Tanggapan atas tulisan senior-senior HMI Cabang Makassar oleh Kader HMI Cabang Makassar.
Membaca tulisan-tulisan senior HMI Cabang Makassar, di antaranya Idham Hayat, Syafinuddin Al-Mandari, serta Sulhan Yusuf, menggoda pikiran saya untuk menanggapinya. Ketenaran Affandi Ismail dalam dinamika HMI, berhasil memantik mereka bersuara, sekalipun lewat tulisan. Berikut tanggapan saya atas tulisan senior-senior, perihal kondisi HMI belakangan ini:
Pertama, Kak Idham Hayat dalam tulisannya menyebut tindakan Affandi Ismail adalah tercela. Affandi dalam hal ini terbukti makar dengan menggelar Kongres tandingan, menyalahgunakan kekuasaan, dan keuangan organisasi. Kelakuan inkonstitusional tersebut menodai nama baik HMI.
Apa yang dikatakan Kak Idham, tentu sukar dibantah Affandi. Meskipun masih ada saja hujah-hujah yang membelanya, termasuk pembelaan oleh ‘loyalis dan buzzer-buzzer‘ Affandi. Berbagai fakta berseliweran menunjukkan Affandi terbukti melawan Konstitusi HMI dengan degilnya. Misalnya, Affandi merayu utusan cabang agar berkongres di lokasi yang berbeda.
Tidak hanya makar, dan mempraktikkan Abuse of Power, Affandi seperti yang dikatakan Kak Idham, juga diduga kuat menyalahgunakan keuangan organisasi.
Intensnya Affandi bertemu pejabat maupun donatur, tidak berbanding lurus dengan progresivitas kinerja PB HMI. Affandi bahkan beberapa kali melakukan perjalanan keluar negeri. Sementara ketika panitia Kongres meminta anggaran, Affandi cenderung menghindar dan meminta Kongres ditunda.
Apalagi, Bendahara PB HMI semenjak kepengurusan berjalan, tidak pernah menampakkan diri. Disinilah anggaran PB HMI rawan disalahgunakan. Ditambah penggunaan serta transparansi anggaran sangat tertutup.
Selanjutnya, Kak Idham menyinggung perihal tanggung jawab moral kader HMI. Sungguh marah Kak Idham, terlebih Affandi merupakan kader HMI Cabang Makassar, yang justru berperilaku amoral. Mirisnya, kelakuan tidak terpuji Affandi diikuti oleh loyalisnya, lalu menggerogoti cabang-cabang, hingga menular ke struktur komisariat.
Di penghujung tulisannya, Kak Idham menaruh harap agar HMI Cabang Makassar tidak menjadi pecundang.
Memang, sejak sanksi skorsing dilayangkan, Cabang Makassar tetap getol dengan keputusannya, sampai-sampai mengantarkan Affandi ke sidang pemecatan.
Sikap jentelmen Cabang Makassar adalah bentuk penegakan Konstitusi tanpa pandang bulu. Sekalipun mendapat protes keras dari berbagai kalangan, termasuk senior/alumni, yang terlanjur dicekoki informasi keliru.
Langkah yang diambil Cabang Makassar, meskipun diakui terdapat sedikit ‘kekeliruan’ dalam penggunaan ‘kata’nya, namun sejatinya merupakan langkah penyelamatan HMI. Mengapa? Jika Affandi tidak disanksi atas segala perbuatannya, bisa saja Kongres akan kembali tertunda.
Affandi seharusnya bersyukur sebab dengan diskorsingnya dirinya, dosa-dosanya terhadap HMI terhenti, sekalipun Affandi tetap meronta-ronta, dan secara perenial tetap percaya diri memakai nama HMI dalam beraktivitas.
Bagi saya, sikap Cabang Makassar adalah pengejawantahan independensi HMI yang sesungguhnya. Cabang Makassar berhasil menaklukan kedigdayaan Lord Affandi hingga resmi dipecat dari HMI.
Selanjutnya, dalam tulisan Kak Syafinuddin Al-Mandari, dikatakan tidak ada Laporan Pertanggungjawaban (LPj) PB HMI. Kita matfum dengan kondisi tersebut, lantaran berantakannya kepengurusan PB HMI.
