Kabar

Sekjend PB HMI MPO: Pengawasan Lemah Jadi Faktor Leluasanya Mafia Minyak Goreng di Indonesia

Published

on

Suarahimpunan.com – Dalam beberapa pekan ini, ramai berita terkait kebijakan larangan ekspor CPO (Crude Palm Oil) atau Minyak Sawit oleh pemerintah . Kebijakan ini menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat, para pengusaha kelapa sawit mendorong pemerintah agar kebijakan ini segera dicabut. Akan tetapi pemerintah berdalih, kebijakan ini bisa menekan angka dipasaran. Masyarakat juga menganggap kebijakan ini merupakan salah satu upaya pemerintah menutup ruang mafia-mafia minyak dalam melakukan aksinya.

Dalam kanal Youtube Join Yook, Sekretaris Jenderal PB MPO, Zunnur Roin, bicara panjang lebar terkait pro-kontra kebijakan ini. Dalam podcast tersebut, Zunnur memberikan tanggapan terkait kebijakan larangan ekspor CPO ini, ia mengatakan kebijakan ini tentunya akan menimbulkan konsekuensi ke beberapa sektor.

“Problem yang kemudian sering di perbincangan, khususnya di kalangan ekonom, atas keberanian presiden yang melakukan pelarangan terhadap ekspor CPO dan Produk turunannya, saya pikir tentu memiliki konsekuensi. Apakah kemudian konsekuensi kebijakan ini akan berdampak kepada beberapa sektor, tentu pasti,” ujarnya dalam podcast yang dipublikasi pada Rabu(11/5).

Menurutnya, kebijakan ini akan berimplikasi terhadap pendapatan negara akan tetapi ia juga menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan upaya pemerintah menghadapi para stakeholder yang terlibat dalam sawit.

“Secara umum, ekonom tentunya menilai larangan ekspor (CPO) akan berimplikasi terhadap devisa negara, yang memang bersumber dari ekspor CPO dan turunannya. Akan tetapi Kebijakan ini diambil tentunya menimbulkan banyak pertanyaan dan kita menganggap ini merupakan kebijakan yang mempertontonkan upaya pemerintah yang sedang ingin head to head dengan stakeholder sawit,” ucapnya.

Selanjutnya, Zunnur mengatakan bahwa publik melihat kebijakan ekspor-impor yang berkaitan dengan sumber daya alam selalu saja menimbulkan masalah yang berkaitan dengan korupsi, khususnya dalam kasus yang menyangkut salah satu pejabat di Kemendag.

“Memang dalam kacamata publik, permainan ekspor impor kemudian khususnya pada komoditas sumber daya alam kita itu selalu menuai masalah-masalah yang sifatnya koruptif dan akhirnya kenapa kemudian langka, terkonfirmasi ketika salah satu dirjen di Kemendag tersangkut masalah tersebut (korupsi). Memang Masalah itu menjadi salah satu pemicu kelangkaan minyak goreng di pasaran,” tuturnya.

Ia juga berpendapat kebijakan ini merupakan kebijakan yang cukup berani, namun dirinya enggan membenarkan bahwa kebijakan ini efektif, karena dalam kenyataan di lapangan kebijakan ini belum mampu menekan harga minyak di pasaran, serta kelangkaan minyak yang masih terjadi.

“Kita menilai, ini kebijakan ekstrem dan berani. tetapi kita tidak membenarkan, apakah kebijakan ini efektif dalam menjawab problem kelangkaan minyak goreng dipasaran atau kenaikan harga (minyak) yang tidak normal. kita tidak membenarkan kebijakan ini sebagai kebijakan efektif. Artinya kalo kita ingin mengukur sejauh mana kebijakan ini efektif atau tidak, semenjak keputusan atau kebijakan itu lahir, kurang lebih satu minggu lebih, pada akhirnya minyak goreng tetap di harga yang melejit dan ketersediaannya secara fakta di lapangan juga masih langka dan ini menjadi ukuran apakah kebijakan larangan ekspor ini efektif atau tidak,” ungkapnya.

