Oleh: Muhammad Aldiyat Syam Husain/Direktur Kornas LBHMI PB HMI
Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, hasil amandemen ketiga pada konstitusi Indonesia tersebut telah mengamanatkan negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Menurut Kusnardi & Ibrahim (1983) dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
Negara Indonesia menentukan bahwa pemilihan umum dilakukan sekali dalam lima tahun, yang dimana secara konstitusional pemilu diatur dalam pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. Salah satu subjek vital yang dipilih melalui pemilu adalah presiden dan wakil presiden. Moh. Mahfud MD (2013) konstitusi hasil amandemen mengarah pada penguatan dan purifikasi sistem pemerintahan presidensial yang antara lain di implementasikan dalam pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung. Satya Arinato sebagaimana dikutip Abdul Latif (2009) mengemukakan alasan diselenggarakan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung yakni:
- Presiden terpilih akan mendapatkan mandat serta legitimasi kuat karena rakyat mendukung dengan cara memberikan suara secara langsung;
- Presiden terpilih tak terikat pada konsesi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah memilihnya;
- Sistem ini menjadi lebih “accountable” dibandingkan sistem pada masa orde baru, karena rakyat tidak lagi menitipkan suaranya melalui MPR;
- Kriteria calon presiden dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suara.
Adapun untuk pencalonan presiden dan wakil presiden diatur dalam pasal 6A ayat (2) UUD NRI yaitu “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Lebih lanjut dituangkan dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu (selanjutnya disingkat “UU No. 7/2017”) dalam pasal 222 menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Kebijakan Presidential Threshold diambil berdasarkan pemilu anggota DPR sebelumnya serta norma pasal 222 UU No. 7/2017 yang lahir dari kewenangan atribusi yang diberikan dari pasal 6A ayat (5) dan pasal 22E ayat (6) adalah suatu permasalahan yang dapat dikaji secara mendalam apakah sudah sesuai atau malah terjadi konflik norma (geschijd van normen).
Sejarah Ambang Batas Pencalonan Presiden (Presidential Threshold) di Indonesia
Dari pemilu ke pemilu ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden selalu berubah-ubah.
Di Indonesia, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) pertama kali dirumuskan dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 5 ayat (4) UU itu menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.
Ketentuan ambang batas itu pun pertama kali diterapkan pada pemilu 2004, bertepatan dengan pertama kalinya Indonesia melangsungkan Pemilihan Presiden secara langsung.
Kemudian, lima tahun setelahnya atau pada pilpres 2009, besaran ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) kembali mengalami perubahan dalam hal ini diikuti dengan berubahnya Undang-Undang Pemilu. Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Aturan tersebut tertuang dalam UU Nomor 42 tahun 2008.