Oleh : Arif Jayaprawira, Kader HMI Komisariat IAIN Palopo
Memang berbicara tentang literasi, terkadang para milenial buang muka. Mengapa demikian? Karena memang Indonesia belum mengoptimalkan gerakan literasi itu sendiri. Dibanding dengan budaya menonton, sekarang di zaman modern ini memang para milenial lebih tinggi budaya menonton dibanding membaca dan mengenal budaya menulis itu sendiri.
Menurut kamus online Merriam-Webster, Literasi berasal dari istilah latin ‘literature‘ dan bahasa inggris ‘letter‘. Literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual yang artinya “kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar).
Education Development Center (EDC)menyatakan bahwa Literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis. Namun lebih dari itu, Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan pemahaman bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
Seperti yang sudah diketahui bersama bahwa minat baca masyarakat Indonesia, termasuk siswa, sangat rendah. Dikatakan oleh Satria Dharma (Ketua Forum Pengembangan Budaya Literasi Indonesia) pada Seminar nasional yang digelar oleh Program Studi Bimbingan Konseling dan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) FKIP Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, bahwa hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebutkan budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar.
Mengapa tingkat minat baca masyarakat Indonesia rendah? Mungkin orang Indonesia kebanyakan sibuk mencari nafkah di sektor non-formal sehingga kurang waktu untuk beristirahat apalagi untuk untuk membaca. Hampir bisa dipastikan sangat kurang. Hanya sebagian kecil saja masyarakat Indonesia yang mempunyai cukup waktu untuk membaca.
Selain itu, adanya mitos bahwa remaja atau anak muda yang suka membaca terkesan “lugu, tidak gaul, dan sebagainya” turut memperkeruh keadaan. Lingkungan yang kurang mendukung untuk aktivitas membaca, misalnya tempat tinggal di daerah selalu bising atau daerah yang kebanyakan penduduknya tingkat pendidikannya rendah.
Ingin Tulisan Kalian Di Terbitkan Disini? Sila Kirim Naskahnya ke Redaksi.SHC@Gmail.com ☺
Kru LAPMI Serang
Penyebab rendahnya semangat dan motivasi untuk membaca, yaitu berikut ini:
- Lingkungan keluarga.
Mustahil seorang anak tumbuh dengan kebiasaan membaca bila kondisi di rumah atau lingkungan keluarga tak pernah membiasakan budaya membaca bagi anggota keluarga. Inilah sebabnya sedini mungkin sangat penting untuk membiasakan buah hati kita untuk membaca agar karakter ini tertanam hingga mereka dewasa kelak. Padahal membaca bisa menjadi salah satu bentuk rekreasi yang menyenangkan dan bisa membuat kita menjadi lebih santai. - Lingkungan masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa hingga saat ini lingkungan sekitar masih sering memandang ganjil orang yang menghabiskan waktu dengan membaca misalnya sambil mengantri, saat berada di kereta, atau sekedar duduk di taman kota sambil membaca. Tak hanya dipandang dengan aneh, kadang ada pula yang meremehkan atau mengatakan hal-hal yang negatif sehingga yang bersangkutan merasa malu. Padahal orang-orang yang membaca di area publik seperti ini umum ditemui di negara-negara lain. - Perkembangan teknologi yang kian canggih.
Kemajuan pesat teknologi selain membawa dampak positif dengan memudahkan pekerjaan manusia ternyata juga bisa membawa dampak negatif bila tak digunakan, diawasi, dan dikendalikan dengan baik. Pengguna terbesar produk-produk berteknologi tinggi adalah para pemuda dan sayangnya mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget-gadgetcanggih tersebut daripada membaca.
Adapun cara untuk membangun budaya literasi:
- Mengembangkan budaya baca di sekolah.
Sekolah merupakan sarana pendidikan formal. Oleh karena itu, sekolah dapat dijadikan tempat untuk membudayakan membaca maupun menulis. Hal tersebut sangat berkaitan dengan peran guru dalam menerapkan pembelajaran berbasis literasi. - Mengoptimalkan peran perpustakaan.
Peran perpustakaan juga sangat penting untuk meningkatkan gerakan literasi. Perpustakaan merupakan gudang buku, sedangkan buku adalah sumber bacaan dan tulisan. Hal yang perlu perbaikbaiki saat ini adalah memaksimalkan peran perpustakaan untuk membangun budaya literasi. - Join komunitas literasi.
Komunitas literasi merupakan perkumpulan orang-orang yang gemar membaca dan menulis, komunitas seperti ini dapat berperang penting dalam meningkatkan minat membaca maupun menulis serta tempat untuk mendapatkan refensi-refensi yang baru dari hasil bacaan. - Membiasakan diri untuk menulis.
Literasi tidak hanya membaca, tetapi juga dilanjutkan dengan menulis. Pembiasaan menulis juga bisa didapatkan dari hasil baca dan mengeluarkan ide-ide atau refensi yang baru, membaca dan menulis memang keduanya tidak bisa dipisahkan. - Kunjungan ke pameran buku.
Berkunjung ke pameran-pameran buku juga adalah salah satu pentingnya dalam literasi dan tempat untuk menemukan buku-buku yang disukai atau yang lebih membuat tertarik untuk dibaca.
Palopo, 7 Juni 2019