Oleh: Kanda Bayu Sasongkojati, Kader HMI MPO Komisariat Untirta Ciwaru
Pertama-tama kita harus tau terlebih dahulu definisi dari kata ‘ilmu‘. Ilmu secara bahasa artinya mengetahui sesuatu dengan benar. Dalam Lisaanul ‘Arab disebutkan, al ‘ilmu adalah lawan dari al jahlu (kebodohan). Ar Raghib Al Asfahani mengatakan,
العلم: إدراك الشيء بحقيقته
“al Ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai dengan hakekatnya.”
Sebagian orang berkata, “kita menuntut ilmu kepada siapa saja. Salah benarnya, guru kita yang menanggungnya.” Ini keyakinan yang tidak benar. Perlu diketahui bahwa kita akan mempertanggung jawabkan amalan kita masing-masing, bukan guru kita yang menanggung amalan kita. Allah ta’ala berfirman:
مَّنِ ٱهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِى لِنَفْسِهِۦ ۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا
“Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” (Al-Isra:15)
Maka benar-salahnya kita, tergantung bagaimana sikap kita terhadap kebenaran. Jika kita berusaha mengamalkan kebenaran sebisa mungkin, walaupun mungkin ternyata itu keliru di sisi Allah, akan mudah mempertanggungjawabkannya. Namun jika kita meninggalkan kebenaran, akan sulit mempertanggungjawabkannya.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan terhadap dosa-dosamu….” (QS Muhammad: 19)