Oleh: Kanda Agung Rizky Jamas
SERANG, Suarahimpunan.com – Di tengah laju perkembangan teknologi dan transformasi digital yang semakin pesat, proses pemilihan umum telah memasuki babak baru. Menurut Taufiq (2019) Era digital merupakan era di mana semua aspek dalam kehidupan, termasuk dalam proses pembelajaran yang diterjadi lebih banyak memanfaatkan media digital. membawa harapan baru untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses politik, namun juga membawa sejumlah tantangan yang harus diatasi.
Salah satunya tantangan utama dalam proses pemilihan umum adalah rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Menurut data dari laman www.kompas.id menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu di Indonesia cenderung menurun dari waktu ke waktu. Misalnya, partisipasi pada pilpres 2024 hanya mencapai 81,78%, lebih rendah dibandingkan pilpres 2019 yang mencapai 81,97%. Meskipun cenderung menurun, hal ini perlu menjadi fokus utama bagi penyelenggara pemilu, karena menurut uu no 7 tahun 2017 pasal 1 menyebutkan “Pemilihan umum yang selanjutnya disingkat menjadi pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, DPRD Prov, DPRD Kota/Kab, Presiden dan Wakil Presiden”. Maka dalam ucapan uu no 7 tahun 2017 pasal 1 tersebut secara tidak langsung berucap bahwa pemilu merupakan sarana kedaulatan rakyat. Setyo nugroho dalam jurnalnya menjelaskan bahwa kedaulatan rakyat merupakan kedaulatan yang menggambarkan suatu sistem kekuasaan dalam sebuah negara yang menghendaki kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Merujuk perkataan setyo nugroho secara tidak langsung menganggap bahwa setiap warga negara (rakyat) perlu memonitoring atau ikut serta dalam proses pemilu. Tetapi meskipun era digital telah memudahkan akses informasi dan interaksi, tapi nyatanya masih banyak yang tidak aktif dalam proses politik. Banyak yang merasa bahwa satu suara tidak akan membuat perbedaan signifikan, atau bahkan merasa tidak percaya dengan sistem politik yang ada.
Selain itu, penyebaran informasi yang tidak akurat atau palsu di media sosial juga menjadi ancaman serius. Dalam era di mana setiap orang dapat menjadi “pembuat berita” melalui platform digital, sulit untuk memisahkan fakta dari opini atau bahkan kebohongan. Hal ini dapat memengaruhi persepsi masyarakat tentang kandidat atau isu-isu yang penting dalam pemilihan umum. Tidak hanya itu, pengaruh uang dan kekuasaan masih merupakan masalah yang sering terjadi dalam proses pemilu. Praktik politik uang dan korupsi dapat mengubah dinamika pemilihan umum menjadi arena persaingan yang tidak sehat dan tidak adil. Sementara itu, keterbatasan akses dan partisipasi khusus kelompok rentan, seperti kaum miskin atau difabel, juga menghambat upaya untuk mencapai inklusivitas dalam demokrasi. Meskipun demikian, ada prospek yang cerah di tengah tantangan tersebut. Teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan umum. Sistem elektronik dan aplikasi online dapat digunakan untuk memperluas akses informasi, memfasilitasi pendaftaran pemilih, dan memantau kegiatan kampanye secara real-time.
Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, lembaga masyarakat sipil, dan sektor swasta dapat membantu mengatasi beberapa tantangan yang ada. Program pendidikan politik dan kesadaran publik juga perlu ditingkatkan untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam pemilu. Dengan pemahaman yang mendalam tentang tantangan dan prospek di era digital, kita dapat bersama-sama menciptakan lingkungan politik yang lebih inklusif, adil, dan berdaya guna. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan umum dapat ditingkatkan, sehingga mewujudkan demokrasi yang lebih kuat dan representatif.