Literatur

Menghormati Senior Mengayomi Junior

Published

on

Oleh: Kanda Ocit Abdurrosyid Siddiq (Penulis pernah mengajar di pondok pesantren)

Dunia pesantren kembali berduka. Seorang santri di pondok pesantren Darussalam Gontor Ponorogo meninggal dunia. Tragedi ini diduga terjadi karena adanya tindak kekerasan fisik atau yang dilakukan oleh santri senior kepada almarhum.

Semoga dinda almarhum husnul khotimah dan keluarga diberi ketabahan. Kita bisa membayangkan kesedihan keluarga, yang semula menitipkan anaknya ke pondok pesantren untuk diajar dan dididik, kembali ke rumah sebelum waktunya dalam wujud jenazah.

Sebelumnya, kita juga dikagetkan oleh tragedi yang sama, bahkan lebih tidak manusiawi. Seorang santri Pondok Pesantren Daarul Qur’an Lantaburo Cipondoh, Kota Tangerang, tewas dikeroyok oleh 12 orang temannya. Penyebabnya, dia dianggap tidak sopan pada senior.

Aparat penegak hukum sedang dan telah menangani kasus ini. Dari 12 tersangka pelaku, 5 ditahan dan 7 dikembalikan kepada orangtuanya. Dikembalikan kepada orangtuanya karena 7 santri tersebut belum berumur 14 tahun.

Bahkan sebelumnya, juga ada peristiwa serupa yang terjadi di pondok pesantren. Seorang santri tewas akibat tindak kekerasan fisik seorang temannya. Kejadian di pondok pesantren yang terletak di Kabupaten Tangerang ini, juga sedang dalam penanganan aparat penegak hukum.

Tiga peristiwa kekerasan fisik yang terjadi di pondok pesantren ini hanya berselang tidak lebih dari 1 bulan. Yang pertama pada 7 Agustus 2022. Yang kedua pada 27 Agustus 2022, dan yang terakhir bahkan terjadi pada 22 Agustus 2022, yang kemudian beritanya mencuat pada awal pekan September 2022.

Baca Juga:  Perubahan untuk Pendidikan Indonesia

Ragam reaksi bermunculan dari masyarakat. Mulai dari yang menghujat, menuntut, prihatin, hingga ada juga yang berupaya untuk menutupi peristiwa sebagai cara untuk meredam gejolak. Terlepas dari ragam reaksi tersebut, penghilangan nyawa seseorang dengan cara kekerasan fisik adalah perbuatan yang tidak manusiawi.

Tragedi kemanusiaan ini mesti menjadi pembelajaran bagi seluruh pihak. Baik bagi pengasuh pondok pesantren, orangtua, juga calon santri. Pihak pondok mesti lebih memerhatikan para santrinya, bukan hanya pada aspek pembelajaran saja.

Ketika orangtua menitipkan anaknya kepada pihak pondok pesantren untuk diajar dan dididik, sehingga kelak ketika ia dinyatakan lulus, diharapkan menjadi anak yang memiliki pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang disertai akhlak yang baik, soleh dan solehah.

Adalah wajar ketika orangtua merasa hancur, marah, murka, dan tidak terima, manakala anak yang menjadi tumpuan harapannya ketika pulang hanya tinggal nama. Orangtua mana yang tidak merasa sedih ketika buah hatinya saat diantar begitu bersemangat untuk menuntut ilmu, tapi ketika pulang terbujur kaku. Apalagi karena dan akibat tindak .

Karenanya, pihak pondok pesantren mesti lebih intensif dalam melakukan pengawasan, pembinaan, bimbingan, pada setiap santri. Termasuk kemauan untuk mengubah pakem yang selama ini berlaku di pondok pesantren; relasi dan perlakuan senior kepada junior.

Sudah menjadi rahasia umum, pakem di pondok pesantren yaitu santri junior mesti patuh kepada perintah senior. Tak soal bila perintah itu dalam konteks pembinaan. Tapi, kadang superioritas senior kepada junior kebablasan. Karena relasi tak sepadan inilah kadang muncul kekerasan fisik.

Baca Juga:  Bisnis Pangan Tapi Sepi Peminat? Ini yang Harus Kamu Perhatikan

Sayangnya, fenomena ini kerap menuai permakluman, baik dari pengelola pondok pesantren maupun dari pihak lain, misalnya para alumni. Sikap permisif para alumni ini muncul karena mereka juga pernah mengalami hal yang sama; pernah pada posisi menjadi junior, juga menjadi senior.

“Zaman dulu juga gua begitu, dan yang begitu sudah biasa”. Komentar bernada permisif ini seolah mengamini dan membenarkan bahwa budaya kekerasan fisik yang terjadi di pondok pesantren adalah perkara kaprah dan lumrah.

Hal ini mesti menjadi perhatian pengelola pondok pesantren. Caranya, lakukan tindakan tegas untuk memotong mata rantai kebiasaan melakukan kekerasan fisik. Narasi bukan hanya pada persoalan semangat menuntut ilmu, tetapi juga tema-tema tentang kasih sayang, tolong-menolong, dan kepedulian terhadap orang lain.

Welas asih, lapang dada, tawadhu, mengalah demi kebaikan, ikhlas, perhatian, hormat pada senior, menghargai pada yang sebaya, dan mengayomi pada junior, adalah tema-tema yang mesti mendapat perhatian dan lebih dimasifkan.

Semoga dengan cara demikian, seluruh santri memiliki pengetahuan, pemahaman, serta kesadaran, untuk bisa bersikap dan bertindak karimah atau terpuji. Semoga dengan lebih memperbanyak dan mempersering tema-tema yang tadi disebutkan, bisa meminimalisir, menghapus, dan meniadakan tradisi kekerasan fisik di lingkungan pondok pesantren. Wallahualam.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Lagi Trending