Literatur

KRS Threshold, Peraturan Ambang Batas ala FKIP UNTIRTA

Published

on

 

Oleh: Kanda Muhammad Abdul Aziz, Bidang Kajian Strategis dan Advokasi HMI MPO Komisariat Ciwaru

“Kampus adalah miniatur negara” istilah tersebut tentunya sering kita dengar dalam setiap masa orientasi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Istilah itu tentunya membingungkan bagi Maba atau sebutan bagi Mahasiswa yang baru memasuki dunia perkuliahan. Sebagai seorang mahasiswa baru, saya mengetahui luar dalam kampus hanya dari sebuah buku tulisan Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran. Dalam buku itu, Gie menuliskan berbagai geliat politik kampus yang terjadi di Universitas Indonesia selama ia menjadi Mahasiswa. Pertarungan kepentingan antar organisasi dan individu serta bagaimana relasi kuasa antara mahasiswa dengan penguasa pada saat itu. Setidaknya itu menjadi gambaran saya dalam menjalani kehidupan di kampus. Memang jika dipikir-pikir jamannya Gie dengan dengan saat ini tentu saja berbeda, tetapi istilah “Kampus Miniatur Negara” tidak berubah.

Dalam menjalani masa orientasi, tentunya kita dikenalkan dengan berbagai organisasi di kampus. Di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tempat penulis menjalani kuliah, ada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai lembaga eksekutif, lalu ada Dewan Perwakilan Mahasiswa () sebagai lembaga legislatif, lalu Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) yang katanya sebagai lembaga yudikatif, tetapi akhir-akhir ini saya ketahui sifatnya hanya semi-yudikatif. Di Fakultas hanya ada lembaga eksekutif (BEM) dan lembaga legislatif (). Untuk tingkat jurusan hanya ada lembaga eksekutifnya saja, yaitu Himpunan Mahasiswa Jurusan. Serta ada pula organisasi yang fungsinya memang untuk pengembangan diri, yaitu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang tersebar dari tingkat Universitas sampai Fakultas. Dalam menjalani roda organisasi, tentunya ada bentuk konstitusi atau peraturan sebagai pedoman organisasi untuk menjalankan tugas-tugasnya.

Di Fakultas Keguruan dan Ilmu (FKIP) ada sebuah pedoman organisasi bernama Peraturan Fakultas KBM atau biasa disebut di lingkungan kampus FKIP sebagai Perfak. Di dalam Perfak, ada 11 kandungan yang seluruhnya mengatur jalannya fungsi-fungsi organisasi tingkat fakultas sampai tingkat jurusan. Mulai dari Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART), Mekanisme Kerja Organisasi (MKO), Laporan Pertanggungjawaban (LPJ), Rekomendasi, Mekanisme Keuangan, Garis Besar Program Kerja (GBPK), Pemilihan Raya (Pemira), Panduan Kaderisasi, dan Tata Tertib Persidangan.

Dalam tulisan ini,saya akan membahas pasal di Kandungan Anggaran Rumah Tangga mengenai BAB III tentang Tata Cara Pengisian Jabatan. Dalam bab tersebut mengatur tata cara pengisian jabatan di -FKIP (Pasal 11), BEM-FKIP (pasal 12) dan HMJ ( Pasal 13). Dalam pasal 12 dan pasal 13 ada beberapa poin yang membuat penulis sedikit teringat mengenai peraturan ambang batas mengenai syarat untuk mencalonkan diri menjadi Presiden atau biasa kita kenal sebagai Presidential Threshold. Dalam point l, ayat 1, pasal 12 yang berbunyi:

“Memiliki dukungan 20 orang dari tiap jurusan dibuktikan dengan fotokopi KTM dan tiap fotokopinya disertakan tanda tangan pemilik KTM.”

Serta point k, pasal 13 yang berbunyi:

“Memiliki dukungan 20% dari mahasiswa aktif ditiap angkatan minimal 3 angkatan dibuktikan dengan fotokopi KTM dan tiap fotokopinya disertakan tanda tangan pemilik KTM.”

