Literatur
Mengabaikan Konflik: Catatan Rekonstruksi PSSI
Published
2 tahun agoon
Oleh: Mohamad Rivaldi Hapili, Ketua Umum HMI MPO Cabang Gorontalo periode 2021-2022
Setelah kurang lebih 754 orang menjadi korban, dalam tragedi Kanjuruhan beberapa waktu lalu, situasi bangsa kembali mengalami goncangan besar, dalam sederet tragedi pembunuhan di Indonesia. Bagaimana tidak, kurang lebih 133 orang anak bangsa, tewas (kompas.com). Angka yang sangat fantastis. Mungkinkan ini diselesaikan dengan benar oleh negara?
Di tengah fakta bahwa masih ada kasus pembunuhan anak bangsa secara keji oleh aparat, masih susah untuk diungkap. Entah karena benar-benar susah diungkap, atau memang sengaja tidak akan diungkap, karena bersinggungan erat dengan konflik kepentingan para elit kekuasaan.
Nyawa manusia memang tidak ternilai harganya. Ia tidak bisa sekedar diungkap, seperti angka-angka statistik. Satu nyawa yang hilang, sangat berarti, dan tak akan pernah digantikan. Apalagi ketika jumlahnya mencapai ratusan, seperti yang terjadi di tragedi Kanjuruhan baru-baru ini.
Jatuhnya ratusan korban, sangat menghebohkan situasi bangsa. Ribuan masyarakat berduka dan menyampaikan solidaritas, dengan mengecam dan melakukan berbagai aksi atas tindakan pengamanan kepolisian, yang tidak sesuai aturan, untuk menegakan hak asasi manusia. Di satu sisi, sepakbola adalah cahaya besar, yang terkenal dan begitu digemari oleh masyarakat nasional hingga internasional. Dari ajang olahraga ini, masih terbesit harapan besar, bahwa Indonesia bisa menorehkan prestasi sebagai sebuah bangsa yang berhasil. Ketika para elit pemerintahannya, tak kunjung bisa menciptakan prestasi politik yang bernilai.
Realita ini, menjadi satu dari sekian masalah kebangsaan yang menjadi kabut hitam yang mengelilingi tubuh bangsa kita. Sebuah masalah yang harus dikomunikasikan secara merata, diselesaikan secara adil dan toleran, hingga dilakukan secara tepat dan cepat. Sangat kompleks. Namun itulah tanggung jawab besar, dalam mengurus sebuah bangsa yang kaya akan keragaman, suku, budaya hingga kepercayaan ini. Dan tentunya, semua masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh presiden, yang duduk secara cupu dan merunduk di hadapan pimpinan partai, kemudian makan hidangan mewah dengan beberapa elit pemerintahan, lalu mulai mencarikan solusi yang tentu saja, harus bermanfaat besar bagi karir politik mereka masing-masing.
Memperbaiki Harapan
Gagasan untuk merekonstruksi pemberlakuan pengamanan ajang sepak bola di Tanah Air, mulai bergulir. Meskipun tidak seberapa, sanksi telah dijatuhkan oleh kepada pihak keamanan yang salah mengambil tindakan. Tak hanya sampai di situ, perbaikan organisasi pemerintahan, di tubuh Kementerian Pemuda dan Olahraga hingga Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), juga didesak untuk dilakukan.
Namun sayang, di tengah gagasan yang diharapkan mampu menghadirkan harapan cerah untuk sehatnya sepak bola di Tanah Air ini, malah kembali dimanfaatkan untuk menyalurkan syahwat, yang oleh Basri Amin disebut sebagai Mentalitas Cinta Kedudukan.
Setelah dilakukan proses KLB di tubuh PSSI, Erick Tohir terpilih secara politis sebagai Ketua Umum. Meskipun organisasi ini sudah dikuasai oleh para politisi, namun kali ini politisasinya sangat carut marut dan mengundang kebingungan bahkan, tertawaan bagi mereka yang terlampau pesimis dengan kondisi kebangsaan kita.
Erick Tohir, terpilih sebagai Ketua Umum dan Zainuddin Amali sebagai Wakil Ketua Umum. Keduanya dalam kabinet pemerintahan, sama-sama memegang jabatan besar dan strategis, yaitu sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Menteri Pemuda dan Olahraga (MENPORA).
Berebut Kekuasaan
Berbagai keanehan yang bisa menyebabkan bertambah cacatnya organisasi olahraga di bangsa ini, terpampang jelas. Posisi PSSI sebagai organisasi olahraga, tentunya berada dalam naungan Kemenpora, baik secara strukturalis maupun secara politis.
Namun sayangnya, nama Kemenpora juga berada dalam posisi strategis di tubuh formal PSSI, yaitu sebagai Wakil Ketua Umum. Potret yang sangat tidak rasional, dan rumit untuk dipikirkan secara sehat dihadapan secangkir kopi hitam, ditemani langit senja.
Bahkan penulis sendiri, sulit untuk menjelaskannya secara deskriptif. Karena bisa menyebabkan tulisan ini tumpang tindih, meskipun realitasnya begitu adanya. Posisi Menpora, Zainuddin Amali di tubuh PSSI adalah sebagai bawahan dari Ketua Umum PSSI, Erick Tohir. Sedangkan PSSI dinaungi oleh Kemenpora. Bagaimana bisa Zainudin, bekerja secara professional. Dirinya sebagai Menpora, yang seharusnya menaungi dan mempertanggungjawabkan seluruh aktivitas olahraga di Tanah Air, malah menjadi bawahan di organisasi yang dinaunginya sendiri sebagai Menpora.
