Oleh : Kanda Anugrah Ade Putra, HMI MPO Cabang Palopo
Sebaiknya Agama Tidak Dibuat Jauh Dari Kemanusiaan
Kutipan di atas merupakan sedikit dari banyaknya ungkapan-ungkapan mengarahkan kita untuk tunduk terhadap nilai kesamaan sebagai manusia dalam berbagai macam praktek kehidupan, mulai dari pendidikan, politik, bahkan urusan agamapun tak luput untuk di intervensi agar mau mengikuti stadart kemanusaian. Sehingga apa-apa harus dengan dalih “memanusiakan manusia menurut manusia”.
Telah kita ketahui bersama, konsep pikir yang demikian mencerminkan orang tersebut “Antroposentris”(anthropus = manusia, centrum = pusat). Sebuah pemikiran yang di adopsi pada abad pertengahan yang menganggap salama ini dirinya dibelenggu oleh kuasa Tuhan, padahal yang kita ketahui ia hanya terbelenggu oleh bualan mitogi yunani kuno. Sekaligus kita tau bahwa konsep ini Pandangan ini masih dalam tahap awal perkembangan pikiran manusia, yang selanjutnya diganti menjadi “Geosentris” (Geo=Bumi, sentris=Pusat).
Bagaimanapun itulah perjanan perkembangan pemikiran manusia yabg mengharapkan penghidupan yang lebib baik lagi dari sebelumnya. Sehingga tibalah hari ini dimana kita sebagai manusia milenial berbondong-bondong menyuarakan kemanusian sebagai standar dalam berkehidupan masyarakat.
Walau, Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini adalah kompromi antara gagasan negara Islam dan negara sekuler. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam (Nusantara merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia[6]), 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Konghucu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.
Namun anehnya, lebih memilih menjadikan fikir manusia sebagai acuannya dalam bermasyarakat ketimbang menjalankan konsep masyarakat yang di anut oleh keyakinanya.
Tidak sampai disitu saja, seruan untuk tuduh patuh, bahkan menganggukan kemanusia senantiasa digemahkan terutama ketika terjadi pertikaian diantara sesama. Lalu muncul pertanyaan yang harus dijawab secara bersama, siapakah yang mendesain sedemikian rupa standarisasi kemanusian tersebut ?
Yang menjadi barang tentu, standarisasi tersebut tidak bakal mungkin mendiskreditkan si empuhnya. Bahkan cenderung menguntungkan bagi dia yang mencetuskannya.
Dalam Agama Islam sendiri kita di ajarkan dalam Qs Al-Baqarah :216
وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Sehingga akhirnya kita harus memahami bahwa sesunggunya “Abdillah” bukan penguasa bagi seluruh Alam.