Kabar

Dinamika Kontestasi Politik di Indonesia Menjelang Pesta Demokrasi 2024

Published

on

Oleh: Shinta Eka Marlina

 

Suarahimpunan.com – Pasca kemerdekaan demokrasi di Indonesia mengalami beberapa kali perubahan, dari sistem demokrasi konstitusional, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, hingga masa reformasi. Istilah demokrasi dalam terminologi Yunani, demos berarti rakyat dan kratos berarti kekuasaan. Secara umum demokrasi digaungkan sebagai kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. 

Ciri khas dari sebuah negara demokrasi adalah partisipasi publik yang berupa hak kebebasan dalam menentukan pemimpin politik sesuai keinginan mereka. Untuk itu, salah satu sarana fundamental dalam mengakomodir partisipasi publik tersebut adalah dengan terselenggaranya pemilihan umum (Pemilu). Pemilu merupakan gerbang utama demokrasi, seyogyanya mampu menyajikan kontestasi politik yang berintegritas dan bermartabat. Meskipun realitasnya pemilu acapkali menjadi ajang bagi para penguasa untuk mempertahankan kekuasaan dan status quo.

Menjelang pemilu serentak di tahun , pertarungan perebutan kekuasaan mulai dikampanyekan dengan cara yang terkesan serampangan melalui berbagai lini masa yang melibatkan banyak kalangan hingga menimbulkan polemik di masyarakat. Adanya indikasi cawe-cawe, manuver, dinasti politik, hingga sebutan mahkamah keluarga menjadi sajian utama di jejering sosial dewasa ini. Polemik ini terus bergulir bak bola salju dan memunculkan gelombang opini masyarakat.

 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU-XXI/2023

Dinamika menjadi hal yang lazim setiap menjelang berlangsungnya kontestasi politik, tidak terkecuali hari ini. Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya, menjadi sorotan usai mengabulkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia -cawapres pada 16 Oktober lalu. Mengutip BBC News Indonesia, dalam putusan MK yang kursi ketuanya diduduki Anwar Usman – adik ipar Presiden Jokowi – memberi jalan bagi Gibran putra sulung presiden masuk bursa pilpres dengan mengubah ketentuan syarat -cawapres boleh berusia di bawah 40 tahun selama memiliki pengalaman sebagai kepala daerah. 

Banyak kalangan menduga adanya konflik kepentingan hingga “rekayasa hukum” dalam putusan tersebut. Unsur kepentingan ini dinilai semakin terkonfirmasi sejak Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mendeklarasikan diri maju di Pilpres dan mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai bakal -cawapres pada 25 Oktober 2024. 

Menurut Fadli Ramadhanil (PERLUDEM) dalam diskusi terbuka obrolan anak Tebet, Gelombang pertama permohonan judicial review soal syarat usia capres-cawapres masuk ke MK diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), kemudian partai Garuda dan diajukan oleh beberapa orang kepala daerah yang juga kader partai Gerindra salah satunya Walikota Bukittinggi Sumatera Barat.

Dalam permohonanya PSI meminta batas usia dari 40 tahun menjadi 35 tahun, Sedangkan partai Garuda dan beberapa kader partai Gerindra meminta syarat usia itu diturunkan atau menjadi klausul yang alternative dengan klausul yang mengatakan syarat usia capres-cawapres berusia 40 tahun atau pernah memegang jabatan di pemerintahan, ketiga permohonan ini masuk sebagai permohonan gelombang pertama di MK. Sedangkan gelombang ke-2 diajukan oleh Almas Tsaqib Birru bersama rekannya, Arkaan Wahyu yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS). Meskipun terjadi dissenting opinion pada putusannya, hakim MK mengabulkan judicial review UU Pemilu terkait batas usia capres-cawapres tersebut.

Implikasi dari putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 menyeret ketua MK Anwar Usman dilaporkan oleh sejumlah sipil ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Berdasarkan publikasi Narasi Newsroom (03/11/2023), MKMK menerima 20 laporan dugaan pelanggaran etik oleh hakim MK. Berikut 20 pihak yang melaporkan pelanggaran etik hakim MK ke MKMK, (1). Integrity Indrayana Center (2). Constitutional and Administrative Law Society (CALS) (3). LBH Yusuf (4). Zico Simanjuntak (5). Tumpa Nainggolan (6). Perekat Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (7). Komite Pemantau Independen Pemilu (8). Tim Advokasi Peduli Pemilu (TAPP) (9). LBH Barisan Relawan Jalan Perubahan (10). Perorangan Advokat (11). Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) (12). Perhimpunan Pemuda Madani (13.) Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia (14). BEM Unusia (15). Alamsyah Hanafiah & Partners (16). Advokat Lingkar Nusantara (17). Ahmad Fotoni, S.H., CLA (18). Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN) (19). Advokat Pengawal Konstitusi (20). Persatuan Advokat Demokrasi Indonesia 

Kamis 24 Oktober 2023, 16 guru besar serta pengajar hukum yang tergabung dalam CALS memberikan 4 poin laporan dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim Anwar Usman yang dilaporkan ke MKMK yakni; (1) Anwar Usman berkomentar soal gugatan batas usia capres cawapres sebelum perkara diputus (2) Tidak menjalankan fungsi kepemimpinan dengan optimal (3) Tidak tegas merespon kejanggalan dalam gugatan batas usia capres cawapres (4) Potensi konflik kepentingan. Dengan Petitum menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat kepada Anwar Usman. 

