Literatur

Ada Udang di Balik Bakwan

Published

on

Oleh: Kanda Arif Firmansyah, Ketum Komisariat UIN SMH Banten

( atas surat terbuka untuk Presiden)

Di era keterbukaan informasi saat ini, berbagai informasi dan berita sangat mudah untuk diakses. Setiap orang pun bisa dengan mudah menjadi terkenal hanya cukup menggunakan akses media, seperti: YouTube, Instagram, Facebook, TikTok, Twitter, dan lainnya.

Seperti baru-baru ini sempat viral di media sosial tentang surat terbuka yang disampaikan oleh salah satu artis kepada Presiden Indonesia Joko Widodo, agar menghentikan dengan landasan rakyat. Katanya imbas dari kebijakan ini banyaknya rakyat yang menderita dan sulit mencari nafkah.

Sekilas terdengar populis, menyuarakan suara hati rakyat bawah yang saat ini kesulitan dalam mencari nafkah lantaran adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Kita sebagai manusia ciptaan Allah Swt. yang telah dibekali dengan berbagai potensi, kecerdasan, dan akal yang cemerlang tentu layak berhati- hati dan menelaah dengan pemikiran yang cemerlang dalam menyikapi segala sesuatu, agar tetap terjaga dari berbagai dampak buruk yang akan terjadi di kemudian hari.

Sejak awal terjadinya pandemi, dalam berbagai forum diskusi online maupun offline, saya selalu menyampaikan gagasan dalam penanggulangan pandemi yaitu dengan menerapkan karantina (lockdown) baik wilayah ataupun nasional. Lockdown dalam hal ini mencakup menutup gerbang transportasi luar negeri baik jalur laut ataupun jalur udara.

Lockdown itu apa? Rakyat dilarang keluar tapi kebutuhan dasar hidup mereka dipenuhi oleh negara.

Contohnya saja begini: Saat kita sakit, lalu pergi ke dokter untuk berobat, setelah itu pasti dokter akan memberikan resep obat yang harus kita minum. Kita tidak mungkin mengatakan, bahwa karena obat itu mahal dan juga rasanya pahit. Lantas menuntut untuk tidak meminum obat supaya uang untuk membeli obat dialokasikan untuk kebutuhan lain.

Ahli punya pengetahuan yang matang, khususnya dokter spesialis, bahwa untuk bisa sembuh harus mengonsumsi obat.  Dan bagi masyarakat yang tidak memiliki uang, bukan berarti harus menuntut untuk berhenti atau tidak membeli obat, akan tetapi menuntut agar negara hadir dan menyediakan layanan kesehatan gratis bagi rakyatnya, seperti itulah logikanya. Jadi, kalau ada orang yang menuntut PPKM dihentikan dengan alasan banyak warga menderita, kelaparan, kesulitan mencari nafkah disaat yang sama seakan juga menyatakan:

Baca Juga:  Lestarikan Budaya Literasi

 “Udah gak apa-apa mereka meninggal dunia karena corona, yang penting ekonomi tetap jalan.”

Bukankah cara berpikir seperti itu tidak jauh berbeda dengan cara berpikir elit? Mestinya, jika serius berada di belakang rakyat, buatlah surat terbuka dan menuntut pemerintah agar memenuhi dan atau menjamin kebutuhan hidup rakyatnya agar mereka tetap di rumah. Karena bagaimana mungkin ini berjalan efektif kalau kebutuhan hidup dasar rakyat tidak dipenuhi.

Kalo kita merujuk pada sejarah tentang pengaruh wabah Black Death di masa Utsmaniyah. Dalam tulisan Cambridge yang berjudul “The Black Death and The Rise of The Ottomans” dapat ditemukan sebuah pernyataan menarik:

Furthermore, Ottoman charitable institutions were not quite state initiatives: most grand mosques, soup kitchens, and hospitals were started by a generous donation from a Sultan, a member of his family, a grand vizier, or a provincial governor, but those who contributed did so as private individualis, not as state agents.”

Bahwa, bantuan sosial yang dilakukan oleh pejabat tidak ditafsirkan sebagai bentuk perhatian negara. Melainkan dilakukan hanya sebagai sikap kepedulian individu mereka.

