Suarahimpunan.com – Pembahasan lanjut mengenai draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dilakukan secara tertutup mengalami polemik.
Dilansir dari Kompas.com, Kabag Humas Kementerian Hukum dan HAM Tubagus, Erif Faturahman, mengatakan bahwa draft masih dalam tahap penyempurnaan, Senin (20/6).
“Untuk draf terbaru kami belum dapat mempublikasikannya karena sifatnya masih dalam taraf penyusunan dan penyempurnaan. Draf baru bisa kami sampaikan apabila pemerintah dan DPR telah bersepakat,” ujarnya.
Sedangkan Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, meminta agar semua pihak tidak menuduh pemerintah dan DPR bersikap tertutup karena belum juga membuka draf RKUHP.
Wasekjend PB HMI MPO, Muhammad Aldiyat Syam Husain, mengatakan bahwa pembahasan draft RKUHP yang dilakukan secara tertutup merupakan bentuk pemerintah yang antikritik.
“Berlanjutnya pembahasan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menunjukkan sikap anti kritik pemerintah-DPR dan tertutup dalam pembahasan RKUHP ada apa? Padahal, keterbukaan membuka draf RUU adalah amanat UU sebagaimana tertuang dalam pasal 5 UU No. 12 tahun 2011 yang mensyarakatkan pembuatan UU harus berdasarkan asas keterbukaan,” ujarnya.
Aldiyat pun menegaskan bahwa penolakan RKUHP sejak 2019 lalu bukan penolakan yang tak memiliki dasar.
“Bergulirnya aksi tolak RKUHP sejak 2019 sampai hari ini mungkin jadi alasan sebenarnya. Protes dan penolakan RKUHP dari masyarakat sipil dan mahasiswa bukanlah kritik yang tidak memiliki dasar karena ditemui pasal bermasalah dalam draf RKUHP versi september tahun 2019,” terangnya.
Ia pun menegaskan bahwa hal-hal yang berkaitan langsung dengan masyarakat harus mempertimbangkan masukan dari khalayak.
“Apa yang menjadi sorotan publik harusnya dimaknai sebagai masukan untuk pembuat kebijakan termasuk soal RKUHP. Sampai saat ini pemerintah dan DPR beralasan draf RKUHP terbaru masih dalam penyempurnaan,” jelasnya.
Lanjut Aldiyat, ia menganggap sikap seperti itu tidak seharusnya ditunjukkan karena publik juga berhak mengetahui isi draf RKUHP yang baru.
“Sangat mengkhawatirkan jika draf RKUHP yg baru ini dibahas secara tidak transparan, tidak ada ruang dialog, dan terkesan tertutup, yang ujung-ujungnya langsung diketok palu, ucapnya,” ungkapnya.
Diketahui bahwa saat ini draf RKUHP yang beredar merupakan draf RKUHP tahun 2019 yang batal disahkan.
“Kami menilai dalam draf RKUHP berpotensi sangat berbahaya untuk kepastian hukum dan juga akan berdampak pada perlindungan hak asasi manusia. Untuk itu pemerintah harus berani membuka draf RKUHP yang baru supaya masyarakat sipil juga mengawal dan memantau dengan begitu publik turut berpartisipasi dalam pembahasan RKUHP,” tegasnya.
Aldiyat pun mengkhawatirkan beberapa pasal yang tercantum dalam draft RKUHP dapat mematikan demokrasi.
“Beberapa pasal-pasal dalam draf RKUHP ini sangat mengkhawatirkan termasuk pasal penghinaan terhadap pemerintah yang berpotensi menjadi ancaman yang dapat mematikan demokrasi dan upaya kritis terhadap kebijakan pemerintah,” tandasnya.
Berikut pasal-pasal yang dianggap pasal karet dalam draf RKUHP versi september 2019:
- Pasal penyerangan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Delik penyerangan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden tercantum dalam pasal 217 sampai pasal 220. Pemerintah mengusulkan agar ketentuan tindak pidana penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden pada pasal 218 ayat (1) bersifat delik aduan dengan ancaman pidana penjara maksimal 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
- Pasal penghinaan terhadap pemerintah. Delik penghinaan terhadap pemerintah diatur dalam pasal 240 dan pasal 241. Dalam pasal 240, setiap orang yang menghina pemerintah yang sah dan berakibat terjadinya kerusuhan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Sedangkan dalam pasal 241 setiap orang menyebarkan materi berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah melalui teknologi informasi diancam pidana penjara paling lam 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
- Pasal penghasutan melawan penguasa umum. Delik itu tercantum dalam pasal 246 dan pasal 247. Dalam pasal 246, setiap orang yang menghasut buat melawan penguasa umum dengan tindak pidana atau kekerasan melalui lisan dan tulisan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidan denda paling banyak kategori V. Lalu dalam pasal 247 disebutkan, setiap orang yang menyebarluaskan hasutan agar melakukan tindak pidana atau melawan penguasa umum dengan kekerasan melalui gambar, tulisan, rekaman, dan sarana teknologi informasi diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori V.
- Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Dalam pasal 353 disebutkan penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara diancam dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan. Sedangkan pada pasal 354 draf RKUHP disebutkan setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan materi berisi penghinaan terhadap pemerintah melalui sarana teknologi informasi diancam hukuman penjara selama 2 tahun.
- Pasal hukum yang hidup (The Living Law). Pasal 2 ayat (1) dan pasal 598 diatur tentang hukum yang hidup di masyarakat. Menurut pasal itu, masyarakat bisa dipidana bila melanggar hukum yang berlaku di suatu daerah. Pasal ini dikhawatirkan memunculkan kriminalisasi.
- Pasal penyiaran berita bohong. Dalam pasal 262 ayat (2) disebutkan, setiap orang yang menyebarluaskan berita bohong dipidana dengan pidana penjara selama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Selain itu, pasal 263 menyebutkan pihak yang menyiarkan kabar yang tidak pasti, berlebih-lebihan dan bisa menyebabkan keonaran dimasyarakat diancam pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
- Pasal kumpul kebo (Kohabitasi). Pasal 417 ayat (1) disebutkan setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istri dipidana karena perzinahan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
- Pasal penghinaan agama. Pasal 304 disebutkan setiap orang yang melakukan penistaan agama didepan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
- Pasal pencemaran nama baik. Pasal 440 disebutkan setiap orang yang melakukan pencemaran nama baik diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama paling lama 9 tahun hingga 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori V.
- Pasal Unjuk Rasa/Demonstrasi. Pasal 273 disebutkan pihak yang melakukan unjuk rasa, pawai atau demonstrasi di jalan tanpa pemberitahuan dan mengakibatkan terganggunya kepentingan umum dipidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
(RED)