Menurut Fadli membuka peluang bagi anak muda untuk berpartisipasi politik tidak harus dengan cara instan dan cenderung memaksakan kepentingan. Mendorong anak muda berpartisipasi politik harus dilakukan dengan mekanisme yang demokratis. Dugaan keterlibatan dalam rekayasa hukum yang menyeret MK dalam dinamika politik menjelang pesta demokrasi menyebabkan lost intress public dan semakin menunjukan sisi demokrasi yang buruk di Indonesia. Hubungan kekeluargaan Anwar Usman ketua MK dengan Presiden Jokowi bergulir hingga menguatnya spekulasi dinasti politik.  

 

Baca Juga:  Pemain Kripto Siap-siap, Ini Prediksi di Tahun 2022, Kehadiran Metaverse Jadi Penunjang

Dinasti Politik 

Dinasti Politik tidak terlepas dari pengaruh sejarah feodalisme.  Praktik dinasti politik di negara yang menganut sistem demokrasi akan meningkatkan kekhawatiran terjadinya ketidaksetaraan distribusi kekuasaan politik yang dapat merepresentasikan kegagalan sistem demokrasi. Hal ini mengingatkan kembali kekhawatiran Mosca, bahwa setiap kelas menampilkan kecenderungan untuk menjadi turun-temurun, bahkan ketika posisi politik terbuka untuk semua, kedudukan keluarga penguasa akan dianugerahi berbagai keuntungan (Synder, dkk, 2009:115) dalam (Susanti, 2017)

Marcus Mietzner (2009) dalam paper yang berjudul Indonesia’s 2009 Elections: Populisme, Dynasties and the Consolidation of the Party System, menilai bahwa kecenderungan cukup menguat dalam politik kontemporer Indonesia. Praktik menurutnya tidak sehat bagi demokrasi, antara lain karena kontrol terhadap pemerintah yang diperlukan dalam demokrasi, misalnya checks and balances menjadi lemah. Dinasti politik dalam dunia politik modern dikenal sebagai elit politik yang berbasiskan pertalian darah atau perkawinan sehingga sebagian pengamat politik menyebutnya sebagai oligarki politik. Dalam konteks Indonesia, kelompok elit adalah kelompok yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan keputusan politik. Sehingga mereka relatif mudah menjangkau kekuasaan atau bertarung memperebutkan kekuasaan (Erlina, 2023). 

Menguatnya jaringan politik yang dibangun oleh dinasti politik berdasarkan kedekatan politik keluarga menyebabkan tertutupnya rekrutmen politik bagi orang-orang di luar dinasti. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Turner (dalam Bathoro, 2011:118), bahwa suatu jaringan mempunyai pengaruh penting terhadap dinamika transisi kekuasaan politik yang bisa berdampak terhadap tertutupnya rekrutmen politik (Erlina, 2023) 

Bisa dibayangkan jika dalam pembagian kekuasaan trias politika antara legislatif membuat undang-undang (rulemaking function), Eksekutif melaksanakan undang-undang (rule application function), dan Yudikatif mengadili pelanggaran undang-undang (rule adjudication function) dikuasai oleh satu kelompok atau keluarga maka akan sangat rentan terjadinya kecurangan dalam kontestasi politik. 

Pembiaran terhadap isu dinasti politik akan memperburuk demokrasi dalam sebuah negara. Dinasti politik membuat kekuasaan melahirkan kekuatan bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaan dan menjaga status quo. Hal ini tentu sangat jauh dari demokrasi yang ideal karena negara demokrasi bukanlah negara feodalisme yang kekuasaannya bertumpu pada bangsawan atau segelintir kelompok saja. Dalam demokrasi semua elemen masyarakat seharusnya memiliki peluang yang sama dalam mengikuti kontestasi politik untuk memperebutkan jabatan-jabatan politik baik level regional maupun nasional. 

 

Pesta Demokrasi (pemilu) 

Negara Indonesia telah menyelenggarakan 12 kali pemilihan umum (pemilu) terhitung sejak tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 dan akan dilaksanakan untuk ke 13 kali pada tahun 2024 mendatang. Sistem pemilu di Indonesia pernah mengalami tiga kali perubahan yakni; dari sistem proporsional tertutup pada tahun 1999, sistem semi terbuka pada tahun 2004, dan menjadi sistem terbuka penuh pada tahun 2009 hingga sekarang (Erlina, 2023).

