Oleh: Arif Firmansyah, Ketua Umum HMI MPO Komisariat UIN SMH Banten
Dirgahayu Republik Indonesia ke 76: Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh. Tema yang diusung dalam merayakan kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini. Saya tidak tahu apa makna yang terkandung dalam tema tersebut, mungkin maksudnya untuk memotivasi rakyat Indonesia agar tetap semangat, optimis, dan pantang menyerah dalam menghadapi krisis bangsa Indonesia pada berbagai sektor baik ekonomi, politik, sosial, budaya, dan kesehatan.
Mari kita mencoba menguliti arti merdeka dan kemerdekaan, dari beberapa literatur.
Menurut KBBI: Merdeka adalah bebas (dari perhambaan, penjajahan), berdiri sendiri atau independen dan lain sebagainya.
Kemerdekaan dalam bahasa Arab disebut al-Istiqlalu, ditafsirkan sebagai:
“al-Taharrur wa al-Khalash min ayy Qaydin wa Saytharah Ajnabiyyah” (bebas dan lepas dari segala bentuk ikatan dan penguasaan pihak lain).
ATAU
“al-Qudrah ‘ala al-Tanfidz ma’a In‘idam Kulli Qasr wa ‘Unf min al-Kharij” (kemampuan mengaktualisasikan diri tanpa adanya segala bentuk pemaksaan
dan kekerasan dari luar dirinya).
Definisi lain ditemukan dalam laman Wikipedia, tertulis arti kemerdekaan bahwa: Kemerdekaan merupakan keadaan suatu bangsa atau negara yang pemerintahannya diatur oleh bangsanya sendiri tanpa intervensi pihak asing. Kemerdekaan suatu negara erat kaitannya dengan kedaulatan terhadap wilayah teritorial negara.
Singkatnya, kemerdekaan adalah terbebas dari berbagai macam intervensi baik itu dari kelompok atau bangsa tertentu. Dari uraian sebelumnya muncul pertanyaan apakah Indonesia benar-benar merdeka 100%? Ataukah kemerdekaan yang diraih ternyata bersifat semu dan tidak semua kalangan rakyat Indonesia merasakan kemerdekaan?
Kemerdekaan Indonesia seharusnya dapat memberikan pengaruh dan manfaat yang baik bagi rakyat Indonesia. Di antara pengaruh dan manfaat yang sangat diharapkan oleh rakyat atas kemerdekaan Indonesia adalah bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Tapi pada faktanya, sejak kemerdekaan sampai saat ini, Indonesia masih belum mampu memberikan manfaat yang dimaksudkan tadi (persatuan, kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran), masih belum dirasakan oleh masyarakat pada umumnya. Mungkin saja sebagian masyarakat tertentu sudah merasakan buah dari kemerdekaan 17 Agustus 1945, sebut saja para elit politik, pejabat, korporat, dan masyarakat lain yang memiliki tingkat perekonomian di atas rata- rata.
Lalu bagaimana dengan mereka yang bekerja serabutan, masyarakat kecil yang tingkat pendapatannya jauh di bawah upah minimum kota/kabupaten ataupun upah minimum provinsi? Tentu saja bagi mereka, sama sekali tidak merasakan pengaruh dari sebuah kemerdekaan, mereka masih terjajah dengan bentuk penjajahan gaya baru.
Pertama, bersatu/persatuan. Saat ini rakyat Indonesia masih terpecah belah, baik itu disebabkan oleh kontestasi politik misalnya cebong-kampret, perbedaan RAS, agama, dan atau karena status sosial. Sering kali kita mendengar konflik antara masyarakat karena perbedaan ras dan agama.
Kedua, berdaulat/ kedaulatan. Demokrasi yang selama ini selalu mempropagandakan slogan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” tapi faktanya “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk birokrat“. Bisa saja di sektor lain ada istilah “dari rakyat, oleh birokrat, dan untuk birokrat.” Artinya birokrat dan elit politik yang meraup keuntungan dalam berbagai macam kebijakan.
Contoh saja demonstrasi yang sempat berjilid-jilid pada tahun 2019 lalu, mulai dari RUU KUHP, RUU KPK, dan yang terakhir adalah UU OMNIBUS LAW. Padahal sudah jelas dan terang rakyat Indonesia bersepakat menolak pengesahan beberapa RUU tersebut, tapi pada faktanya aksi demonstrasi yang begitu besar dan berjilid-jilid pun diabaikan, dan pembahasan RUU tetap dilanjutkan sampai tahap pengesahan.
Ketiga, adil/keadilan. Sampai saat ini Indonesia masih jauh dari makna keadilan, belum juga dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Contoh saja kasus Habib Rizieq Shihab sangat kontras sekali sisi politisnya, jika dibandingkan dengan kasus- kasus lain yang serupa. Sama- sama melanggar prokes Habib Rizieq didenda 50 juta, tukang bubur di Jawab Barat didenda 5 juta, anggota DPRD Banyuwangi didenda 500 ribu, dan Kepala Desa didenda 48 ribu.
Belum lagi kasus-kasus korupsi yang merajalela, Djoko Chandra seorang buronan korupsi yang telah merugikan bangsa Indonesia hanya di berikan hukuman 4 tahun kurungan penjara, kasus Jaksa pinangki, tidak lupa juga Juliari Batubara yang hanya divonis 11 tahun penjara meskipun sudah merugikan rakyat Indonesia triliunan rupiah. Apakah anda ingin menerima ini sebagai sebuah fakta keadilan???
Keempat, makmur/ kemakmuran. Kemakmuran yang didamba-dambakan oleh setiap individu dan dapat dirasakan secara bersama ternyata hanya isapan jempol semata. 76 tahun Indonesia merdeka tapi tingkat kemiskinan masih tetap di atas rata- rata, masih terlihat banyak anak-anak jalanan meminta-minta meskipun terik panas menyekat di atas kepala. Di sisi lain Indonesia merupakan negara yang kaya raya, sumber daya alam melimpah ruah di berbagai wilayah nusantara. Papua sebagai pemasok terbesar sumber daya alam nyatanya dikeruk oleh Amerika, rakyat Indonesia hanya mendapat ampasnya saja.
Miris sekali jika berbicara tentang kemakmuran di negeri yang masih dijajah oleh sistem negara yang menguntungkan para penguasa.
Apakah ini sebuah fakta kemerdekaan???
Tidak cukup kiranya tulisan ini memuat bagaimana bobroknya sistem di negara ini yang menjadikan kemiskinan merajalela, selama sistem kapitalisme demokrasi sekuler masih bercokol di negeri ini, saya kira cukup sulit untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Sudah seharusnya Indonesia terlepas dari penjajahan gaya baru, sudah seharusnya Indonesia bangkit, berdiri sendiri tanpa diintervensi oleh kelompok tertentu (dalam hal ini para kapitalis global). Sudah saatnya Indonesia merdeka seluruhnya dan seutuhnya, tanpa sedikitpun terikat oleh kepentingan bangsa asing maupun aseng, apalagi di bawah kekuasaan para kapitalis global.
Mari bersatu, membangun negeri menuju negeri yang baldatun, thoyyibatun warobbun ghofur.