Konstitusi menjelaskan tolak ukur keberhasilan pengurus dilihat sejauh mana program, kebijakan, ataupun rekomendasi Kongres sebelumnya terlaksana. Untuk menilai itu, PB HMI wajib melaporkan LPJ-nya. Celakanya, PB HMI memilih mangkir dari forum Kongres, bahkan tidak menyusun LPJ sama sekali.
Mungkin bagi Affandi ‘tidak adanya’ LPJ, bukanlah masalah. Berbeda bagi utusan-utusan cabang, PB periode inilah yang paling gagal. Dibalik mangkirnya PB dari forum Kongres, hemat saya merupakan tindakan yang ‘disengaja’ untuk menghindari ketajaman kritikan cabang. PB HMI takut dihakimi atas perbuatannya sendiri.
Lebih jauh, saya melihat tindakan PB HMI yang demikian, mengisyaratkan ada hal yang sebenarnya berusaha ‘disembunyikan’ oleh PB HMI. Affandi tidak ingin semuanya terbongkar, karena dapat mengancam dirinya.
Kak Syafi menilai PB HMI harus membayar mahal segala kelakuannya. Penolakan LPJ berimbas pada ‘cacat organisasi’. Pemecatan Affandi dan penolakan LPJ PB HMI merupakan sanksi organisasional sekaligus sanksi sosial atas kinerja buruknya.
Kondisi PB HMI di bawah kepemimpinan Affandi sebagaimana yang ditulis Kak Syafi, karena gersangnya pemahaman pengurus atas Konstitusi, pedoman pokok, dan ketentuan HMI lainnya. Sebagai salah satu akibatnya, fenomena politik praktis di HMI makin mengental, bahkan mampu mengubah keputusan-keputusan organisasi. Politik praktis inilah yang membuka ruang transaksi kepentingan hingga janji materiil serta fasilitas yang perlahan merusak HMI.
Peristiwa ini lumrah, terutama di momen agenda besar HMI seperti Konfercab, Musda, dan Kongres. Bentuk yang dijanjikan pun beragam, mulai dari biaya kuliah hingga tiket pulang pergi. Mirisnya, tanpa berpikir panjang, oknum PB dan ‘pemain’ lainnya, tidak merasa bersalah dengan tindakannya tersebut.
Kondisi tersebut mudah ditemui, misalnya keterlibatan pengurus PB yang gemar memecah cabang menjadi dualisme, dan keterlibatan pengurus Badko memprovokasi komisariat untuk menggugat pengurus cabang. Bahkan tak tanggung-tanggung menjadi aktor pemalsuan surat-surat organisasi sampai aktif sebagai pengurus underbow partai politik.
Bergesernya kultur intelektual agamis menjadi politis, menciptakan lingkungan organisasi yang tidak sehat. Dominannya politik praktis, menjadikan ‘uang’ sebagai penentu keputusan di HMI. Dikuasainya HMI oleh pengurus-pengurus politis, melahirkan fenomena monetisasi, yakni semua hal harus diukur dengan uang.
Terakhir, menarik puisi karya Kak Sulhan Yusuf. Terkhusus pada bagian ‘Biji-biji permen bakal merusak gigi mu‘. Saya menangkap kalimat ini sebagai fenomena asing namun perlahan diterima HMI.
Fenomena memperebutkan jabatan baik di level Cabang, Badko, dan Pengurus Besar, begitu diincar, dengan menghalalkan segala cara. Kondisi ini berbanding terbalik dengan cerita-cerita senior/alumni HMI kepada saya.
“Dulu tidak ada yang mau jadi ketua cabang, bahkan kita sembunyi lantaran tahu bahwa nama kita masuk sebagai calon ketua, kita semua menangis saking tidak maunya, dan sebisa mungkin menghindari amanah besar itu.”
Begitu kira-kira, betapa besarnya amanah yang dimaksud Kak Sulhan. Kendatipun jabatan itu manis bak permen, tetapi dapat merusak gigi seseorang. Seperti inilah yang dialami PB HMI dan Affandi, yang kini kehilangan gigi-giginya karena terlalu sering mengunyah permen.
Musibah yang menimpa HMI hari ini menjadi pengingat bagi tiap kader bahwa tiba saatnya kita menyucikan kembali HMI. Semoga PB HMI periode ini tidak jauh lebih buruk dari sebelumnya.