Momentum penerimaan mahasiswa baru
(Maba), merupakan momentum yang paling ditunggu-tunggu oleh para Pencari Kader
(Pencakar), baik itu dari organisasi internal, maupun eksternal kampus. Momentum
itu, dijadikan oleh para Pencakar sebagai ajang berkompetisi, untuk menjaring sebanyak-banyaknya
maba.
Hal ini tentu didasari oleh
beberapa hal, diantaranya yaitu regenerasi organisasi. Sebagai orang yang
mengabdikan diri untuk organisasi, kita rela mengorbankan apapun, demi keberlangsungan
hidup organisasi. Dalam hal ini, saya kader HMI (MPO).
“Jangankan hanya untuk patungan
bayar token listrik atau bayar iuran WiFi sekretariat, organisasi butuh aku
saat jam kuliah, kan ku lobi dosen supaya bisa berangkat. Kalau susah, yaa
ambil jatah bolos. Hehehehe,”. Begitulah ucapan pengabdi organisasi, meskipun
lebay.
Dengan pengorbanan tersebut,
pastinya tidak ada yang mau melihat masa depan organisasi yang terang susah,
apalagi bubar hanya karena tidak ada penerus. Maka dengan hadirnya momentum
penerimaan maba ini, membuat para pengabdi organisasi menjadi kembali sumringah
dan semangat. Minimal, mereka jadi mau beberes sekretariat.
Namun, ada pula yang memandang momentum
ini dari sisi politik elektoral. Tak dapat dipungkiri, ribuan maba yang
gemas-gemas ini, merupakan penyumbang suara terbesar. Karena, tingkat
partisipasi mereka dalam mengikuti agenda Pemilihan, baik tingkat Universitas
maupun Jurusan/Prodi, itu sangat besar.
Riset dari mana? Bukan riset,
hanya pengalaman. Karena aku pernah mengalami jadi maba, dan bagaimana maba
lebih mudah dimobilisasi ketimbang mereka yang sudah semester ‘agak’ tua.
Mungkin karena wayahnya untuk nurut dengan senior-seniornya.
Ada pula yang memandang bahwa
momentum ini merupakan kesempatan, untuk meningkatkan daya tawar organisasi
kepada penguasa. Sebab bukan menjadi rahasia, bahwa penguasa akan selalu
bergenit mata dengan mereka yang memiliki massa yang besar.
Sayangnya, daya tawar yang mereka
incar tersebut, bukan untuk kepentingan publik. Melainkan hanya untuk
kepentingan kelompok dan golongannya saja. Alih-alih rakyat merasa dibela,
justru yang terjadi hanya rakyat yang merasa namanya dijual, untuk
kepentingan-kepentingan mereka.
Dua hal terakhir inilah, yang
sering membuat para Pencakar ini, saling cakar-cakaran satu dengan yang lainnya.
Cakaran tersebut pun bermacam-macam, mulai dari pembusukan citra organisasi
lawan, seperti ilegal, sesat, dan radikal. Ataupun cakaran dalam bentuk fisik,
seperti pembubaran stand, melarang untuk membuka stand, dan lainnya. Riset dari
mana? Hehehe, kalian tau jawabannya.
Ini bukan apa-apa ya, tapi kalau
bilang bukan apa-apa, pasti ada apa-apanya. Jadi, mengapa kita tidak melihat
maba ini sebagai manusia pada umumnya? Bukan sebagai angka yang nanti akan
meroketkan perolehan suara pada pemilihan raya (Pemira), ataupun sepasukan
tempur yang siap mati demi kepentingan golongan semata?
Mereka layak untuk dihargai. Kita
sebagai mahasiswa yang kebetulan lebih dulu menduduki bangku kuliah, wajib
menghargai. Adapun mengenai penjaringan maba untuk menjadi kader, mari kita
lakukan dengan sehat. Ya, kita memang sedang berkompetisi. Tapi jangan ada
bambu runcing diantara kita. Atau cakar runcing?
Terakhir, aku atas nama organisasi, mengucapkan selamat datang kepada adinda-adinda maba gemas di dunia perkuliahan. Jangan kaget kalau dinda nanti diperebutkan oleh banyak organisasi ya…… Ikut HMI (MPO) yuk?