Setelah rampung membaca salah satu novel sejarah yang sangat amat apik dibaca, yaitu novel berjudul Lelaki di Tengah Hujan karya Wenri Wanhar yang terbit pada tahun 2019 lalu, penulis merasa tertampar.
Melalui novel ini, pembaca akan mendapat gambaran mengenai semangat juang aktivis di era 90-an yang berjaya menumbangkan orde baru. Bahkan dalam narasinya, Wenri Wanhar berhasil mengemas dan menggambarkan sakit dan pilu juga suka dan duka menjadi seorang aktivis mahasiswa, yang kala itu hidupnya terancam di negerinya sendiri.
Melihat fenomena yang ada dan terjadi di kalangan mahasiswa sekarang, tentu pembaca akan mendapat sentilan yang cukup pedas ketika rampung membaca buku tersebut. Ko bisa? Menurut pendapat pribadi, mahasiswa hari ini kurang kesadaran terhadap peranannya sebagai mahasiswa, dan mungkin saya pun adalah salah satunya.
Hari ini mungkin kita akan banyak menjumpai mahasiswa yang hanya terfokus pada akademiknya saja, atau ada yang hanya menjalankan kuliah sebagai formalitas atau tuntutan saja, atau mungkin menjadi mahasiswa hanya untuk gaya-gayaan saja. Ya hidup itu memang pilihan, dan sebagai insan yang diberi akal, tentu kita tidak bisa menghakimi pilihan hidup seseorang, terlebih kita tidak tahu bagaimana situasi dan kondisi orang tersebut.
Perbedaan zaman tentu dan harusnya memengaruhi pola pikir seseorang. Mahasiswa hari ini sangat amat dimudahkan, memiliki banyak akses untuk belajar, bahkan bebas membaca buku apapun untuk didiskusikan. Tapi, pada faktanya kemudahan akses tersebut justru membuat banyak orang terlena dan enggan mengisi otak dengan asupan buku. Maka, tidak heran jika banyak ungkapan yang menyebut bahwa mahasiswa hari ini jauh berbeda dengan mahasiswa era-era sebelumnya.
Tidak bisa kita pungkiri, mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi pun saat ini banyak yang hanya sekedar ikut-ikutan, entah ikut-ikutan teman atau pasangan. Dan jahatnya lagi, hanya untuk sekedar mendapat labeling mahasiswa aktivis di lingkungannya. Pun demikian yang penulis rasa terjadi di himpunan yang bernafaskan Islam ini, himpunan yang akrab disapa hijau hitam.
Tidak heran lagi kalau semasa perkaderan banyak peserta yang hadir, dan setelah itu redup tidak tahu dimana rimbanya. Hal ini lebih sering kita sebut dengan seleksi alam.
Sejak awal mengikuti perkaderan beberapa tahun lalu, penulis merupakan 1 dari 20an peserta lainnya. Iya, kalau tidak salah ingat, tempo waktu memang pesertanya sekitaran 20an orang. Namun, detik ini hanya menyisakan segelintir orang dari puluhan peserta kala itu. Entahlah, penulis tidak memahami betul mengapa banyak yang redup pasca-diikrar secara sadar setelah pembacaan SK kelulusan.
Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi setiap struktur kepengurusan, untuk menciptakan formula yang asyik tanpa mengesampingkan tujuan ber-HMI itu sendiri, dan kembali menghidupkan diskusi di lingkup-lingkup kampus.
Mendapat label mahasiswa aktivis, tentu terdengar keren dan terhormat, apalagi HMI merupakan salah satu organisasi mahasiswa tertua yang didirikan 2 tahun pasca-kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Tapi, tidakkah kita merasa bersalah ketika di luar dikenal sebagai aktivis HMI, tapi tidak berkontribusi sedikit pun pada himpunan?
Apa yang kita banggakan setelah mendapat label mahasiswa aktivis, tapi kita mangkir dari berbagai panggilan berhimpun? Sejatinya, ber-HMI bukan hanya untuk mendapat labeling mahasiswa aktivis, tapi lebih sarat makna daripada itu.
Dan salah satu hal yang tak luput dari perhatian beberapa teman saat berdiskusi adalah teman-teman yang sudah merasa puas dan cukup dengan status kelulusan LK I. Kalau bahasa yang diutarakan teman saya adalah memang sangat miris orang yang berbangga diri akan kepuasan.
Di samping kepuasan diri yang menjadi perhatian dari rekan-rekan saya yang lain, ada hal yang lebih fatal dalam berhimpun, yang mungkin akan menjadi penyakit apabila dibiarkan. Yaitu orang-orang yang ikut organisasi supaya bisa dibilang saya HMI, lantas memanfaatkan ke-HMI-annya untuk meraup keuntungan sendiri, setelah itu pergi dan hilang. Sederhananya adalah menjual label HMI untuk kepentingan pribadi, miris memang.
Kenali rumah tempatmu berhimpun, maka kecintaan akan tumbuh dengan sendirinya. Jika kita belum mampu berada pada garis perjuangan selayaknya teman-teman yang lain, maka berjuanglah dengan caramu sendiri. Hindari ber-HMI hanya karena untuk mendapat labeling mahasiswa aktivis, karena itu akan menghilangkan kekhidmatan berhimpun.
Penulis juga bukan kader yang baik dan cakap secara vokal, bahkan dalam beberapa diskusi dan aksi juga kerap absen. Tapi rasanya egois, kalau apa yang mengganjal dalam hati ini, penulis simpan sendiri. Menulis dan menasehati memang hal mudah, tapi implementasi menjadi hal yang rumit.
Selepas tulisan ini dimuat, semoga yang telah ber-HMI secara legal dapat memanfaatkan setiap ruang untuk berdiskusi dan meningkatkan kualitas diri, dan yang telah redup dari himpunan semoga segera merapatkan barisan kembali.
Tulisan ini dibuat bukan untuk menyinggung siapapun, kalimat-kalimat yang dituangkan dalam tulisan utuh ini tak lain hanya sebagai pengingat dan tamparan diri yang sama lalainya, dan mungkin lebih lalai dari orang lain. Tulisan ini lahir dari hasil sharing dengan beberapa rekan yang juga jauh merasa lebih resah dengan hal semacam ini.
Semoga penyesalan tidak menghantui kita pasca-dinyatakan resmi menjadi seorang sarjana, sebab tidak banyak yang kita perbuat selama masa perkuliahan. Salam hangat dari penulis yang tidak memanfaatkan masa perkuliahan dengan maksimal.