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi mengumumkan 3 kandidat capres-cawapres yang akan berkontestasi pada pilpres 2024, diantaranya:

Dari tabel diatas menunjukan koalisi ‘gemuk’ Prabowo-Gibran, Meskipun diterpa gencarnya polemik dinasti politik yang menyeret keluarga presiden tampaknya tidak begitu mempengaruhi elektabilitas pasangan ini. Berbagai survei juga menunjukan elektabilitas paslon Prabowo-Gibran selalu menduduki polling teratas. Namun demikian poling ini masih bersifat sementara dan sangat bisa berubah-ubah. Pecahnya koalisi PDIP dengan Keluarga Presiden akan membuat kantong-kantong suara terbagi ke dua paslon Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran hal ini bukan tidak mungkin menguntungkan bagi paslon Anies-Imin. Penting untuk dipahami bahwa politik itu sangat dinamis, koalisi bisa menjadi oposisi begitu pula sebaliknya. 

Umumnya Partai-partai berkoalisi karena memiliki kepentingan yang sama dalam merebut dan mempertahankan posisi politik, diwaktu yang lain beroposisi secara sendiri maupun dengan partai yang lain untuk menghadapi partai yang lebih dominan. Oposisi menjadi lembaga pengontrol kekuasaan yang efektif dalam sistem politik modern, sehingga dikembangkan istilah yang populer “tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi” (Anggariani, 2013).

Pentingnya oposisi dalam demokrasi

Baca Juga:  Sikap Warga Negara dalam Menghadapi Pemilu Serentak 2024

Setelah pemilu 2019 dikala Gerindra, Demokrat, PAN, PKS yang berada di belakang Prabowo menjadi partai oposisi Jokowi. Namun akhirnya, Prabowo justru berkoalisi merapat menjadi kabinet kementerian presiden Jokowi. Kehadiran partai oposisi sangat diperlukan dalam demokrasi karena ketiadaan partai oposisi akan memberikan ruang leluasa dan pemerintah yang berkuasa menjadi otoriter, tanpa peduli adanya kritik, kontrol dan serta cenderung lebih mengedepankan kelompoknya (Meyer, 2012; (Ananda, 2023). Dalam konteks inilah sehingga peran oposisi atau di luar pemerintahan menjadi penting adanya, terkhusus untuk memastikan bahwa pemerintahan yang berjalan tetap berada dalam jalur kepentingan rakyat (Benartin & Paulus, 2022; (Ananda, 2023). Adanya tiga kandidat yang telah resmi mendaftar sebagai capres-cawapres akan menciptakan oposisi-oposisi baru yang artinya akan ada tiga kelompok partai oposisi, hal ini akan semakin mewarnai kontestasi politik di 2024 mendatang. 

Bergantinya kepemimpinan politik menjadi sebuah euforia tersendiri bagi rakyat Indonesia. Pesta demokrasi menjadi harapan baru akan hadirnya pemimpin yang mampu membawa kehidupan berbangsa dan bernegara kearah yang lebih baik.

Berbagai polemik dan spekulasi yang terjadi hari ini merupakan bagian dari dinamika dalam kontestasi politik. Adanya dinamika menjadikan pesta demokrasi lebih hidup dan menarik. Dugaan konflik kepentingan, manuver, , memang terkesan buruk dalam bingkai demokrasi. Namun, jika dimaknai dari sudut pandang yang lain dinamika yang terjadi akan melahirkan kesadaran politik masyarakat dan mebangun solidaritas kelompok sehingga setiap elemen masyarakat dapat menjadi kontrol terhadap pesta demokrasi mendatang agar terciptanya kontestasi politik yang berintegritas. 

 

(SEM/RED)

Bibliography

Ananda, A. A. (2023). Dinamika Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Sebagai Partai Oposisi Pada Masa Pemerintahan Periode 2019-2024. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar.

Anggariani, D. (2013). POLITIK KEKERABATAN. Jurnal Politik Profetik.

Budiardjo, P. M. (2017). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Erlina, F. (2023). Dinamika Sistem Pemilu dan Demokratisasi Partai. Kosmik Hukum.

KPU. (2022, Desember 30). Berikut 24 Partai Politik Peserta . Retrieved from Komisi Pemilihan Umum: https://www.kpu.go.id/berita/baca/11315/berikut-24-partai-politik-peserta-pemilu-2024

Saputra, Y., & Sodiq, F. (2023, Oktober 25). Prabowo-Gibran daftar capres-cawapres ke KPU, elektabilitasnya untung atau buntung? Retrieved from BBCNewsIndonesia: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cpvl6n9v0epo

Susanti, M. H. (2017). Dinasti Politik dalam Pilkada di Indonesia. Journal of Government and Civil Society.

Zulfikar, F. (2023, Agustus 23). Apa Partai Politik Pertama di Indonesia? Ini Sejarahnya. Retrieved from DetikEdu: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6851732/apa-partai-politik-pertama-di-indonesia-ini-sejarahnya

Lagi Trending