Editorial Harian Merdeka tanggal 27 Februari 1981 di antaranya mengatakan:
“…Bahkan masa di mana teknokrasi atau intelektualisme berperan besar kini, dianggap sebagai masa yang telah dibebaskan dari emosi dan retorika, dan sebaliknya dipimpin oleh rasio dan akal budi adalah suatu pandangan yang akurat. Meski gejala seperti diutarakan harian Merdeka itu bukan tidak pernah disorot tajam tatkala intelektual birokratis ini baru saja naik panggung.”
S. Tasrif, pengacara dan tokoh wartawan senior, dalam tulisannya yang berjudul “
Situasi Kaum Intelektuil di Indonesia” (Budaya jaya No. 4/Th. I, September 1968) menulis:
“…,bagian terbesar kaum intelektuil kita telah kembali ke kandangnya, telah “dipungut” lagi oleh yang berkuasa, sekalipun yang memungutnya itu adalah perintah yang telah bertekad untuk menegakkan Orde Baru, untuk menegakkan Rule of Law dsbnya di Indonesia.”
– Dan kini kaum intelektuil kita telah terbenam kembali dalam
sleur dan
routine sehari-hari dalam pekerjaannya di berbagai bidang pemerintahan.
– Malahan banyak di antaranya yang telah menjadi golongan
vested interest baru, kalaupun tidak dikatakan telah banyak juga yang dihinggapi penyakit korupsi.
– Dan dari mereka ternyata tidak dapat diharapkan lagi ide-ide besar untuk merombak struktur masyarakat yang sudah lapuk ini, apalagi untuk berbicara tentang perjungan menegakkan Keadilan dan Kebenaran!
Harian Merdeka maupun S. Tasrif bukanlah berdiri pada kedudukan
memusuhi kaum intelektual, tetapi mereka sorot seperti yang disorot oleh hal ini adalah gejala genre
intelektual birokratis masa pasca 1966. Sejarah republik sejak 1945 senantiasa memberikan peranan yang berarti kepada
kaum intelektual, apakah itu
intelektual non-partai, ataukah politisi
intelektual. Kebanyakan, kalaupun tidak hendak dikatakan bagian terbesar, dari mereka berpulang dengan nama-nama yang harum, sedang yang masih hidup dihormati dengan tulus oleh masyarakat.