Literatur

HARI BUMI 2021 (Restore Our Earth, Restore Indonesia)

Published

on

Oleh: Kanda Walinegara, Kader MPO Komisariat Unbaja

Peringatan Hari Bumi 2021 masih dibayangi dengan krisis multidimensi. Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak awal tahun 2020, merupakan penyakit zoonosis yang merupakan siklus berputar dari krisis ekologis (kemunculan penyakit) ke krisis lain (dampak penyakit).

Pandemi yang terjadi selama dua tahun ini pun tak mampu menurunkan emisi gas rumah kaca di tingkat global. Emisi hanya sedikit menurun beberapa bulan pada awal pandemi dan terus meningkat di bulan-bulan setelahnya.

Laporan terbaru dari World Meteorological Organization (WMO) menyebutkan eskalasi dampak perubahan iklim justru semakin meningkat, bahkan tahun ini merupakan tahun terpanas, meski terjadi fenomena la nina. Disisi lain, dampak siklus basah la nina di sepanjang tahun 2021 mengakibatkan 763 kejadian bencana (tanah longsor, banjir, gelombang pasang, dan puting beliung) yang membuat lebih dari 3 juta terdampak dan mengungsi.

Kegagalan dan kegagapan mengatasi pandemi makin parah karena berkelindan dengan menguatnya kuasa oligarki. Berbagai kebijakan yang melemahkan perlindungan lingkungan hidup dikeluarkan oleh negara untuk melayani kepentingan oligarki, diantaranya revisi UU Mineral Batubara dan UU Cipta Kerja serta seperangkat produk turunannya seperti PP Nomor 22 Tahun 2021.

Alih-alih bersiap menghadapi kondisi yang terburuk akibat pandemi dan krisis iklim dengan meningkatkan kapasitas masyarakat dan mengoreksi kebijakan, pemerintah justru menggelar karpet merah pada investasi yang menjadi biang kerusakan lingkungan hidup.

Baca Juga:  Tutup Beasiswa BI Dadakan, Pihak Rektorat Untirta Banjir Kritikan

Pelonggaran kebijakan perlindungan lingkungan demi melayani kepentingan membawa kita semakin rentan terhadap bencana ekologis. Selama sepuluh tahun terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat peningkatan kejadian bencana ekologis hampir sepuluh kali lipat. Sepanjang tahun 2020, BNPB mencatat 2.925 kejadian bencana, sebagian besar diantaranya merupakan bencana hidrometeorologis yang bertalian erat dengan krisis iklim.

Puncak dari kerentanan ekologis itu terlihat dari kejadian bencana di awal tahun 2021 yang terjadi di Kalimantan Selatan, dan kemudian disusul dengan terjangan siklon tropis Seroja yang melanda Nusa Tenggara dan Nusa Tenggara Barat serta daerah-daerah  di Pulau Jawa. Banjir besar di Kalimantan Selatan menjadi alarm tanda bahaya darurat ekologis sebagai konsekuensi perusakan lingkungan Bumi Banua oleh tambang, kebun kayu dan kebun sawit. Sementara siklon tropis Seroja di Nusa Tenggara merupakan penanda dampak krisis iklim di depan mata.

Peringatan hari bumi seharusnya bukan sekedar seremonial, namun harus dimaknai sebagai momentum reflektif dan tindakan nyata menjaga bumi menjadi tempat yang layak huni untuk semua semua entitas, baik itu makhluk biotik maupun abiotik, serta generasi mendatang.

Baca Juga:  Pencarian Identitas Diri sebagai Tugas Perkembangan Psikososial Remaja dan Pentingnya Remaja dalam Menanamkan Nilai Keislaman

“Peringatan hari bumi ini penting dijadikan momentum bagi warga untuk menuntut pertanggungjawaban institusi penyelenggara negara, atas berbagai kerusakan lingkungan hidup dan penderitaan warga yang bertubi-tubi, akibat berbagai kebijakan yang telah meningkatkan kerawanan dan memaparkan warga pada berbagai risiko bencana.”

Gotong-royong jaga bumi bisa dimulai dengan menghentikan perusakan alam oleh ekspansi perkebunan monokultur skala besar, tambang, infrastruktur energi kotor dan mega proyek skala besar seperti food estate dan lainnya.

  • Mulai membangun kemandirian dalam kesiapsiagaan menghadapi risiko bencana, dengan mengkritisi secara aktif berbagai rencana, kebijakan, atau proyek yang dapat meningkatkan pencemaran, kerusakan lingkungan hidup dan kerawanan bencana.
  • Melakukan desakan kepada institusi negara, untuk meletakkan landasan bagi penyelamatan generasi yang akan datang melalui komitmen nyata penurunan emisi gas rumah kaca yang ambisius dan tidak membahayakan nasib generasi yang akan dating.
  • Membangun kekuatan politik rakyat dan agenda politik hijau guna memastikan terwujudnya keadilan ekologis bagi generasi hari ini dan generasi yang akan dating.

Lagi Trending