Oleh: Kanda Muh. Nuh Fajar Arsyad, Kader HMI MPO Cabang Makassar
Hasil Pleno 3 PB HMI menetapkan Aceh sebagai tuan rumah Kongres ke XXXIII menimbulkan banyak pertanyaan serta keresahan kader HMI. Tidak sedikit yang menilai Aceh tidak layak sebagai penyelenggara hajatan terbesar HMI tersebut.
Aceh dinilai masih berstatus Cabang ‘Bina‘, belum pernah mengadakan kegiatan nasional, dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memadai. Jarak ke lokasi Kongres yang terbilang jauh, ditambah biaya yang mahal, turut menjadi pertimbangan bagi cabang-cabang lainnya. Sehingga keputusan yang di ambil oleh PB HMI terkait Tuan Rumah Kongres sontak membingungkan kita semua.
Penetapan Aceh sebagai tuan rumah Kongres ke XXXIII, PB HMI sama sekali tidak mempertimbangkan pandangan cabang-cabang. Padahal sebelumnya, hasil Rapat Pimpinan Cabang menetapkan indikator kelayakan Tuan Rumah Kongres.
Sementara itu, masih ada beberapa cabang yang bisa dibilang terletak pada lokasi strategis, sehingga memudahkan cabang-cabang untuk berpartisipasi pada kegiatan Kongres, misalnya Cabang Jakarta. Cabang Jakarta dinilai strategis, memiliki SDM yang memadai dan pengalaman dalam kegiatan-kegiatan besar.
Banyaknya cabang yang memprotes Aceh sebagai tuan rumah Kongres, mesti menjadi pertimbangan khusus bagi PB HMI. Terlebih, Kongres berangkat dari aspirasi cabang-cabang, bukan semau-maunya PB HMI. Pun jika PB HMI memaksakan Kongres terlaksana di Aceh, seharusnya PB HMI memberikan informasi sejauh mana progress persiapan Kongres pasca-Pleno 3 di Manado kemarin.
Transparansi Keuangan
Salah satu visi misi PB HMI yakni menjalankan organisasi HMI di atas prinsip transparansi dan akuntabilitas dengan membuat standar ‘pelaporan keuangan’ yang dapat diakses secara publik, kini hanya omong kosong belaka.
Penulis telah mengecek akun media sosial PB HMI, namun tidak menemukan pelaporan keuangan yang dimaksud. Hal ini sangat disayangkan, sebab wujud transparansi keuangan sangatlah penting sebab merupakan hal yang sensitif dan rawan disalah gunakan. Tidak adanya data penggunaan anggaran di tingkat PB HMI juga dapat menimbulkan prasangka-prasangka negatif terhadap Pengurus Besar HMI, dibawah komando Affandi Ismail sebagai Ketua Umum.
Selain dari pada itu, penggunaan keuangan HMI harus melibatkan Ketua Umum dan Bendahara Umum. Dengan tidak adanya transparansi keuangan secara publik semakin membuat kita patut curiga. Apalagi Bendahara Umum PB HMI teramat jarang muncul pada kegiatan-kegiatan HMI.
Mengapa Kongres Perlu Disegerakan?
Kita telah tiba pada bulan Agustus 2022 yang berarti genap sudah 2 tahun 6 bulan PB HMI bekerja. Kongres yang semestinya terlaksana pada Februari 2022, justru molor setengah tahun. Mengingat jadwal Kongres yang terbilang sudah terlampau jauh dari jadwal yang semestinya, hingga saat ini belum ada kejelasan pelaksanaannya.
Penggelaran Kongres memang bukan perkara mudah, namun kesiapannya tentu sangat dipengaruhi oleh PB HMI dan tuan rumah yang ditunjuknya.
Namun beberapa peserta Pleno 3, mengatakan Kongres akan digelar pada bulan Oktober 2022, ada juga yang mengatakan bahwa Kongres akan digelar pada Desember 2022 mendatang. Sementara disisi lain, pasca penetapan Aceh sebagai tuan rumah Kongres, belum ada progres yang signifikan.
Kongres merupakan forum tertinggi HMI yang dihadiri oleh seluruh cabang Indonesia, sudah barang tentu di persiapkan secara matang-matang. Kongres yang dipandang sebagai ajang memilih kader terbaik sebagai pucuk kepemimpinan harus ditopang oleh penyelenggara yang baik pula.
Kita berharap PB HMI sudah bisa menyampaikan progres Kongres pada Oktober untuk memastikan Desember Kongres betul-betul terlaksana.
Jika belum ada perkembangan progress Kongres pada Oktober, maka semestinya ada dua konsekuensi yang akan dihadapi PB HMI. Pertama, cabang-cabang akan bergejolak sehingga membuka potensi Kongres Luar Biasa (KLB), kedua cabang-cabang akan mendesak PB HMI untuk menunjuk PJ Ketua Umum serta menonaktifkan Ketua Umum Affandi Ismail.
Kriteria Caketum PB HMI
Pada dasarnya menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah. Hemat penulis, sejak dini cabang-cabang perlu merumuskan kriteria tambahan bagi Calon Ketua Umum (Caketum) menurut versinya masing-masing. Paling tidak, penulis sebagai kader HMI menawarkan dua kriteria calon Ketua Umum PB HMI.
Pertama, kader yang punya kemampuan menulis. Sebagai calon Ketua Umum PB HMI sudah selayaknya memiliki kemampuan ini, sebab kegiatan menulis merupakan bagian dari tradisi khazanah intelektual yang tidak dapat terpisahkan sedari dulu. Ketua Umum PB HMI yang mahir dalam menulis diharapkan mendorong tradisi intelektual ini ke semua struktur HMI hingga ke level Komisariat.
Kedua, kader yang berintegritas. Sebagai caketum PB HMI, seorang wajib memiliki integritas yang tinggi. Dengan integritas, menjadi modal Ketua Umum PB HMI untuk selalu patuh serta taat terhadap Konstitusi HMI, termasuk menjaga Independensi HMI sebagai organisasi Perjuangan.
Informasi terbaru yang beredar bahwa PB HMI belum pernah mengeluarkan SK Panitia Pelaksana persiapan pelaksanaan Kongres XXXIII. Ada juga yang mengatakan bahwa Kongres akan digelar di dua tempat yang berbeda, di Jakarta digelar pembukaan dan di Aceh forum Kongres terlaksana. Hal ini dilakukan untuk memberikan rasa adil kepada 2 cabang.
Kita semua berharap agar PB HMI memberikan informasi yang jelas akan kepastian Kongres ke XXXIII. Pengurus Besar HMI jangan sampai mengingkari konstitusi dan membuat cabang-cabang bergejolak.