Oleh: Arif Firmansyah, Kader
HMI MPO Komisariat UIN SMH Banten
Orang tua zaman dulu selalu pandai dalam mendidik anak-anak mereka. Dalam situasi tertentu mereka selalu dapat menemukan kalimat-kalimat pusaka yang dijadikan petuah dalam kehidupan.
Salah satu kalimat pendek namun penuh makna, yang pernah diungkapkan oleh orang tua dahulu adalah kalimat “jika kata tak bermakna lebih baik diam saja”. Petuah ini mampu mengubah pola sikap anak-anak muda agar selalu berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu, baik secara lisan maupun tulisan.
Kalimat tersebut mungkin tidak berguna bagi seorang pegiat media sosial Eko Kuntadhi, yang kerap dijuluki sebagai
buzzer pemerintah, karena selalu membela segala kebijakan pemerintah dalam cuitan-cuitannya. Sehingga netizen menjulukinya sebagai
buzzer pemerintah, meskipun demikian dibantah oleh staf KSP Ali Mochtar Ngabalin.
Nama Eko Kuntadi melejit dan menjadi viral belakangan ini bukan saja karena cuitan-cuitannya yang selalu membela kebijakan pemerintah. Melainkan juga karena cuitan-cuitannya yang bersifat kontroversial yang sering kali memicu kegaduhan dan menyudutkan kelompok tertentu
Berita terbaru ini misalnya, Eko membuat sebuah cuitan yang berkaitan dengan film animasi Nussa dan Rara. Eko menyebut film tersebut seolah menunjukkan
Indonesia sedang mempromosikan khilafah ke seluruh dunia. Melalui akun twitternya, Eko juga menyoroti cara berpakaian dua karakter dalam film animasi tersebut yang disebut-sebut mirip dengan Taliban, sambil menunjukkan gambar dua karakter animasi itu yakni Nussa dan Rara.
Karakter animasi Nussa sendiri mengenakan koko dan peci, sedangkan karakter Rara mengenakan hijab dan busana tertutup. Asal muasal pakaian yang dikenakan dua karakter animasi ini lah yang menjadikan alasan Eko Kuntadhi menilai bahwa pakaian tersebut tidak mencerminkan
Indonesia. Menurutnya, pakaian tersebut lebih mencerminkan khas Taliban dan berbagai tuduhan tak mendasar lainnya yang disampaikan begitu provokatif.