Zunnur juga mengatakan, tidak tahu kapan kebijakan akan dicabut serta ia menilai apakah kebijakan ini nantinya malah merugikan negara, karena ekspor CPO merupakan salah satu komoditas yang memberikan pendapatan bagi APBN.

Baca Juga:  Seandainya Dosen Pembimbingku Tahu...

“kita juga tidak tahu kapan kebijakan ini dicabut oleh pemerintah dan apa kebijakan ini malah memberi efek buruk bagi ekonomi kita dan bentuk konsekuensi riil dari larangan ekspor, yaitu bea ekspor itu tidak ada. Khususnya di sawit, negara sudah memiliki kebijakan alternatif memungut beberapa persen dari lalu lintas fiskal ekspor yang dikordinasikan oleh badan kelapa sawit. Artinya dua hal itu pada akhirnya tidak menjadi input keuangan negara secara riil, dan itu menjadi konsekuensi logis yang paling ril atas kebijakan itu,” jelas Zunnur.

Saat diminta tanggapan atas pernyataan DSI (Dewan Sawit Indonesia) yang menyatakan pemerintah akan segera mencabut subsidi, yang kemungkinan bisa membuka keran mafia minyak untuk bermain lagi, ia mengatakan bahwa potensi itu terbuka akan tetapi jika dilihat secara menyeluruh masalahnya tidak hanya di lingkup tersebut, tetapi lebih luas.

“Potensi itu terbuka, apakah minyak goreng sebagai sebuah masalah tunggal? Saya pikir bukan juga, karena kalau kita lirik para sektor hulu dan hilir sektor sawit ini bermasalah juga. Kita rasakan betul, bagaimana masyarakat kita hidupnya masih bergantung dengan sawit serta bagaimana turbulensi kehidupan masyarakat itu tergantung, dan mengalami ironifikasi pemikiran ketika di tanahnya sumber kehidupan atau minyak goreng justru terganggu dengan masalah ini(mafia-red),” katanya.

Lalu ketika ditanya apa pemerintah perlu mengatur harga bawah untuk harga minyak goreng di pasaran, ia menyatakan seharusnya pemerintah perlu fokus saja pada pengawasan di dalam negeri, sebab mau bagaimanapun harga minyak dipengaruhi oleh harga di perdagangan internasional serta pada implementasinya banyak pengusaha yang enggan mengikuti peraturan yang ada.

“Masalah harga sebetulnya dipengaruhi oleh harga CPO dunia, jadi pengawasan di domestik kita sehingga hulu dan hilir sawit bisa terproteksi dari mafia-mafia ini, nah itu sebetulnya yang lemah, artinya soal apakah harga itu bisa disama-ratakan atau tidak, negara punya payung hukum. Faktanya memang tidak semua pabrik misalkan mentaati peraturan itu,” terangnya.

Ia juga berpendapat, bahwa payung hukum saat ini sudah memadai, hanya saja implementasi di lapangan banyak sekali menemui hambatan dan tantangan yang cukup kompleks dan akhirnya payung hukum yang ada hanya sekedar formalitas belaka.

“Saya pikir payung hukum saat ini sudah cukup memadai, hanya saja memang mengaplikasikan hukum bisa ditegakkan apa tidak, itu menjadi problem lain dalam republik ini. Lain lagi kamarnya, misalkan memang pergub bisa diterapkan atau tidak. Akhirnya kita berspekulasi pergub atau peraturan lainnya hanya sebatas kertas formal untuk mengguurkan tanggung jawab pemerintah bahwa mereka hadir dalam masalah ini, pada akhirnya, secara faktual peraturan yang ada tidak ditaati,” tegas Zunnur.

Bagi ia, sangat ironis apabila Indonesia sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia, yang sebetulnya ketersediaan CPO domestiknya lebih dari cukup tetapi malah mengalami kelangkaan, tentunya ini menimbulkan adanya indikasi permainan dari para mafia minyak goreng.

“Minyak goreng kalo seandainya langka di Indonesia ini itu adalah sebuah ironis yang sangat ironis, jadi ironisnya double. Karena ketersediaan untuk kebutuhan domestik lebih dari cukup. Tapi pertanyaannya kenapa Ini barang tidak ada? Pasti ada permainan mafia disana, pasti ada upaya untuk mendatangkan manfaat-manfaat terselubung yang merugikan kita, sebagai masyarakat biasa,” ujar Zunnur dalam podcast yang dihadiri oleh salah satu pengamat ekonomi lokal juga.

