Oleh : Muflikhah
Setelah 73 tahun Indonesia merdeka, dan dengan sebanyak 7 (tujuh) kali pergantian kepemimpinan, Indonesia tetap konsisten dengan
ideologi yang sampai saat ini dianut dan diamalkan yaitu “Pancasila”. Menilik sejarahnya, setiap rezim yang dilalui oleh bangsa Indonesia,
ideologi tidak terlepas dan menjadi alat politik untuk mempertahankan kekuasaan. Tentunya dengan berbagai macam penguatan di dalamnya. Jika Orde Lama memiliki Manipol-USDEK; Orde Baru memiliki P-4 yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat.
Indonesia sebagai negara yang besar, ke depannya pasti akan menghadapi tantangan yang lebih berat. Arus globalisasi dan modernisasi begitu menguasai hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Namun dengan semangat juang dan optimisme serta rasa kebanggaan sebagai negara yang besar, dirasa yakin sedikit banyaknya mampu mempertahankan
ideologi yang menjadi dasar negara Indonesia tercinta.
Ideologi bangsa tidak akan terkikis oleh zaman, namun patut diwaspadai bahwa saat ini perubahan dunia sangat cepat. Sehingga kedudukan ideologi bangsa akan dapat terurai jika kesadaran berideologi telah hilang. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memiliki posisi strategis di jalur perdagangan Asia Paasifik dengan rentang geografi yang luas dan jumlah penduduk yang banyak, serta didukung oleh kekayaan akan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Berhadapan dengan itu, Indonesia rentan dimasuki oleh ideologi baru yang dapat mengubah persepsi masyarakat dalam memandang pancasila sebagai ideologi Negara.
Dalam sejarahnya, perebutan pengaruh ideologi negara Indonesia ditemukan sebuah drama yang tidak kalah berdarah daripada kisah Romusha misalnya. Bahkan dalam perjalanannya setelah merdeka, perebutan hegemoni sedikit banyaknya mengundang keterlibatan dua negara adidaya yaitu Uni Soviet dan AS. Pergolakan ideologi lainnya melibatkan elit intelektual muda bangsa yang sempat mengenyam
pendidikan tinggi di luar negeri (Eropa dan Arab) yang ketika pulang kampung sebetulnya turut berjibaku dalam pertaruhan ideologi. Contoh: Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Agus Salim dan lain-lain.
Berkaitan sebuah ideologi terhadap perpolitikan di Indonesia, pun melahirkan persaingan politik yang lebih menonjolkan kepentingan pragmatis sebuah kelompok. Di Indonesia sendiri penyebutan keberpihakan ideologis banyak sekali, namun dalam hal penyebutan ini dapat dilihat mengupayakan tidak menghilangkan ideologi yang sebenarnya. Misal: Nasionalisme Religius, Islam Moderat, Nasionalis Islam Modernis, dan lain sebagainya.
Di era saat ini, partai semakin menjamur. Sedangkan keberpihakan kiri dan kanan cenderung mengambil jalur aman menjadi partai tengah. Sehingga konfrontasi ideologi tidak begitu menjadi soal. Apalagi setelah munculnya paradigma baru di benak masyarakat Indonesia bahwa semua adalah sama untuk membangun Indonesia. Mengutip dari perkataan Bill Moyer,
“Jangan sampai kecairan ideologi membuat jiwa pergerakan menjadi”
Bahwasanya krisis identitas, tidak berdaya menghadapi realitas, akhirnya tidak dapat meraih kemenangan dan akan selalu terjebak dalam argumentasi yang tidak aka nada ujungnya dan agenda protes.
Pengaruhnya terhadap organisasi kampus
Kurang mendarah dagingnya suatu ideologi membuat masivitasi dan keberpihakan suatu bangsa menjadi kendor, bahkan menjurus pada suatu pengkhianatan sewaktu-waktu. Gerakan mahasiswa kini terlepas dari ragam keberpihakan dan independensi, diharapkan masih mampu menjaga tradisi ideologi yang telah di sah kan oleh negara.
Politik kampus merupakan manifestasi dari gerakan mahasiswa, berwujud pemerintahan mahasiswa dalam lingkup kampus tempat lahirnya generasi intelektual muda masa depan. Hal ini berpengaruh pada kemajuan terhadap pembangunan manusia yang berkualitas dan berkompeten pada bidangnya. Kampus juga merupakan tempat bertaruhnya ideologi dan kaderisasi. Sehingga adanya gerak politik di kampus adalah sebuah keniscayaan. Karena hal ini merupakan berkenaan dengan ideologisasi dan
pendidikan politik.
Melalui politik kampus, belajar bagaimana memimpin masyarakat, tidak semata di dalam lingkungan kampus. Bagi organisasi gerakan seperti
HMI (MPO),
HMI Dipo, KAMMI, PMII, GMKI dan organisasi lainnya, politik kampus merupakan salah satu entitas yang mesti diperjuangkan. Tentunya bukan berarti berkonotasi negative dan sarat kepentingan. Melainkan sebagai usaha untuk menghidupkan kultur gerakan mahasiswa dan membangun kesadaran atas kondisi yang melanda di negeri ini.