Dalam kedua pasal tersebut penulis bernah diskusi dengan beberapa pengurus DPM FKIP serta mendengar latar belakang terbentuknya peraturan ini saat kajian bersama Dewan Kehormatan DPM . Penulis tidak tahu kapan point ini tertera dalam peraturan fakultas, tetapi beberapa argumen yang dapat ditangkap kenapa akhirnya point ini adalah turunan dari asas perfak sendiri, yaitu asas kekeluargaan. Ya memang perlu diakui bahwa kata “kekeluargaan” masih menjadi tagline yang sering digaungkan di lingkungan kampus , Bahkan pada saat forum maupun diskusi biasa, tagline “kekeluargaan” ini seakan menjadi ciri khas bagi mahasiswa yang bernaung di Kampus Ciwaru ini.

Baca Juga:  Pentingnya Menyadari Identitas Sosial

Dalam tulisan Presidential Threshold: Sedikit Guna, Banyak Mudharat-nya, penulis mengemukakan beberapa alasan kenapa akhirnya pengaturan mengenai ambang batas harus dihapuskan. Mulai dari peraturan ini yang bersifat inkonstitusional karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 serta alasan lainnya yang sifat dari peraturan ini tidak sesuai dengan asas-asas demokrasi yang sudah menjadi konsesus para founder dari negeri ini. Beririsan dengan kasus dalam pasal 12 dan pasal 13, BAB III, kandungan 2 PERFAK KBM FKIP , saya menganggap secara sifat hal tersebut secara substansi adalah sebuah kesalahan. Berlindung dibalik kata “kekeluargaan” adalah hal yang memuakan, bagaimanapun asas demokrasi tidak pernah membatasi seseorang untuk memiliki hak untuk dipilih.

Sedikit cerita mengenai Rapat Paripurna DPM FKIP 2021, membahas mengenai perubahan atas Peraturan Fakultas, Fraksi PPKn mengajukan Perubahan atas Kandungan 2, BAB III, Pasal 12, yaitu penghapusan poin l tentang syarat pengisian jabatan pimpinan BEM-F harus memiliki dukungan 20 orang dari tiap jurusan dibuktikan lewat KTM/KRS yang ditanda tangan. Pada saat kajian Dewan Kehormatan(DK), ada anggota DK yang menyatakan bahwa peraturan ini dibuat atas dasar kesamaan dengan peraturan ambang batas atau Presidential Threshold 20% yang termaktub dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Hal ini tentunya seperti sebuah lelucon bagi saya, pertama, DPM FKIP dalam sumpah jabatannya dituntut untuk menjunjung tinggi demokrasi dan itu termaktub dalam perfak. Kedua, peraturan yang dijadikan dasar dalam perfak untuk poin ini adalah peraturan kontroversial yang banyak digugat oleh banyak kalangan, bahkan oleh kalangan mahasiswa karena bertentangan dengan konstitusi serta tidak menjunjung tinggi asas-asas demokrasi. Bentuk Threshold dengan menggunakan KRS/KTM ini seakan-akan mencederai demokrasi di kampus itu sendiri.

Dalam implementasinya, KRS Threshold ini seakan menjadi hal yang menurut penulis buang-buang waktu dan tidak ada substansinya. Memang awal mula dibentuknya agar para calon pemimpin di fakultas maupun jurusan bisa berkomunikasi dan silaturahmi dengan mahasiswa yang ada di FKIP , tetapi pada kenyataannya yang mengurus perihal tersebut adalah koalisi pemenangan sendiri. Bahkan ada cerita dari senior saya pada saat ia mencalonkan diri menjadi pimpinan di BEM FKIP ada beberapa jurusan yang enggan atau menolak memberikan dukungan melalui KTM/KRS ini karena sudah bergabung dengan koalisi lawan atau karena ada alasan secara pribadi, walau memang akhirnya bisa diselesaikan tetapi tetap hal ini yang sangat disayangkan karena secara tidak langsung itikad baik seorang calon pemimpin yang memiliki konsep serta gagasan yang baik serta memiliki hak untuk dipilih secara penuh harus mengurusi hal yang tidak perlu ini. Padahal jika berbicara penyaluran gagasan dan konsep, tentunya itu diuji pada saat masa kampanye bukan?
Idealnya kampus sebagai “miniatur negara” menghadirkan alternatif peraturan bagi negara di dewasa ini agar lebih baik. Bukannya malah membuat kontradiksi dan memperumit keadaan, seperti menolak penerapan Presidential Threshold dalam peraturan pemilu di negara tetapi secara tidak sadar menerapkannya dalam lingkungan kampus dengan bentuk lainnya seperti kasus KRS Threshold ini. Kampus memang “Miniatur Negara” tetapi bukan sebagai miniatur penerus negara yang kacau balau ini. Melanjutkan cerita rapat paripurna perubahan perfak, pada saat pengambilan keputusan melalui musyawarah ada beberapa argumen penguat dari penulis kenapa KRS Threshold ini harus dihapuskan, seperti melalui berbagai teori para ahli tentang demokrasi maupun bentuk implementasinya yang dirasa tidak ada substansinya bahkan ada beberapa teman-teman dari fraksi jurusan lain yang merasakan hal yang sama.

