“Jika hanya mengejar estetika belaka tanpa ada kajian arkeologis semata, maka situs hanya menjadi ‘Instagramable’ saja. Masyarakat dapat spot cantik, tapi minim pengetahuan sejarah wilayahnya sendiri,” ungkapnya.
Hal tersebut, kata Chaidir, berdampak langsung pada pola perilaku para pengunjung
Banten Lama. Ini dibuktikan dengan kurang tertibnya pengunjung, dalam mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan.
“Dengan kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya menjaga kelestarian bangunan cagar budaya, maka tidak heran jika Kawasan
Banten lama lebih rapih dan tertata, tapi perilaku manusia pengunjungnya masih suka buang sampah sembarangan, merokok sembarangan, dan lain sebagainya,” tuturnya.
Dengan dasar itu, dikatakan oleh Chaidir, revitalisasi yang dilakukan haruslah melihat dasarnya, untuk segera didiskusikan antar stakeholder terkait.
“Dalam hal ini, Kawasan
Banten Lama ada Pemprov, Pemkot, BPCB Serang, hingga ke DPCBM Kemendikbud, harus duduk bersama untuk membicarakan kelanjutan revitalisasi
Banten Lama, sehingga tidak ada tumpang tindih dalam pelaksanaan revitalisasi,” tegasnya.
Sementara itu, seniman yang bergiat di Laboratorium Banten Girang, Peri Sandi, menuturkan bahwa dalam proyek revitalisasi Banten Lama, terlihat Pemprov seperti bekerja asal-asalan.
“Dari sejak awal revitalisasi ini inginnya cepat, tidak mengindahkan kajian arkeologis, bangunan yang dibuat sama sekali tidak ada relasi dengan bangunan yang ada, baik dilihat dari kesejarahan ataupun arsetektural, sehingga terkesan memaksakan, bahkan pencitraan, sing penting beres. Kinclong dan bagus difoto,” ujarnya.
Menurutnya, hal tersebut dapat menghilangkan nilai sejarah dari situs bersejarah tersebut. Dan juga, ia khawatir jika hal tersebut terus dilakukan, maka dapat menghapus sejarah kejayaan Banten bagi generasi yang akan datang.