Oleh: Kanda Ocit Abdurrosyid Siddiq, Alumni LK1 HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin IAIN SGD Bandung 1992
Musyawarah Nasional atau Munas XI Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam atau Kahmi di Palu telah usai. Perhelatan lima tahunan itu dihadiri oleh para alumni HMI, juga oleh anggota HMI.
Seperti lazimnya perhelatan Munas pada organisasi apapun, agenda pemilihan calon ketua atau anggota presidium menjadi moment yang paling dinanti. Bagian ini yang paling seksi diantara seluruh tahapan Munas.
Saya juga hadir dalam perhelatan ini. Ketika melintasi jalan dari bandara menuju lokasi Munas, sepanjang jalan, di sebelah kanan dan kiri, pemandangan penuh dengan baligo, spanduk, banner, serta rangkaian bunga ucapan selamat untuk Munas.
Seluruh media itu didominasi oleh orang-orang yang selama ini digadang-gadang menjadi calon anggota presidium Majelis Nasional KAHMI periode mendatang. Tebar pesona beraroma kampanye ini sangat terasa.
Benar saja. Rangkaian Munas nyaris melupakan perkara yang sejatinya krusial; evaluasi atas kepengurusan pada periode sebelumnya, rumusan strategi organisasi dalam rangka memberikan kemanfaatan terhadap umat lewat program kerja, serta rekomendasi untuk pemerintah. Semua mata tertuju pada sosok calon anggota presidium.
Hasilnya, 9 orang terpilih menjadi anggota presidium Majelis Nasional KAHMI periode 2022-2027. Saya tidak tahu masing-masing anggota presidium berlatar apa; baik pendidikan maupun pekerjaan. Selamat atas terpilihnya anggota Majelis Nasional. Semoga membawa perubahan dan peningkatan bagi kualitas hidup kader, umat, dan negara.
Saya memiliki harapan kepada presidium terpilih, untuk mengagendakan program yang seimbang antara pergerakan dengan kajian. Semoga model kepengurusan sebelumnya menjadi pembelajaran bagi presidium terpilih untuk dapat menyeimbangkan antara kedua bidang tadi. Bagaimana dengan presidium sebelumnya?
KAHMI punya hajat, 27 Agustus 2021, bertempat di gedung KAHMI center. Agendanya serah terima jabatan Koordinator Presidium. Masa jabatan Korpres sebelumnya, Viva Yoga Mauladi, sudah habis. Diganti oleh Ahmad Riza Patria.
Yoga pernah kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali. Sebelumnya, dari SD hingga SMA, sekolahnya di negeri. Waktu kuliah, memperdalam agama dibawah asuhan Kiai Habib Adnan Sunaryo, mantan Ketua Majelis Ulama (MUI) Bali.
Saat kuliah, gabung di HMI. Setelah gabung, banyak jabatan di HMI dia pegang. Di komisariat, di cabang, di Badko, hingga di PB. Puncaknya, Koordinator Presidium KAHMI. Kiprahnya, lebih banyak di dunia politik. Gabung dengan PAN, menjadi anggota DPR RI, dari Dapil Lamongan.
Ahmad Riza Patria, kini Wagub DKI. Dulu, pernah jadi Anggota KPU DKI. Tersandung perkara hukum hingga ke pengadilan. Dinyatakan tidak bersalah. Setelahnya, pernah nyalon Wakil Gubernur DKI. Mendampingi Hendardji Soepandji. Gagal, menjadi peraih suara paling sedikit.
Dia pernah kuliah di ISTN. Esduanya di ITB. Waktu SMA, jadi Ketua OSIS SMA Al-Azhar. Sempat nyalon Ketua Umum KNPI. Di Bekasi, lawan Idrus Marham, gagal. Di Bali, lawan Aziz Syamsuddin, juga gagal.
HMI dan KAHMI menyandang nama “mahasiswa” dan “Islam”. Bila “mahasiswa” identik dengan pergerakan, maka “Islam” identik dengan kajian. Ini kombinasi ideal pergerakan dan kajian. Keduanya, tidak boleh henti, walau sudah jadi alumni. Walau bukan mahasiswa lagi.
Sayangnya, tak jarang terjadi, ada pergeseran nilai antara ketika masih jadi mahasiswa, dengan setelah menjadi alumni. Usai ditabalkan jadi sarjana, butuh kerja. Dulu idealis. Kini pragmatis. Dulu, qulil haq walau kaana murran. Kini, apa yang dulu digugat, sekarang dilakoni.
Atas fenomena ini, Gusdur sempat menyentil. Kurang lebih dia berseloroh bahwa “untuk mewujudkan keinginan, PMII tak tahu bagaimana caranya, sementara HMI menghalalkan segala cara“. Bukan hanya nyelekit, juga pahit. Yang menolak, teriak. Yang membenarkan, terbahak. Yang mengiyakan, cukup nyengir kuda.
Gusdur ada benarnya. HMI dan KAHMI terlalu banyak pada “pergerakan”. Minim “kajian” (keislaman). Bisa jadi, karena kendali organisasi dibawah sosok yang kurang akrab dengan kajian keislaman. Persentuhan dengan pemikiran keislaman, tepatnya perguruan tinggi Islam yang 24 jam akrab dengan kajian, masih terbatas.
Bahwa mempelajari keislaman bisa juga dilakukan pada perguruan tinggi umum, ada benarnya. Tapi ingat, itu hanya “mempelajari”, tidak sampai pada level “mengkaji”. Pada perguruan tinggi Islam, perkara kajian bukan semata mengupas kulit luar agama, tapi “jeroannya” juga diolah.
Adalah karena anggapan ini juga, dulu waktu saya kuliah di IAIN, terkesan anak Unpad dan ITB terasa lebih soleh dibanding anak IAIN Esgede, hanya karena mereka selalu tepat waktu saat solat. Sementara anak IAIN, “berlindung” dibalik rukhsah, jama, dan qosor.
Setiap kader HMI, pastinya melewati Basic Training atau Latihan Kader, yang didalamnya terdapat materi tentang organisasi dan keislaman, diantaranya teknik persidangan dan Nilai Dasar Perjuangan. Dalam NDP ada pokok bahasan tentang inklusifisme.
Tapi, pada umumnya para kader lebih gandrung pada bagian teknik persidangan, yang dibuktikan dengan piawainya berorganisasi. Berhasil menjadi pewaris organisatotis. Sedikit sekali yang peduli dan mengembangkan narasi inklusifisme. Makanya gagal jadi pewaris ideologis.
Udayana dan ISTN tak cukup “membekali” Yoga dan Riza sampai pada level “mengkaji”. Walau Yoga pernah nyantri pada Kiyai Adnan, atau Riza yang pernah “mondok” di Al-Azhar. Semoga faktor orangtua (Kiyai Amidhan Ketua Umum MUI) menjadikan Riza respek pada aspek kajian ini.
HMI di era Cak Nur, kajian Islam begitu menonjol. Bekal Gontor menjadi faktor. Jadi, HMI dan KAHMI akan seimbang antara pergerakan dan kajian, bila nakhoda organisasi dibawah kendali sosok presidium yang selain piawai bersiyasah, juga cerdas bermudzakarah; berlatar santri dan atau kuliah di perguruan tinggi Islam.
Pergerakan penting. Kajian juga penting. Makanya, jangan melulu fokus pada pergerakan atau siyasah; menempatkan siapa, pada posisi apa, dan dengan cara bagaimana. Perhatikan juga kajian atau mudzakarah; inklusifisme, toleransi, keberagaman, dan konsepsi rahmatan lil alamin. Wallahalam.
***