JAKARTA, suarahimpunan.com – Baru-baru ini Majelis Hakim PN Pekanbaru memvonis bebas pelaku kasus asusila yang disangkakan kepada Dosen Fisip Universitas Riau (nonaktif), Syafri Harto. Putusan Majelis Hakim dinilai dapat menjadi preseden buruk bagi proses hukum kasus pelecehan dan kekerasan seksual.
Pengusutan kasus pelecehan dan kekerasan seksual, yang berujung pada pelaku tidak dijatuhi hukuman sering kali terjadi. Kasus semacam ini tentunya membuat penyintas semakin tak memiliki harapan, sebab pelaku tidak mendapat efek jera dari pelanggaran yang telah dibuatnya.
Menanggapi hal itu, fungsionaris PB HMI MPO, Muhammad Aldiyat Syam Husain, berpandangan bahwa putusan bebas tersangka pelecehan seksual Syafri Harto, menunjukkan aparat hukum masih sulit dalam menangani kasus pelecehan dan kekerasan seksual.
“Bahkan polisi masih sering mempersulit laporan dengan alasan kurang bukti, seperti bukti fisik atau saksi. Padahal, dalam banyak kasus kekerasan seksual sering terjadi di ruang-ruang tertutup, tanpa ada yang melihat,” ujarnya.
Dirinya menilai, kasus pelecehan dan kekerasan seksual sebagai perbuatan buruk (wanbedrijven) dan immoral.
“Dalam Islam kasus tersebut tentu bertentangan (lihat Q.S. Al-Isra : 32). Singkatnya, surah tersebut mengingatkan jangankan melakukan perbuatan zina untuk mendekati zina saja tidak boleh,” tuturnya.
Menurutnya, perbuatan pelecehan dan kekerasan seksual tidak boleh lagi ada pembiaran, perlu ada aturan khusus yang mengatur guna memberikan perlindungan kepada korban, sesuai dalam pasal 28 G dan 28 I UUD 1945.
“Banyak dari pelaku tindak kekerasan seksual itu merasa aman dan terus berkeliaran tanpa dosa, apalagi setelah mengetahui Majelis Hakim memberikan putusan bebas terhadap tersangka pelecehan seksual,” paparnya.
Aldiyat menjelaskan bahwa di Indonesia masih minim aturan atau hukum yang jelas mengatur terkait Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Ia pun berharap RUU mengenai hal tersebut dapat segera disahkan menjadi Undang-Undang (UU).
“Dorongan masyarakat untuk RUU TPKS menjadi UU dapat menjadi solusi. Semoga sebaik-baiknya solusi karena sudah semakin maraknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual terjadi,” terangnya.
Ia juga menilai DPR dan pemerintah justru semakin jauh dari yang diharapkan.
“Apa karena anggota dewan yang terhormat masih kurang banyak melihat dan mendengar maraknya kasus asusila? Sehingga enggan untuk mengesahkan RUU TPKS ini menjadi UU,” tegasnya.
Wasekjend Komisi Hukum dan HAM PB HMI ini menyebutkan, kalau DPR periode ini sudah seperti cap jadi stempel pemerintah untuk memuluskan keinginan oligarki yang ingin menguasai dan mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA). Sementara dalam hal kepentingan mendesak yang harusnya dijadikan prioritas untuk masyarakat justru sangat abai seperti RUU TPKS, RUU Masyarakat Adat dan sebagainya.
“Disaat yang bersamaan DPR sering mengesahkan UU yang dianggap masyarakat tidak ada kepentingan yang mendesak seperti UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan yang terbarukan UU IKN yang dikerjakan secepat kilat serta kebijakan Omnibus Law. Hal itu membuat tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga legislatif menurun dan dianggap pula tak berguna untuk kepentingan rakyat yang lebih besar,” tandasnya.
(ASH/RED)