Oleh : Kanda Arif
“Ketika mimpimu yang begitu indah tak pernah terwujud ya sudahlah, saat kau berlari…..mengejar anganmu dan tak pernah sampai ya sudahlah” masih ingat dengan lagu ini? Yaaa.Lagu Bondan berjudul “ya sudahlah” yang rilis tahun 2010 itu sempat tenar dalam tangga lagu indonesia dan memikat kaum muda.Lagu ini bergenre hip hop alternatif dengan senTuhan musik pop. Mungkin teman-teman masih ingat juga dengan sebuah film bollywood berjudul “3 idiot” yang diperankan oleh aktor ternama dizamanny? Yaaa, betul sekali.Dia lah Amir Khan, penggagas kalimat pusaka ‘all is well’ untuk mempengaruhi kedua kawannya agar tetap tegar ketika harapan tak sampai, ketika permasalahan datang bertubi tubi, ketika realita tak sesuai dengan ekspektasi.
“Masalah masalah dan masalah”, kata itu selalu membayangi kita dalam menjalani titian kehidupan. Dan ternyata ketika permasalahan tak kunjung usai , lagu Bondan dan kalimat “all is well” yang dimaknai “ok semuanya akan baik-baik saja” menciptakan ketenangan jiwa walau hanya sejenak. Ungkapan tersebut muncul bukan ketika semua baik-baik saja tapi sebaliknya. Dari pada kita menyerah terhadap hidup yang dirasa sulit, ini lebih baik mengambil jeda sejenak.
Pengambilan jeda dalam kata ya sudahlah atau all is well memang tidak menyelesaikan masalah, tapi memberi kelegaan dan keyakinan bahwa harapan itu akan dapat diraih meskipun dirasa sulit. Seandainya harapan tidak tercapai tak apa, karena masih ada harapan baru, harapan baru dihari yang baru, harapan indah dihari yang indah, harapan suci sesuci senja di penghujung hari. Kita pun harus menyadari untuk mengatakan kata tersebut bukan berarti kita sedang baik-baik saja.
Harus kita akui, kita memiliki sisi lemah dalam diri, kerap kali saya menjadi pendengar setia bagi teman-teman yang mencurahkan kepiluan yang mereka alami dalam masa-masa remaja. “Rif, w bisa gak ya nyelesain skripsi?” “Rif, lamaran kerja w ditolak gimana ini, w gk mau nganggur” “Rif, w galau cewek w mau dinikahin” “Rif, w bisa gak yah nanti ngasih makan anak bini, sedangkan w cuma lulusan sd, gawe aja serabutan” atau “gue capek idup, mending gue mati aja” dan stigma-stigma lain yang mereka ungkapkan ketika harapan tak dapat digenggam.
Ketika mereka meluapkan segala kegelisahan, ketakutan yang mereka rasakan, saya faham sejatinya yang mereka inginkan adalah menjadi lebih baik dan bukan pesimis terhadap hidup. Mungkin hanya lelah karena memang kehidupan kadang meminta lebih. Dalam hal ini saya teringat dengan kalimat yang diungkapkan oleh salah seorang terapis yaitu Rogers, ia menerangkan salah satu alasan klien mencari terapi adalah perasaan ketidak berdayaan dasar, ketidak mampuan dan tidak mampu membuat keputusan atau mengarahkan secara efektif kehidupan mereka sendiri. Mungkin mereka berharap menemukan jalan melalui perjalanan terapis. Tetapi dalam kerangka kerja berpusat pribadi mereka segera belajar bahwa mereka dapat bertanggung jawab bagi mereka sendiri dalam hubungan dan mereka dapat belajar lebih segar dengan menggunakan hubungan untuk memperoleh pemahaman diri yang lebih besar (Rosjidan 1998).
Saya sepakat dengan pendapat tersebut karena dalam kondisi tertentu kita harus bersikap tulus, ikhlas, empati dan menerima kondisi apapun tanpa syarat. Kita percaya bahwa setiap orang telah diberi potensi masing-masing untuk menyelesaikan segala permasalahan yang membayangi setiap harapan. Ketika kita sudah berusaha dan berdoa namun harapan itu tak kunjung tercapai, atau dukungan keluarga, sahabat atau orang lain tak kunjung datang, kita hanya perlu mengatakan pada diri kita sendiri “ini memang berat dan saya sedang tidak baik-baik saja, tapi semuanya akan baik-baik saja”. Semoga kelegaan dan kelapangan hati mendatangi.
Tidak dapat di prediksi, kapan kondisi sulit menghampiri. Tapi ingat bahwa kita tidak pernah sendirian, masih banyak disekitar kita, atau mungkin dibelahan dunia sana milyaran manusia di muka bumi ini juga sedang berjuang dengan kondisi dan masalah mereka masing-masing. Kebahagiaan itu adalah hal yang pasti datang, Tuhan telah menggariskan alur perjalanan hidup setiap hambanya, Tuhan pun telah mempersiapkan kebahagiaan yang pasti diberikan, selama hambanya mau berusaha, berdoa dan bersabar. Kita perlu percaya pada diri bahwa harapan itu bukanlah sirna akan tetapi tertunda atau mungkin digantikan dengan harapan yang lebih baik dan berguna di masa yang akan datang. Kita adalah representasi doa yang dibarengi dengan sifat ke Maha Lembutan Sang Maha Esa.
Saya sering mengatakan pada diri saya sendiri “tidak apa-apa jika saya tidak berlari secepat kelinci dan hanya lambat seperti siput, yang penting tidak menyerah. Biarlah mereka berlari cepat karena memang ingin dan saya yang selambat siput hanya perlu terus berjalan, karena keduanya pasti akan sampai pada garis finish”. Sekarang kita hanya perlu fokus pada proses yang kita jalani, kita hanya perlu fokus pada potensi yang kita miliki, bukan kita membandingkan dengan hasil orang lain. Misalnya, saya dapat pringkat “5” sedangkan teman saya dapat peringkat “1” tentu itu sangat berbeda, jika saya berusaha dan peringkat dikemudian hari saya mendapat peringkat “4” bukankah itu sebuah pencapaian yang besar? Mari kita fokus terhadap proses yang dilalui, bukan hasil.
Tidak apa kita gagal dalam ujian sehingga harus mengikuti remedial, tidak apa kita harus mengulang mata kuliah sehingga kita tertunda, tidak apa kita lulus tertinggal, tidak apa kita belum menikah, belum mempunyai anak, belum mendapatkan pekerjaan, karena Tuhan tidak melihat hasil, Tuhan melihat usaha dan doa serta sabar. Ingat bunga yang indah tak selalu mekar, matahari tak selalu bersinar begitu pun yang terjadi pada dunia kita. Intinya harus bersyukur dalam segala hal walau terkadang tak sesuai dengan harapan.
loading…