Oleh: Kanda Muh. Razak, Ketua Komisariat IAIN Palopo
Dalam dunia pendidikan, kritik merupakan salah satu instrumen penting untuk evaluasi dan perbaikan sistem yang ada. Namun, belakangan ini muncul kelompok yang mengaku sebagai aktivis literasi, tetapi menunjukkan sikap anti kritik. Salah satu contohnya adalah kejadian di IAIN Palopo, di mana Wakil Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) mengeluarkan pernyataan yang mengecewakan sejumlah aktivis literasi (Indeksmedia: 2023).
Dalam konteks ini, penting untuk merujuk pada pemikiran beberapa tokoh pendidikan Indonesia yang dapat memberikan pandangan lebih luas tentang pentingnya kritik dalam dunia pendidikan. Lima tokoh pendidikan yang akan kita bahas dalam Literatur ini antara lain Ki Hadjar Dewantara, Dewi Sartika, Raden Ajeng Kartini, Maria Montessori, dan Paulo Freire.
Ki Hadjar Dewantara, yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, menekankan pentingnya pendidikan karakter yang didasarkan pada ideologi Pancasila. Pendidikan karakter ini mencakup sikap terbuka terhadap kritik dan perbaikan diri.
Dewi Sartika, perintis pendidikan perempuan di tanah Sunda, juga menekankan pentingnya pendidikan yang inklusif dan merangkul perbedaan. Dalam konteks ini, kritik dan diskusi terbuka menjadi bagian penting dari proses pendidikan yang inklusif.
Raden Ajeng Kartini, tokoh perempuan yang berjuang untuk kesetaraan gender dalam pendidikan, menegaskan bahwa perempuan harus memiliki akses yang sama dalam pendidikan, termasuk kesempatan untuk mengkritik dan menyampaikan pendapat mereka.
Maria Montessori, pendidik terkenal yang mengembangkan metode Montessori, menekankan pentingnya lingkungan pendidikan yang mendukung kebebasan berpikir dan berekspresi Dalam metode ini, kritik dan diskusi terbuka menjadi bagian penting dari proses belajar.