Oleh: Kanda Mu’min Boli, Aktivis HMI Cabang Yogyakarta
Perayaan Hardiknas tahun ini dengan mengangkat tema “Pimpin Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar”, adalah semacam satire juga autokritik terhadap para stakeholder yang bergerak di bidang pendidikan itu sendiri. Bagaimana tidak? Gagasan pendidikan merdeka yang dikonstruksi oleh Ki Hadjar kini telah mengalami peyorasi dan distorsi yang akut. Buktinya, institusi pendidikan masih begitu-begitu juga dan sekolah masih begitu-begitu juga. Bahkan, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat bergulir seperti mengadopsi teori trial and eror, satu kebijakan dirasa kurang memadai diganti kebijakan yang lain. Memang, tidak bisa kita pungkiri perkembangan zaman menuntut institusi pendidikan untuk lebih adaptif dan fleksibel, seperti yang terjadi pada bongkar pasang kebijakan dan kurikulum. Namun, efektikah langkah dan kebijakan yang ditempuh? Apakah “Merdeka Belajar” adalah konsep yang subtansial ataukah gimmick semata? Tentu ini adalah pertanyaan yang perlu kita ajukan untuk menggugat pendidikan nasional kita ditengah nuansa perayaan simbolis nan semu setiap tahunnya agar kiranya kemerdekaan yang hakiki bisa raih di momentum yang fitrah kali ini!
MERDEKA 100 PERSEN
Ketika Ki Hadjar Dewantara mendirikan Tamansiswa pada 3 Juli 1922, Beliau mengatakan bahwa tujuan pendidikan ialah memerdekakan manusia sebagai anggota dari masyarakat. Dalam pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara, kemerdekaan bersifat tiga macam, yaitu zelfstandig atau berdiri sendiri, onafhankelijk atau tidak bergantung pada orang lain, serta vrijheid atau zelf beschikking atau dapat mengatur diri sendiri. Artinya secara simplistik ialah Ki Hadjar berupaya menjelaskan bahwa pendidikan tidak boleh memisahkan antara teori di kelas dengan praksis di lapangan; teori haruslah berbasiskan realitas sosial. Dengan demikian harapan akan melahirkan manusia merdeka dapat tercapai.