang merupakan pelaku sejarah Reformasi.

Mereka yang merupakan pelaku sejarah yaitu Wenri Wanhar yang juga merupakan penulis buku tersebut dan Radjimo S Wijono, ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia Banten. Penyampaian materi mereka yang lugas dapat menghipnotis peserta seolah-olah berada pada periode perjuangan melawan rezim orde baru.

Radjimo menceritakan bagaimana dulu pada zamannya, para aktivis dalam melakukan pembiayaan gerakan mereka dengan cara menggadaikan ijazah kuliah mereka.

“Dulu teman saya itu pernah menggadaikan ijazah dia untuk membiayai pergerakan mahasiswa saat itu ke koperasi Mahasiswa. Dan ternyata koperasinya kebakaran, jadi sekarang dia tidak punya ijazah,” ungkapnya disambut gelak tawa para peserta.

Radjimo pun menuturkan bahwa salah satu pelaku yang berada dalam buku tersebut merupakan teman dekatnya dalam pergerakan reformasi. Hal lucu pun diceritakan okeh Radjimo bahwa kesalahan temannya dalam membawa bom dengan cara diseret menjadi titik awal bagaimana buku ini bercerita.

Baca Juga:  Apresiasi Pertemuan Dengan Pemilik Warung, HMI MPO Cabang Serang : Kapan Bertemu Keluarga Pengunjuk Rasa Yang Tewas?

“Jadi harusnya bom itu gak boleh diseret. Jadi karena salah, bom itu meledak. Mungkin ini lucu yah kalau diceritakan sekarang, tapi situasi sebenarnya itu menegangkan,” kata Radjimo.

Selanjutnya, Wenri Wanhar mulai bercerita juga. Ia mengatakan bahwa buku ini ditulis semata-mata demi mengabadikan kisah yang telah terjadi, meskipun sepenting atau setidak penting apapun kisah tersebut. Karena hal itu tetaplah bagian dari sejarah.

“Ini adalah falsafah dari Yunani : Yang tertulis abadi, yang terucap menguap. Sehingga, kisah sejarah ini ditulis untuk dikenang, dan untuk saling memaaf-maafkan. Bukan untuk saling mendendam,” tukasnya.

Ia pun menceritakan bagaimana latar belakang kisah tersebut berada dalam sebuah era dimana pemerintah bertindak secara keras dalam memimpin. Sehingga, para mahasiswa bergerak dengan taktik dan caranya sendiri.

“Pada saat itu ada Pers Mahasiswa yang benar-benar membangun narasi perjuangan. Ada para yang kajian-kajiannya sangat mendalam,” jelasnya.

Namun, ia pun berkata bahwa sedikit miris dengan kondisi saat ini. Yang menurutnya kondisi saat ini tidak jauh berbeda dengan pada masalalu. Tapi dalam sudut pelaku itu berbeda. Karena jika dulu pelakunya adalah pemerintah yang sewenang-wenang, saat ini justru masyarakatnya yang sewenang-wenang.

“Kita lihat saja bagaimana dalam melakukan perebutan kekuasaan, kok bisa sampai berani merendahkan orang lain? Atau bagaimana untuk mencari rezeki, mereka merusak alam. Lalu aku berfikir, apakah ini yang disebutkan bangsa berbudaya?” terangnya.

Baca Juga:  Pelecehan Seksual di Untirta, Kohati Serang Raya: Kampus Harus Bertindak Tegas

Ia pun mempersilahkan mahasiswa untuk belajar kepada suku Baduy, yang menurut orang banyak merupakan suku yang tidak berbudaya karena tidak mau menerima perkembangan zaman. Ia mengaku bahwa suku Baduy merupakan salah satu suku yang benar-benar berbudaya.

“Coba, orang-orang bilang mereka primitif. Tapi ternyata kita lah yang primitif. Orang baduy untuk menyembelih satu ayam saja doanya panjang sekali, tapi kita untuk menghilangkan satu nyawa, mudah sekali,” katanya.

Oleh karena itu, Wenri berkata bahwa untuk apa mahasiswa berfikir untuk membangun bangsa ini dengan cara belajar jauh-jauh ke negara lain, namun yang terjadi adalah ketidakberadaban dalam bernegara.

“Banggalah dengan budaya sendiri. Bangun sikap kritis dengan pendalaman kajian yang matang. Bukan hanya karena mengikuti cara-cara orang lain. Bangun konsep yang berlandaskan Pancasila,” ungkapnya.

Ketua Himakum Bina Bangsa, Recky Pamungkas, mengatakan bahwa usai diadakannya agenda ini, diharapkan mahasiswa kembali kepada pangkuan masyarakat.

“Mahasiswa harus kembali kepada masyarakat, berjuang bersama masyarakat. Harus sadar bahwa mereka adalah anak kandung masyarakat,” tuturnya.

Senada dikatakan oleh Ketua Pelaksana, Dhea. Ia berharap para mahasiswa saat ini kembali kepada jatidiri mereka dengan kembali memikirkan kondisi masyarakat saat ini.

“Jangan sampai kita ini jadi mahasiswa yang hanya memikirkan diri sendiri, hanya memikirkan tugas, tugas, dan tugas,” tandasnya.

Dalam kesempatan itu, Peri Sandi, seniman Banten, membacakan puisi karangan W.S. Rendra berjudul “Pesan Pencopet Kepada Istrinya”. (Dzh)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Lagi Trending