Oleh: Rifki Nur Fauziah, Mahasiswa UIN SMH Banten.
Perkembangan teknologi telah melahirkan arus globalisasi dalam kehidupan masyarakat, globalisasi merupakan hegemoni dari negara maju terhadap negara berkembang yang dapat dilihat dari gaya berpakaian, gaya hidup, makanan instan dan menyerap berita tanpa nalar yang kritis. Salah satu fenomena penting dalam proses globalisasi adalah munculnya generasi milenial, generasi milenial juga sering disebut generasi gadget hal ini di karenakan generasi ini dalam kehidupannya selalu bersinggungan dengan peralatan yang berunsur teknologi informasi.
Sehingga unsur teknologi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan generasi milenial. Generasi milenial ditandai dengan meningkatnya penggunaan alat komunikasi, media dan teknologi informasi, seperti: internet, YouTube, google, Instagram, Facebook dll. Generasi milenial dalam mencari informasi dan belajar cenderung mengandalkan teknologi dalam berbagai aspek kehidupannya.
Penggunaan internet menghasilkan koneksi masyarakat satu sama lain sampai pada lintas daerah, negara, bahkan benua yang tidak terbatas oleh waktu dan tempat. Generasi milenial yang mengaplikasikan internet dalam kehidupan sehari-harinya dinilai kurang mampu memilah informasi. Terkadang informasi yang ada berupa informasi yang menyesatkan dan palsu yang kemudian dimakan mentah-mentah tanpa memilah informasi yang baik dan benar kemudian hal ini menjadi budaya yang mengakar terhadap generasi milenial.
Padahal informasi dan pengetahuan yang ada di tengah masyarakat dapat mencerminkan bagaimana kualitas bangsa dan generasinya. Namun, Dewasa ini generasi milenial dalam menggunakan internet cenderung Mengenyampingkan nilai-nilai moral dan etika, sehingga semakin merosotnya moral pada generasi milenial yang merupakan dampak negatif dari pesatnya perkembangan teknologi yang tidak di imbangi dengan peningkatan kualitas budi pekerti pelajar.
Kemerosotan moral juga dipengaruhi oleh lingkungan budaya-sosial di masyarakat. Dengan kondisi demikian generasi milenial tidak sapat menjadi generasi emas yang mampu membawa masyarakat dan bangsanya ke arah kemajuan dan hal tersebut layak untuk di khawatirkan akan berlangsungnya masa depan generasi selanjutnya.
Ketidak jelasan informasi dan ilmu pegetahuan di era sekarang ini sehingga menyadarkan kita akan pentingya untuk kembali mempelajari ilmu filsafat khusunya bagi generasi milenial. Hal ini karena untuk mengasah kembali skeptisme atas kebenaran, sistematika pemikiran dan logika berfikir ketika berasa di tengah-tengah ketidak jelasan informasi yang ada. Ilmu filsafat merupakan kunci untuk mengetahui lebih dalam tentang simbol-simbol yang ada ditengah masyarakat.
Ketika seseorang tidak mengetahui dan sesat dalam memaknai simbol tersebut maka seseorang akan kehilangan akal sehat sebagai manusia yang berpikir. Karena pada dasarnya manusia diberi akal untuk berfikir. Namun, saat akal tidak digunakan untuk berfikir dan digunakan secara baik logis maka hal tersebut sama saja menyiakan akal. Filsafat sebagai ilmu yang menempatkan akal sebagai raja pengetahuan, filsafat mengajak manusia kembali ke akal, mengajak manusia untuk mengembalikan dan meningkatkan daya kritis.
Bisa saja realitas disaksikan dengan indra, tapi realitas mesti disimpulkan dengan akal. Dengan akal, kebohongan akan terlihat sebagai kebohongan. Pada masa pra-sokratis di masyarakat yunani filsafat diposisikan sebagai pencarian akan makna kehidupan, dari mana asal hidup dan apa tujuan dari hidup sehingga filsafat pada era tersebut berfokus pada persoalan batiniah manusia.
Filsafat sebagai jawaban atas pertanyaan tentang kehidupan. Cara berpikir filsafat membantu seseorang untuk menentukan mana yang harus diterima dan mana yang harus dihindari. Dalam pemikiran seorang filsuf yaitu Thomas Aquinas “Bonum Est persequendumet malum evitandum” yang artinya melakukan yang baik dan menghindari yang jahat, pada generasi milenial diharapkan dapat mengamalkan prinsip moral dari pemikiran tersebut.
Patut diakui bahwa dinamika berfilsafat tidak selalu bergelut di zona-zona nyaman. Sebaliknya filsafat selalu menempatkan subyek berpikir pada wilayah berbahaya. Kondisi rentan bahaya ini adalah konsekuensi logis dari pola pikir dan pola laku filsafat yang garang menantang berbagai bentuk kemunafikan. Joseph Ratzinger yang dikenal sebagai Paus Benediktus XVI, dalam Consecrate them in the truth (1987) mengedepankan model pencarian kebenaran bernada filosofis.
Bahwasanya keberanian untuk mencari kebenaran memerlukan keutamaan seorang pencari kebenaran yakni tidak takut ke mana pencarian itu akan membawanya. Inilah radikalitas berpikir filsafat yang mesti dialami, dimaknai dan dijadikan prinsip hidup generasi milenial tentu dengan model yang lebih kontekstual. Di atas basis ini, generasi milenial sebenarnya membentuk militansi personal dalam perjuangan merengkuh kehidupan manusiawi yang kerap terpasung beragam kepentingan subjektif-parsial semata.