Hal yang cukup menarik, pembahasan berbagai kajian atas tindakan khilafah dalam menanggulangi wabah dan orang-orang sakit, justru menunjukkan bahwa negara menginisiasi wakaf. Karena walau bagaimanapun,  wakaf dianjurkan dalam ajaran terlebih diterapkan dalam sistem pemerintahan Khilafah yang akan menjamin penyaluran atau pendistribusian wakaf, dan negara memotivasi orang-orang yang berkecukupan untuk melakukannya secara masif dan tersistematis.

Wakaf inilah yang menjadi asal muasal menjamurnya rumah sakit, masjid, dan sekolah di masa Khilafah. Biaya yang dikeluarkan oleh negara khilafah pun sepertinya tidak dianggarkan secara khusus sebagaimana pengertian dalam APBN  yang kita kenal saat ini. Sebab, Baitul Mal memprioritaskan pengeluaran itu berdasarkan kebutuhan aktual di lapangan.

Hal ini pula yang menyebabkan menjamurnya Imaret di masa Khilafah Utsmaniyah. Imaret merupakan semacam dapur umum yang dapat dengan mudah ditemukan di berbagai tempat yang berfungsi memberi makan secara gratis bagi kalangan masyarakat yang membutuhkan. Imaret sering ditemukan dalam kompleks pemerintahan (kulliye) yang menyatu dengan bangunan lainnya seperti masjid, sekolah, dan rumah sakit.

Yang paling menarik adalah Imaret yang berfungsi sebagai dapur umum untuk memberikan makan secara gratis, ternyata tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat muslim.  Dengan kondisi Utsmaniyah yang saat itu wilayah kekuasaanya sangat luas sehingga meliputi wilayah-wilayah dengan mayoritas berpenduduk non-muslim. Maka Imaret menjadi sebuah lembaga yang mengenalkan toleransi dalam dan meleburkan masyarakat muslim dan non-muslim.  Dalam skala yang lebih luas, Imaret juga menjadi tempat paling diminati oleh para turis atau pelancong karena mereka dapat mendapatkan makanan secara gratis.

Baca Juga:  Latah Berjudi Saat HARBOLNAS

Hal ini terjadi secara terus menerus dalam sistem pemerintahan Islam Khilafah Islamiyah bahkan berlangsung secara masif, terstruktur, dan sistematis dari generasi ke generasi, serta menjadi fenomena umum meski dari setiap masa ke masa terus mengalami perkembangan dari pada masa sebelumnya.

Maka, sudah jelas sekali berbeda dengan sistem kapitalisme demokrasi liberal saat ini. Menurut Karl Marx, kapitalisme hanya akan menghasilkan masyarakat kapitalis yang teralienasi (terpisah) dari diri sendiri, orang lain, dan pekerjaannya atau dalam bahasa lain yang lebih sederhana adalah masyarakat yang sangat individualis.

Maka, tak perlu banyak berharap bahwa para pejabat akan mengalokasikan sebagian hartanya untuk kemaslahatan rakyat di masa pandemi seperti ini, minimal mengalokasikan fasilitas-fasilitas mewah negara dan aset-aset pribadi miliknya untuk membantu rakyatnya. Kalaupun ada, itu pun lebih banyak diinisiasi oleh swasta maupun sesama masyarakat sipil.

Dalam kondisi negara yang sedang dilema saat ini, antara mementingkan kesehatan rakyat atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bisa saja negara berdalih untuk tidak memenuhi kebutuhan dasar hidup rakyat.

Tapi kalau kita lihat gaya hidup para pejabat dan jumlah kekayaannya yang cukup fantastis, saya kira dapat lebih bermanfaat sebagiannya diperuntukkan bagi masyarakat yang terdampak pandemi Covid ini. Bukan hanya asyik menonton sinetron sembari mengomentari skenario film berdasarkan kacamata hukum seakan-akan itu adalah kejadian nyata, yang hanya diperuntukan meramaikan media sosial. Sedangkan di sisi lain, rakyat sedang kesulitan mencari sesuap nasi akibat kebijakan yang tidak dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan dasar hidup rakyat.

Para pejabat tidak perlu takut disebut ‘riya’ dan tidak perlu takut dianggap ada unsur politis dalam gerakan wakafnya. Saat pandemi dan menurunnya pertumbuhan ekonomi negara, seharusnya menjadi sarana bagi para pejabat negara untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, khususnya menyedekahkan sebagian hartanya demi pemenuhan kebutuhan hajat hidup rakyat. Walau bagaimanapun, para pejabat adalah representasi dari sikap negara secara keseluruhan seperti yang dilakukan oleh negara Khilafah Utsmaniyah.

Lagi Trending