Baca Juga:  Jangan Insecure Jadi Pemimpin

Zunnur menganggap bahwa praktik mafia minyak sawit itu berpotensi sangat besar terjadi. Walaupun pada akhirnya kita dibenturkan dengan proses hukum yang saat ini belum terungkap di publik. Ia juga berpendapat bahwa banyak sekali kecurigaan terjadinya aktifitas minyak goreng yang tidak teridentifikasi.
“Saya ingin mengatakan praktik mafia sawit atau minyak goreng ini pasti ada, namun apakah kemudian itu ada atau tidak, pada akhirnya kita akan berdalih hukum yang membuktikan, apakah kemudian institusi penegak hukum kita berhasil melakukan investigasi sebuah fakta yang baru, saya pikir tidak banyak masalah-masalah mafia sawit atau minyak goreng yang terungkap di publik Meskipun kita sangat menduga dan curiga bahwa sebetulnya lalu lintas aktifitas mafia minyak goreng sawit itu sangat mungkin banyak yang tidak terindetifikasi,” ujar Zunnur yang juga Sekjend PB MPO.

Kekecewaan juga ia lontarkan kepada presiden Jokowi dan Menteri Perdagangan, karena ternyata ketika mengatakan ada mafia minyak goreng, kenyataan malah ada salah satu pejabat di Kementrian Perdagangan yang malah menjadi tersangka dalam kasus mafia minyak ini.

“Pernyataan presiden dan Mendag waktu mengatakan ada mafia minyak goreng adalah sebuah warning yang luar biasa, namun kita kecewa pada akhirnya di internal kemendag yang muncul, saya pikir itu bukan sebuah kasus yang megah tetapi itu hanya serpihan saja” kata Zunnur
Maka dari itu ia enggan memberikan pujian dan membenarkan kebijakan pelarangan ekspor yang dikeluarkan oleh Jokowi, karena ia belum bisa mengukur efektivitas dari kebijakan ini. Akan tetapi ia tetap memberikan apresiasi dan optimis atas pemerintah yang telah berani mengeluarkan kebijakan ini.

“Makanya kita tidak memuji dan membenarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah jokowi ini, karena kita tidak bisa mengukur efektif atau tidaknya. Tetapi saya pikir ini adalah langkah berani untuk bagaimana pemerintah semacam punya taring untuk head to head dengan stakeholder bisnis CPO, yang berkali-kali diungkap jokowi sebagai mafia ini dan kita sangat optimis bahwa kebijakan larangan eskpor ini membuka tabir-tabir baru atas problem kelangkaan minyak goreng yang kita alami beberapa lalu,” ujarnya.

Di akhir podcast ketika diminta tanggapan atas efektivitas kebijakan larangan ekspor CPO yang sudah berjalan selama satu bulan dan rencananya di bulan Mei akan segera dicabut, ia mengatakan negara tidak akan mau rugi.
“Saya pikir negara tidak mau rugi, melarang ekspor itu sama halnya membunuh diri. Sangat tidak mungkin kalo ada yang mengatakan kebijakan ini akan permanen, karena rasionalnya ketersediaan CPO kita itu sudah lebih dari cukup,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa data yang ia dapat kebutuhan domestik akan minyak sawit sudah bisa mengakomodir selanjutnya sisa dari itu bisa di ekspor untuk kebutuhan sawit negara lain.

“Kalo tidak salah dari data yang saya tahu, kebutuhan domestik kita ini tidak lebih dari 20 persen dari akumulasi jumlah kebutuhan, maka sisanya itu kebutuhan untuk kita ekspor. Pertama untuk kepentingan domestik negara lain, menjadi konsekuensi indonesia sebagai negara yang menggaungkan perdagangan internasional atas sawit, kemudian yang kedua, negara juga butuh input keuangan untuk asupan APBN kita,” tandasnya di akhir podcast.

(AZIZ)

Lagi Trending