suarahimpunan.com – Multatuli dan novelnya
Max Havelaar merupakan suatu fenomena yang tak dapat diabaikan. Baik secara pribadi maupun secara kekaryaan, keduanya memancing pembacaan yang terus-menerus, lintas disiplin, yang menghasilkan perbagai pemaknaan yang tidak selalu sejalan antara satu dan lainnya.
Ia dimitoskan dan diagungkan, tapi sekaligus dinistakan dan dicurigai. Karyanya tidak hanya memengaruhi ranah kesusastraan, melainkan juga telah menggugah kesadaran berbangsa dan bernegara, menginspirasi tindakan, dan memengaruhi kebijakan dalam ranah sosial-politik, baik di Indonesia maupun di Belanda.
Berbagai kontroversi telah menyertainya sejak
Max Havelaar pertama kali terbit pada 1860. Artinya, telah lebih dari 159 tahun Multatuli dan
Max Havelaar dirayakan sekaligus hendak dilupakan. Kontroversi tersebut tidak hanya terjadi di negerinya sendiri, namun juga terjadi di
kota kecil Rangkasbitung, Lebak, tempat Multatuli pernah menjadi asisten residen; dan sekaligus menjadi setting cerita Max Havelaar.
Hingga kini, pada “usianya” yang ke-199 tahun (Edward Douwes Dekker atau Multatuli lahir pada 1820), setelah 132 tahun kematiannya (pada 1887), kontroversi terhadapnya belum juga mereda.
“Paling tidak, atas dasar itulah, perhelatan
Festival Seni Multatuli (FSM) pada tahun kedua ini, akan kembali menyuguhkan berbagai wacana mengenai Multatuli atau Max Havelaar melalui kegiatan simposium,” kata Ubaidillah Muchtar, Kepala Museum Multatuli Rangkasbitung sekaligus Direktur FSM 2019.
Dalam simposium yang mengusung tema “Membaca Ulang Max Havelaar” itu, lanjut Ubai, akan menghadirkan Peter Carey (sejarawan, Universitas Oxford), Yusri Fajar (sastrawan, Universitas Brawijaya), Lisabona Rahman (penulis kritik film), dan Ruth Indiah Rahayu (peneliti Inkrispena, Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia).