Literatur

Homo Homini Lupus: Manusia adalah Serigala Bagi Manusia

Published

on

 

Oleh: Kanda Irkham Magfuri Jamas, Ketua Umum Cabang Serang

, sebuah istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Plautus dalam karyanya yang berjudul Asinaria (195 SM Lupus est Homo Homini). Kalimat tersebut terdengar seperti mantra bukan? Kalimat tersebut berasal dari kata yang ditulis dengan bahasa latin yang memiliki arti: Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Kemudian kalimat tersebut sering diinterpretasikan bahwa manusia sering menikam manusia lainnya.

Ironi bukan? Bila hal seperti itu benar-benar terjadi. Tapi memang faktanya demikian, jangan lah lagi berbicara kekuasaan tinggi pada suatu pemerintahan. Sub terkecil dari tatanan sosial yang disebut dengan keluarga saja tak jarang terdapat upaya-upaya saling menikam dengan sesamanya. Potret
antara pemangku kekuasaan saling tikam dengan rezimnya, atau pemerintah dengan rakyatnya, atau rakyat dengan rakyat, bahkan saling tikam antara suami dengan istri nyata adanya.

Lingkungan saling tikam seperti ini tentu adalah lingkungan yang sangat mencekam. Kengerian selalu meliputi mereka yang berada di dalamnya. Lantas apa korelasi sebab akibat dari lahirnya lingkungan seperti ini?

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ankabut ayat 41:
مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَوْلِيَاۤءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِۚ اِتَّخَذَتْ بَيْتًاۗ وَاِنَّ اَوْهَنَ الْبُيُوْتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوْتِۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba, sekiranya mereka mengetahui.”

Allah menggambarkan dalam ayat tersebut bahwa perumpamaan orang-orang atau golongan atau kelompok atau masyarakat yang memilih pelindung selain Allah bagaikan laba-laba yang membuat rumah. Jika diklasifikasikan laba-laba termasuk kedalam golongan arachnida atau kelas hewan invertebrata seperti kerabat dekatnya kalajengking. Arachnologi yang merupakan bagian percabangan dari ilmu zoologi yakni ilmu yang mempelajari tentang hewan meneliti perilaku, struktur, fungsi, dan evolusi hewan dalam hal ini tentu dikerucutkan pada hewan kelas invertebrata.

Baca Juga:  Polemik RKUHP, Wasekjend PB HMI MPO: Pemerintah Harus Berani Buka Draft RKUHP Baru

Menurut kepala Bidang Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Rahmadi dalam wawancara Kompas.com, Minggu (15/11/2020). Mengatakan bahwa terdapat studi yang menunjukkan laba-laba betina yang memakan laba-laba jantan dikarenakan lapar dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi telur dan anak laba-laba itu. Kemudian laba-laba yang telah menikah itu akan menetap di sarang, berdiam diri sambil menunggu mangsa lewat. Bila hujan kehujanan, bila panas kepanasan, itu lah nasib yang di derita dalam rumah laba laba. Setelah telur itu menetas, maka induk laba-laba yang kelaparan akan memakan sebagian anak-anaknya untuk bertahan hidup sesaat sampai kemudian induk laba-laba ini akan mengeluarkan sejenis senyawa pemikat laba-laba yang membuat anak laba-laba itu memakan induknya, supaya si anak mendapatkan tenaga dan mampu melanjutkan siklus hidup laba-laba.

Mengerikan bukan? Melihat apa yang terjadi di rumah laba-laba. Maka demikianlah perumpamaan orang yang meminta perlindungan selain kepada Allah SWT. Mereka hidup dalam atap yang rapuh, tersekap dengan hawa panas dan dingin, rentan mengalami kerusakan, belum lagi mereka harus saling membunuh untuk hidup, tak kenal itu pasangan, bahkan anak kandung. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah.

Homo homini socius, yang berarti manusia adalah teman bagi sesama manusianya, atau manusia adalah sesuatu yang sakral bagi sesamanya yang dicetuskan oleh Seneca.
Kedua istilah dan homo homini socius yang tercantum dalam karya milik Thomas Hobbes yang berjudul (De Cive; 1651) namun terdapat hal untuk dikritik dari karya Hobbes, yakni ia menganggap manusia seperti Tuhan, sebagaimana statemennya, “To speak impartially, both sayings are very true; That Man to Man is a kind of God; and that Man to Man is an errant Wolf (kedua istilah tersebut terdapat kebenarannya; bahwa sesama manusia adalah semacam Tuhan dan bahwa antar sesama manusia pula terdapat serigala yang kejam).”

Baca Juga:  24 Tahun Reformasi dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia

Sebab, manusia bukanlah Tuhan dan tidak bisa dipersamakan. Apabila anggapan tersebut diimplementasikan maka hanya akan melahirkan sosok yang akan semena-mena dan membawa mala petaka yang lebih besar lagi bagi umat manusia.

Dalam perspektif umat Islam yang beriman, bagaimanakah individu memaknai diri sebagai diri sendiri dan sebagai makhluk sosial? Tentu di antara orang beriman Allah sudah memberikan gambaran pergaulan, bahwasannya sifat orang beriman itu ialah mereka yang senantiasa mendirikan sholat, menunaikan hak-hak orang lain, senantiasa mengharap maklum dari Tuhannya, mereka menjaga kehormatannya, amanah dan menepati janji, menjaga kesaksian dan shalatnya. Dan selain mereka adalah manusia yang tergolong suka berkeluh kesah (Al-Ma’arij 19-34).

Ada banyak sekali benefit yang akan diperoleh orang-orang beriman. Mereka akan mewujudkan tatanan yang maslahat, di tangannya akan tegak keadilan, bagi dirinya akan hadir ketentraman, kemudahan, dan rizki yang datang tak disangka-sangka, itu semua adalah kenikmatan yang tak mungkin diperoleh bagi mereka yang tidak memiliki iman.

Maka untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang diridhoi Allah SWT tak lain dan tak bukan adalah dengan cara membangun pondasi keimanan dan ketauhidan yang kokoh. Tak peduli sebesar apapun ombak menerjang, kita harus tegar berdiri seperti karang.

“Orang hebat tidak dibentuk dari kesenangan, kemudahan dan kenyamanan. Mereka dibentuk melalui kesulitan, tantangan dan air mata.”

– Dahlan Iskan.

Lagi Trending