Literatur

Membidik Oligarki Ekonomi Ala HMI MPO Cabang Bangka Belitung Raya

Published

on

 

Oleh: Kanda Zunnur Roin ( PB MPO)

Ada yang menarik dalam pengantar sambutan Ketua Umum MPO Cabang Bangka Belitung Raya, Bung Gilang Virginawan. Beliau sampaikan pada kegiatan Pelantikan Pengurus MPO Cabang Bangka Belitung Raya. Lebih kurangnya begini:

“..Saya berbangga dan senang kedatangan tamu spesial, yang saya tunggu-tunggu, para Nelayan dari Perairan . Orang-orang yang tengah berjuang menghadapi eksploitasi secara ilegal maupun legal. Aktivitas yang dibenarkan, dibiarkan dengan pengelolaan yang semrawutan…”

Saya tersentuh ketika sekelompok nelayan itu, Pak Wisnu dan ketiga orang kawannya diajak menyaksikan hikmatnya perkaderan dan perjuangan HMI. Mereka datang dari kampung ke Kota Pangkal Pinang. Di kampungnya, mereka menaruh harapan dari kekayaan bahari yang menjanjikan kesinambungan hidup. Pagi petang menghadang gelombang, mengais rezeki menangkap ikan. Supaya dapur tetap berasap dan anak-anaknya dapat mengenyam sekolah tinggi-tinggi.

Tapi apalah daya, saat zona tangkap kian sempit ikan tak lagi bersahabat. Ketika daratan penuh kubangan, lautpun dasarnya dikeruk. Dari mereka hanya dapatkan remah-remah eksploitasi, mereka yakin bahwa hanya mempertontonkan disparitas antara kesejahteraan dan kemewahan hidup para pejabat, para pengusaha tambang, dan para aparat penegak hukum, yang mereka duga berkolusi. Dalam sesi bincang ringan Pak Wisnu sampaikan: “Bantu kami bang!”

Tak lebih dari 2 jam berbincang, saya dimintai solusi. Menyelesaikan diskusi tersebut dengan solusi tentu cukup memberatkan. Bagaimana pula bantuan yang diharapkannya itu bisa kami berikan? Nyatanya pun, regulasi demi regulasi sudah ada, tapi terkesan formalistik belaka. Dibuat cenderung mengabaikan subtansi penyelesaian masalah, diterbitkan sebagai syarat berjalannya birokrasi yang laten manipulasi. Ditegakkan umpama menegak benang basah. Problematika yang kompleks dan menggelisahkan, tentu saja “ruwet” seperti yang pernah diucap Pak Jokowi. Kegelisahan yang dibungkus dengan optimistis “Kerja Kerja Kerja!!!” Kalau anekdot melayu menyoal kerja begini : “Kerja 1000, Tak Kerja 500, Kerja tak kerja 1500.” hehe

Baca Juga:  Bogor Minta Dipending, Serang Ancam WO. Munas Kohati Disebut Tidak Jelas

Sejatinya, kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) kita merupakan aset alamiah yang menawarkan hak atas hidup yang layak. UUD 1945 mendedah bahwa, bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalil konstitusional itulah yang diinstrumentasikan pemerintah melalui tindakan formalnya mengelola, dengan permisifitas tinggi terhadap kerusakan ekologi, yang memuaskan candu eksploitasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran oligarki.

Membincang eksploitasi SDA lazimnya demikian, asyarakat vis a vis dengan pemerintah dan korporasi akan membuat masyarakat kulum jari dan pemerintah meleleh. Masyarakat cenderung terpola dan terbelah dalam landscape perjuangan yang terjal. Korporasi berjaya disaat negara tak berdaya menggali potensi ekonomi yang signifikan. Negara melalui aktor Pemerintahannya justru terpedaya dengan “angin surga” gratifikasi. Alhasil, pemerintah kalah masyarakatnya lelah. Parahnya, APBN Bocor.

Baca Juga:  Ambang Batas Pencalonan Presiden Membatasi Demokrasi: Polarisasi dan Bertentangan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945

Menukil informasi dari Laode M. Syarif, yang tayang di mongabay.co.id, bahwa 10.000 lebih izin usaha pertambangan yang ada ketika dirinya menjabat sebagai komisioner KPK (2015-2019). Laode menemukan sedikitnya 6.000 kasus terkait ketidakpatuhan terhadap semua ketentuan, yang mungkin saja tidak korupsi namun bisa ditindak karena tidak patuh pada perizinan yang ada.

Menurut Laode Korupsi SDA selalu melibatkan High Rangking Public Officials dan Private Sector kelas kakap. Korupsi SDA menurutnya selalu melibatkan aktor-aktor sampai di luar negeri sehingga lebih sulit di tindak.

Kabar buruk yang disampaikan Laode tersebut hanyalah satu sektor dibalik banyaknya sektor dan variabel lain dalam masalah pengelolaan SDA kita. Maka catatan singkat ini tidak bermaksud mengulas itu secara eksplisit. Secukupnya ingin mengabarkan bahwa keluarga besar oligarki ekonomi,politik dan spesies sejenisnya yang selalu kita sebut-sebut itu, berkelindan dalam pusaran pengelolaan SDA kita. So, mari bergerak melawan.

Akhir cerita, diskusi kami dan Lak Wisnu menemukan satu solusi yang klasik. Perlawanan tampaknya menjadi solusi primadona. Kepada adik-adik HMI Cabang Bangka Belitung Raya saya sampaikan, tunaikan kewajiban perjuangan HMI dengan masyarakat .

Lagi Trending