Contohnya, ketika ingin menjalankan proposal kegiatan, PSSI akan mengajukannya ke Kemenpora, sebagai lembaga tertinggi pemerintah pusat, yang menaungi bidang pemuda dan olahraga. Sementara, Menpora adalah salah satu bawahan Ketua Umum di PSSI. Zainudin Amali tiba-tiba berubah menjadi ultramen, yang serba bisa dan memiliki banyak tanggungjawab untuk melindungi manusia di bumi ini.
Memunculkan Kisruh
Duduk sebagai penanggung jawab, sekaligus sebagai bawahan. Menjabat sebagai pimpinan, sekaligus bawahan. Sangat ironi, dan sekali lagi, sangat cacat, untuk PSSI yang menurut Erick Tohir, akan dijalankan secara professional. Pun jika benar, mereka ingin mengelola tubuh organisasi tertinggi di bidang Sepak Bola ini dengan tepat dan sehat. Jika tidak, maka wajar ketika tubuh PSSI diisi oleh berbagai manusia yang rakus jabatan. Sudah dipilih menjadi bagian dari pimpinan tertinggi negara, malah terus mengincar secara rakus jabatan-jabatan strategis lainnya. Tentunya dengan upaya politisasi yang cukup rumit.
Kenyataan ini sekali lagi, jelas akan membuat infrastruktur pembangunan kita berjalan cacat dan penuh A Beause of Power, hingga Conflict of Interest. Dualisme, penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan, adalah pil pahit yang membudaya dan harus ditelan oleh bangsa ini. Sungguh mengasihankan.
Tingkah para pemimpin yang gila kedudukan ini, harus segera diakhiri. Sebelum menjadi, kronik yang membuat falsafah bangsa ini perlahan hancur lebur.
Pada titik inilah, kepemimpinan nasional sangat dibutuhkan, untuk menyelesaikan kisruh yang terjadi. Presiden harus mengeluarkan kebijakan, terhadap para menterinya yang tidak tertib, melanggar amanah, dan memberikan catatan buruk bagi sejarah perjalanan bangsa.
Kekeliruan yang Dibenarkan
Namun, apa yang terjadi? Tindakan tidak tertib dan rakus kekuasaan ini, malah dibenarkan oleh Presiden. Dengan tegas, sebagai pimpinan nasional, Presiden kita malah tidak mempermasalahkan, tingkah laku buruk ini (Baca di tempo.co). Mungkinkah segala potensi kerusakan akibat perilaku buruk ini, tidak terlintas di benaknya? Atau memang dengan sengaja, Presiden membiarkan kisruh ini terjadi.
Beberapa tahun sebelumnya, saat baru menjabat kembali menjadi Presiden, Jokowi telah menyatakan sikap dengan tegas, untuk melarang para Menterinya mengambil jabatan lain. Alasannya, banyak pekerjaan negara yang harus dituntaskan oleh para menteri, menjadi amanah besar, yang tidak bisa dianggap remah. Sangat berbeda saat menanggapi kisruh dari para menterinya kali ini. Sikap berlawanan, dan terkesan menjilat ludah sendiri, terlihat dengan jelas.
Pantas jika para aktivis mahasiswa, mengatakan Jokowi sebagai The King of Lip Service (Baca: kompas.com) yang sering berjanji hanya di bibir saja. Sebuah kenyataan, yang bisa menjadi kunci rusaknya bangsa kita.
Sebelum organisasi yang menjadi tonggak besar, perkembangan sepak bola Tanah Air ini rusak, Presiden harus mengambil langkah tegas dengan melakukan penertiban para menteri yang tidak amanah, dan rakus jabatan.
Sikap pemimpin yang disiplin, dan konsisten terhadap visi besar memajukan bangsa, harus berjalan dengan menjaga seluruh lembaga di bawah naungannya, berjalan teratur sesuai amanah kerakyatan. Di titik inilah tanggung jawab moral seorang Presiden diuji.
Kepemimpinan nasional, harus kembali digaungkan sebagai taring yang ganas, dalam memangsa pelaku culas yang rakus jabatan, dan menganggap remeh amanah rakyat.
Hutang negara yang terus membengkak, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan pola kerja pemerintahan yang seringkali memberikan contoh buruk bagi masyarakat, seharunya menjadi PR besar para pejabat di negeri ini. Bukan malah berlomba-lomba memperbanyak jabatan, melampiaskan nafsu dan mencederai amanah konstitusi.
You may like
-
BERKAH RAMADHAN 1445 H: HMI MPO KOMISARIAT UNTIRTA CIWARU TEBAR KEBAIKAN DENGAN BERBAGI TAKJIL
-
Gandeng Komnas Perempuan, HMI MPO Komisariat UIN SMH Banten Gelar Webinar Tangkal Pelecehan Seksual
-
Post-Truth Era! Benarkah Masyarakat Indonesia Anti-Intelektualisme dan Korelasinya Terhadap Kemunduran Demokrasi
-
Guna Mempererat Tali Persaudaraan Antar Lintas Iman di Banten, GUSDURian Serang Gelar Safari Keberagaman Season Dua di HKBP Serang