Literatur

Ketika Pergerakan Meredupkan Kajian

Published

on

Oleh: Kanda Ocit Abdurrosyid Siddiq

Hari ini, satu tahun lalu, KAHMI punya hajat, 27 Agustus 2021, bertempat di gedung KAHMI center. Agendanya serah terima jabatan Koordinator Presidium. Masa jabatan Korpres sebelumnya Viva Yoga Mauladi sudah habis, diganti oleh Ahmad Riza Patria.

Yoga pernah kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali. Sebelumnya, dari SD hingga SMA, sekolahnya di negeri. Waktu kuliah, memperdalam agama di bawah asuhan Kiai Habib Adnan Sunaryo mantan Ketua Majelis Ulama (MUI) Bali.

Saat kuliah, gabung di . Setelah gabung, banyak jabatan di dia pegang. Di komisariat, di cabang, di Badko, hingga di PB. Puncaknya, Koordinator Presidium KAHMI. Kiprahnya, lebih banyak di dunia politik. Gabung dengan PAN, menjadi anggota DPR RI, dari Dapil Lamongan.

Ahmad Riza Patria, kini Wagub DKI. Dulu pernah jadi Anggota KPU DKI. Tersandung perkara hukum hingga ke pengadilan, dinyatakan tidak bersalah. Setelahnya, pernah nyalon Wakil Gubernur DKI. Mendampingi Hendardji Soepandji, gagal, menjadi peraih suara paling sedikit.

Dia pernah kuliah di ISTN, Esduanya di ITB. Waktu SMA, jadi Ketua OSIS SMA Al-Azhar. Sempat nyalon Ketua Umum KNPI di Bekasi lawan Idrus Marham, gagal, di Bali lawan Aziz Syamsuddin juga gagal.

dan KAHMI menyandang nama “mahasiswa” dan “Islam“. Bila “mahasiswa” identik dengan pergerakan, maka “Islam” identik dengan . Ini kombinasi ideal pergerakan dan . Keduanya, tidak boleh henti, walau sudah jadi alumni, walau bukan mahasiswa lagi.

Sayangnya, tak jarang terjadi ada pergeseran nilai antara ketika masih jadi mahasiswa, dengan setelah menjadi alumni. Usai ditabalkan jadi sarjana, butuh kerja. Dulu idealis, kini pragmatis. Dulu qulil haq walau kaana murran, kini apa yang dulu digugat sekarang dilakoni.

Baca Juga:  HMI Gorontalo Hendak Konfercab, Ini Harapan Pemprov Gorontalo

Atas fenomena ini, Gusdur sempat menyentil. Kurang lebih dia berseloroh bahwa “Untuk mewujudkan keinginan, PMII tak tahu bagaimana caranya, sementara HMI menghalalkan segala cara.” Bukan hanya nyelekit, juga pahit. Yang menolak, teriak. Yang membenarkan, terbahak. Yang mengiyakan, cukup nyengir kuda.

Gusdur ada benarnya, HMI dan KAHMI terlalu banyak pada “pergerakan“. Minim “” (). Bisa jadi, karena kendali organisasi di bawah sosok yang kurang akrab dengan kajian keislaman. Persentuhan dengan pemikiran keislaman, tepatnya perguruan tinggi Islam yang 24 jam akrab dengan kajian, masih terbatas.

Bahwa mempelajari keislaman bisa juga dilakukan pada perguruan tinggi umum, ada benarnya. Tapi ingat, itu hanya “mempelajari“, tidak sampai pada level “mengkaji“. Pada perguruan tinggi Islam, perkara kajian bukan semata mengupas kulit luar agama, tapi “jeroannya” juga diolah.

Adalah karena anggapan ini juga, dulu waktu saya kuliah di IAIN, terkesan anak Unpad dan ITB terasa lebih soleh dibanding anak IAIN Esgede, hanya karena mereka selalu tepat waktu saat shalat. Sementara anak IAIN, “berlindung” dibalik rukhsah, jamak, dan qashar.

Setiap kader HMI, pastinya melewati basic training atau , yang di dalamnya terdapat materi tentang organisasi dan keislaman, diantaranya teknik persidangan dan Nilai Dasar Perjuangan. Dalam NDP ada pokok bahasan tentang inklusivisme.

Tapi, pada umumnya para kader lebih gandrung pada bagian teknik persidangan, yang dibuktikan dengan piawainya berorganisasi. Berhasil menjadi pewaris organisatoris. Sedikit sekali yang peduli dan mengembangkan narasi inklusivisme. Makanya gagal jadi pewaris ideologis.

Udayana dan ISTN tak cukup “membekali” Yoga dan Riza sampai pada level “mengkaji“. Walau Yoga pernah nyantri pada Kiyai Adnan, atau Riza yang pernah “mondok” di Al-Azhar. Semoga faktor orangtua (Kiyai Amidhan Ketua Umum MUI) menjadikan Riza respek pada aspek kajian ini.

Baca Juga:  Kapan Puasa Tasua, Puasa Asyura dan Puasa Ayyamul Bidh Tahun 2021?

HMI di era Cak Nur, kajian Islam begitu menonjol, bekal Gontor menjadi faktor. Jadi, HMI dan KAHMI akan seimbang antara pergerakan dan kajian, bila nakhoda organisasi dibawah kendali sosok presidium yang selain piawai bersiyasah, juga cerdas bermudzakarah; berlatar santri dan atau kuliah di perguruan tinggi Islam.

Pergerakan penting, kajian juga penting. Makanya, jangan melulu fokus pada pergerakan atau siyasah; menempatkan siapa, pada posisi apa, dan dengan cara bagaimana. Perhatikan juga kajian atau mudzakarah; inklusivisme, toleransi, keberagaman, dan konsepsi rahmatan lil alamin.

Hampir dua pekan lalu, pengurus baru Majelis Wilayah KAHMI Provinsi Banten terbentuk. Tujuh orang terpilih sebagai anggota presidium. Beberapa di antaranya berlatar politisi. Semoga tidak karenanya, KAHMI lebih condong pada perkara organisatoris, lalu abai pada aspek ideologis.

Bahwa pemberdayaan kader itu penting, untuk menempatkan siapa dimana, itu tidak salah. Tapi kajian sebagai cara untuk lebih meningkatkan kapasitas kader, jauh lebih penting. Puritanisme yang menjadi gejala dan kecenderungan , mesti dijawab dengan program dan kegiatan yang senafas dengan narasi dalam NDP.

Karenanya, presidium mesti dibackup oleh kader-kader yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mumpuni, baik dalam aspek kebangsaan, lebih-lebih dalam aspek keislaman. Tentunya Islam yang rahmah, pembawa damai, progressive, inklusif, selaras dengan semangat dan nilai yang tertuang dalam NDP.

Untuk presidium yang baru terbentuk, saya ucapkan selamat. Semoga bisa bekerja dengan baik. Ditunggu ajakan ngopinya. Sembari membincang perkara yang saya celotehkan. Wallahualam.

***

Penulis adalah , yang hanya sempat mengikuti LK1 di tingkat komisariat.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Lagi Trending