Penulis: Fulan Bin Fulan
Pada konstitusi AD Bab V tentang struktur organisasi, pada pasal 11 kekuasaan dipegang oleh Kongres di tingkat pusat. Sehingga tidak ada kekuatan apapun itu yang dapat menganggu kelancaran kegiatan Kongres untuk terselenggara, termasuk Ketua Umum dan elit lainnya, sebab dalam ART BAB II tentang Struktur organisasi bagian A. Struktur Kekuasaan Pasal 14 tentang status, bagian a.Kongres merupakan musyawarah utusan cabang-cabang, maka apabila PB merasa bebal dengan merasa paling berkuasa, pada bagian “d dalam pasal yang sama” Kongres dapat diadakan menyimpang dari ayat c jika atas inisiatif 1 cabang, dan disetujui dari separuh cabang-cabang.
Beberapa hari yang lalu PB HMI mengadakan Pleno 3, sebuah agenda pengambilan berbagai kebijakan organisatoris, baik hal tersebut bersifat internal maupun eksternal. Hal ini dikarenakan pleno merupakan forum tertinggi dalam suatu kepengurusan oleh karenanya pengambilan kebijakan mestinya dihadiri oleh seluruh pengurus besar. Kemudian, dikarenakan pada konstitusi tidak dijelaskan secara gamblang apa muatan dari pleno III, maka mekanisme kegiatannya diserahkan sepenuhnya oleh SC berdasarkan pengalaman yang berkesudahan.
Adapun yang sudah-sudah hasil di Pleno 3 diantaranya: Penetapan tuan rumah Kongres, tanggal pelaksanaan Kongres, akumulasi evaluasi kebijakan internal serta eksternal.
Kemudian yang dimaksud dengan keseluruhan pengurus besar diantaranya, ketua umum, sekretaris jendral, bendahara umum, pengurus harian, lembaga koordinasi, lembaga khusus, dan lembaga kekaryaan. Hal ini sesuai dengan pedoman struktur organisasi, BAB III tentang struktur pimpinan bagian 2 tentang struktur organisasi tiap tingkatan.
Lebih lanjut, Kongres sebagai kekuasaan tertinggi dari tingkatan yang ada dalam bentuk musyawarah, seyogyanya dihadiri oleh perwakilan yang menjadi representasi cabangnya masing-masing, dengan pembagian jumlah utusan dan yang sesuai ART BAB III tentang STRUKTUR ORGANISASI pada pasal 16 poin J. Yang tentunya didahului oleh identifikasi kesehatan cabang.
Atas dasar tersebutlah dapat diasumsikan paling tidak Kongres dapat berjalan sebagaimana wewenang atas kuasa yang diberikan, seperti menilai LPJ pengurus besar, menetapkan AD-ART, KP, serta pedoman-pedoman lainnya, memilih ketum yang merangkap formatur beserta 4 midformatur, dan terakhir menunjuk Majelis Syuro Organisasi (MSO).
Lantas, apakah yang terjadi benar demikian. Mari kita ulas secara bersama, sehingga mampu dimaklumi kenapa konstitusi di HMI sekadar menjadi hiasan, bahkan acap kali dirobek karena malah berpikir jauh lebih hebat gagasannya ketimbang apa yang tertuang pada konstitusi.
Pertama, tercatat pada konstitusi 1 Maret 2020 disahkannya konstitusi yang baru, sehingga dapat diketahui Kongres berlangsung pada hari tersebut, otomatis jika dikaitkan dengan kondisi kepengurusan HMI periode kali ini telah jauh melampaui, dan tentu hal ini menyalahi ART pasal 14 poin C.
Sayangnya hal ini dapat dimaklumi oleh sebagian besar kepengurusan, sehingga tidak ada cabang inisiatif untuk mengadakan KLB yang disetujui oleh separuh cabang. Kemudian suara-suara sumbang bermunculan dengan gerakan tambahan yang tak sesuai dengan aturan yang berlaku, bagi saya orang semacam ini ibarat mengepel lantai dengan kain kotor.
Kedua, Kongres yang bakal berlangsung sepertinya melupakan pengurus di bagian lembaga koordinasi, dengan berfokus pada LPJ, sehingga pengurus Badko sering kali demisioner secara tidak terhormat, karena tidak diberi kesempatan untuk mengadakan musyawarah daerah terlebih dahulu sebelum Kongres diadakan, sehingga hasil-hasil Musda yang diselenggarakan diserahkan kepada pengurus besar, kemudian dipertanggungjawabkan secara umum pada Kongres. Jika ini terjadi, maka tidak ada lagi Badko yang menyebrang periode kepengurusan PB yang baru, seolah-olah badan pada tingkatan sendiri.
Ketiga, penentuan peserta Kongres selalu melompati dasar status kesehatan suatu cabang, sehingga cabang yang tidak memiliki aktifitas perkaderan dan perjuangan leluasa saja bergabung menjadi bagian dari musyawarah yang sedang berlangsung, maka tak heran kalau hasil musyawarah belakangan ini menjadi kurang hikmat, sebab kehadiran oknum tersebut.
Keempat, kapan terakhir kali musyawarah membimbing AD-ART, sehingga tau-menahu ada pengesahan terhadapnya, sekiranya pengesahan tanpa ulasan merupakan omong kosong, dan berakhir seremonial belaka. Maka jagan heran hal penting serupa penunjukan MSO sering dianggap biasa saja, padahal MSO menjadi pengawas sekaligus pengawal hasil-hasil musyawarah apakah dijalankan oleh struktur pimpinan atau tidak. Maka, ketiadaan MSO berarti membiarkan struktur pimpinan bertindak sewenang-wenang, karena merasa tidak diawasi.
Kelima, sebagai persiapan menjemput Kongres perlu kiranya membuka konstitusi, mempelajari lalu menghayati, paling tidak pada pedoman atribut kita menyadari kesalahan yang dipertontonkan yakni penulisan MPO di bawah logo, merupakan kesalahan fatal yang dianggap benar. Bagi saya ke semua ini sama dengan merobek konstitusi.
Terakhir, menurutmu jelas berbeda dengan menurut saya sendiri, karenanya mari sama-sama kembali pada aturan main dalam berlembaga yakni konstitusi. Konstitusi yang tidak penting mengajarkan pada saat membuat bendera di bawah logo ada tulisan MPO.