Oleh: Korp HMI-Wati (KOHATI) Serang Raya
Kekerasan seksual diartikan sebagai perbuatan yang di dalamnya merendahkan, melecehkan, menghina, atau menyerang bagian tubuh seseorang dan fungsi reproduksinya hingga menyebabkan fisik dan psikis seseorang terganggu.
Kota Serang merupakan pusat pemerintahan provinsi Banten yang di dalamnya masih belum aman dari tindak kekerasan seksual, mengapa dikatakan demikian? Menurut Survei cepat yang dilakukan oleh Korps HMI-wati (Kohati), sebanyak 93,3 % masyarakat menilai Kota Serang belum aman dari tindak kekerasan seksual. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan dan menimbulkan banyak pertanyaan besar serta keresahan di lingkungan masyarakat sekitar. Lantas apa upaya Pemerintah Kota Serang dalam menyikapi kasus tersebut setelah 15 tahun berdiri?
Ketika melihat pada fakta yang ada, kekerasan seksual yang terjadi di Kota Serang sering dialami oleh perempuan dengan pelaku yang sangat variatif, pada urutan pertama hasil survei mengatakan sebanyak 26,3 % teman bermain menjadi pelaku tindak kekerasan seksual, disusul oleh rekan kerja sebanyak 13,2 %, pada urutan ketiga pelaku kekerasan seksual adalah tetangga dan atasan kerja sebanyak 7,9 %. Melihat fakta tersebut, tentunya harus menjadi perhatian khusus dan menjadi masalah serius yang harus ditangani oleh Pemerintah Kota Serang. Dari berbagai macam kasus kekerasan seksual yang ada, menurut hasil survei didapatkan bahwa catcalling adalah hal yang sering di dapat oleh para korban dan menempati urutan pertama yaitu sebanyak 47, 9 %, disusul dengan meraba tubuh tanpa izin sebanyak 23,9 % dan eksploitasi seksual sebanyak 8,5 %.
Tentunya ketika ditelisik lebih dalam, banyak faktor yang mengakibatkan banyaknya kasus kekerasan seksual, di antaranya adalah sebanyak 65,8% pengetahuan dan kesadaran masyarakat Kota Serang masih sangat minim sehingga maraknya kasus kekerasan seksual terjadi. Menyusul faktor kedua sebanyak 34,3 % masyarakat mengatakan masih minimnya keamanan dan infrastruktur di Kota Serang, mulai dari penerangan jalan yang masih kurang bahkan sampai ruang-ruang untuk perempuan yang belum terpisahkan.
Dari hasil survei yang telah dilakukan, didapatkan fakta mencengangkan, 55,6 % korban kekerasan seksual di Kota Serang tidak berani untuk melapor karena sekitar 62 % tidak ada tindak lanjut yang diberikan oleh pihak yang seharusnya fokus dalam menanganinya, dianggap biasa saja dan diabaikan. Ada apa sebenarnya dibalik terjadinya hal tersebut? Apakah pemerintah Kota Serang serius dalam menangani kasus kekerasan seksual atau justru abai dengan adanya fenomena yang sangat memprihatinkan yang ditemui dalam lingkungan masyarakat sekitar?
Melihat fakta-fakta yang telah dijelaskan di atas, tentunya hal tersebut sangat miris untuk dilihat ketika disandingkan dengan perwujudan Kota Serang yang berdaya dan berbudaya, dan sangat jauh capaiannya untuk terciptanya tujuan tersebut. Sehingga hasil riset ini perlu diketahui oleh masyarakat Kota Serang agar bersama-sama memperjuangkan proses pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual dengan aturan yang sistematis dan program yang dapat dijadikan rujukan guna mengantisipasi dan mencegah semakin banyaknya kasus tersebut terjadi. Maka dari itu, Korp HMI Wati (Kohati) menuntut komitmen dari Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan anak, Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Kota Serang, Walikota Serang, serta seluruh Anggota DPRD Kota Serang untuk turut serta serius dalam pencegahan dan penanganan maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi.