Puncak dari kerentanan ekologis itu terlihat dari kejadian bencana di awal tahun 2021 yang terjadi di Kalimantan Selatan, dan kemudian disusul dengan terjangan siklon tropis Seroja yang melanda Nusa Tenggara dan Nusa Tenggara Barat serta daerah-daerah di Pulau Jawa. Banjir besar di Kalimantan Selatan menjadi alarm tanda bahaya darurat ekologis sebagai konsekuensi perusakan lingkungan Bumi Banua oleh tambang, kebun kayu dan kebun sawit. Sementara siklon tropis Seroja di Nusa Tenggara merupakan penanda dampak krisis iklim di depan mata.
Peringatan hari bumi seharusnya bukan sekedar seremonial, namun harus dimaknai sebagai momentum reflektif dan tindakan nyata menjaga bumi menjadi tempat yang layak huni untuk semua semua entitas, baik itu makhluk biotik maupun abiotik, serta generasi mendatang.
“Peringatan hari bumi ini penting dijadikan momentum bagi warga untuk menuntut pertanggungjawaban institusi penyelenggara negara, atas berbagai kerusakan lingkungan hidup dan penderitaan warga yang bertubi-tubi, akibat berbagai kebijakan yang telah meningkatkan kerawanan dan memaparkan warga pada berbagai risiko bencana.”
Gotong-royong jaga bumi bisa dimulai dengan menghentikan perusakan alam oleh ekspansi perkebunan monokultur skala besar, tambang, infrastruktur energi kotor dan mega proyek skala besar seperti food estate dan lainnya.
- Mulai membangun kemandirian dalam kesiapsiagaan menghadapi risiko bencana, dengan mengkritisi secara aktif berbagai rencana, kebijakan, atau proyek yang dapat meningkatkan pencemaran, kerusakan lingkungan hidup dan kerawanan bencana.
- Melakukan desakan kepada institusi negara, untuk meletakkan landasan bagi penyelamatan generasi yang akan datang melalui komitmen nyata penurunan emisi gas rumah kaca yang ambisius dan tidak membahayakan nasib generasi yang akan dating.
- Membangun kekuatan politik rakyat dan agenda politik hijau guna memastikan terwujudnya keadilan ekologis bagi generasi hari ini dan generasi yang akan dating.