Baca Juga:  DEKAPAN TUHAN

Ada pula argumen kontra dari beberapa fraksi jurusan terkait keputusan penghapusan KRS Threshold ini yang sebenernya tidak jauh dari kata “silaturahmi” dan “kekeluargaan”. Padahal di FKIP sendiri bentuk silaturahmi yang dilakukan sangat sering, dimana ada budaya seperti kunjungan ormawa, yaitu kunjungan yang dilakukan secara bergantian antar HMJ atau BEM yang sedang melaksanakan Program Kerja (Proker). Selain itu, forum-forum diskusi yang difasilitasi BEM FKIP pun bagi saya tidak lepas dari silaturahmi dan kekeluargaan tadi. Bahkan akan sangat sangat disayangkan jika silaturahmi hanya untuk kebutuhan dukungan melalui KRS semata, jatuhnya pragmatis dan oportunis. Orang hanya menjadikan asas kekeluragaan dan silaturahmi ini sesuatu yang hanya mengambil keuntungan praktis saja untuk kepentingan semata-semata serta akhirnya terbentuklah politik transaksional yang seharusnya kita hindari bukan?

Sangat disayangkan memang pada pengambilan keputusan terjadi deadlock, karena ada 9 jurusan yang mendukung pro dan 9 jurusan yang menolak. Pada akhirnya dilakukan lobi di luar forum, dan ketika dilakukan pengambilan keputusan ulang, ada beberapa jurusan yang pro menarik keputusannya menjadi menolak penghapusan atas KRS Threshold ini. Saya tidak menemukan apa alasannya jurusan itu menarik keputusannya, selain tidak jauh-jauh dari kekeluargaan dan silaturahmi. Harus saya akui memang, penyadaran akan pengertian demokrasi masih sangat minim, apalagi di jurusan yang memang tidak mempelajari keilmuan sosial secara utuh. Tetapi seharusnya ketika mereka melakukan sumpah jabatan di DPM FKIP, yang “katanya” harus menjunjung kehidupan demokrasi, mau tidak mau mereka harus paham dan mempelajari secara informal bagaimana menjunjung cara demokrasi itu, bukan malah pasrah tidak mempelajari dan ujungnya mencederainya.

Kebetulan ketika membuat tulisan ini, di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sedang melaksanakan Pemilihan Raya atau biasa dikenal sebagai Pemira. Saya melihat sendiri dari sejak saya masuk kuliah setiap masa pemira, teman-teman di FKIP sibuk mengurusi persoalan KRS ini. Biasanya tiap jurusan mengkolektif KRS dari masing-masing angkatan sebagai salah satu syarat berkas pencalonan di tingkat jurusan maupun fakultas. Bukannya sibuk membuat gagasan dan konsep untuk menjabat nanti, orang-orang malah disibukan hal tidak berguna ini. Maka dari itu saya berpesan kepada para calon pimpinan baik di organisasi tingkat jurusan sampai Universitas, bertarunglah dengan membawa gagasan dan konsep yang matang, bukan hanya mengandalkan suara massa. Serta untuk pemilih memilihlah dengan cerdas, bukan hanya ikut ajakan senior maupun titah organisasinya.

Tulisan ini dibuat atas desakan senior penulis yang merasakan keresahan hal yang sama, ia meminta saya membedah mengenai Presidential Threshold ala FKIP UNTIRTA yang sulit diubah tiap tahunnya yang tidak tahu sebetulnya apa kepentingan dari ditambahkannya peraturan mengenai KRS Threshold ini, penulis juga memohon maaf jika ada yang tersinggung atas tulisan ini, karena semata-mata tulisan ini dibuat atas dasar objektif dan atas kelimuan yang penulis pelajari baik di ruang akademis maupun secara informal.

Lagi Trending