Literatur

Merubah Kebohongan Menjadi Seni Kejujuran yang Indah

Published

on

Oleh: Jiddan Fahmiullah (191310026) Mahasiswa Aqidah dan Filsafat (AFI)/5 UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Sudah tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa manusia pasti pernah , atau bahkan sudah menjadi kebiasaan, dan bahkan dijadikan profesi bagi orang yang tidak bertanggungjawab, sudah berapa banyak orang yang kita rugikan karena , baik kepada teman, guru, anak, murid, sahabat, kekasih atau bahkan kepada orang tua, baik itu dalam bentuk membela diri, menutupi aib, kepentingan pribadi, menipu, membantu, mendidik atau bahkan dalam bentuk jihad.

Sebenarnya bagaimana hukum muasal dari ? Para ulama sepakat bahwa hukum muasal dari adalah haram, yang berarti jika dilakukan akan mendapatkan dosa, namun sebagian ulama hukum bohong ini bisa berubah dengan catatan bagaimana situasi dan kondisinya. Dari beberapa ulama salah satunya Imam An-Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa berbohong itu dibolehkan asalkan dalam kondisi tertentu, seperti halnya dalam hadis nabi yang artinya: Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Ummu Kultsum, tersebut mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bukankah seseorang pendusta orang yang berusaha mendamaikan antara seseorang dengan yang lain sehingga tumbuh kebaikan atau ia jadi berkata baik.” Ummi Kultsum lebih menjelaskan, “Saya tidak pernah mendengar Rasulullah SAW membolehkan orang berdusta kecuali dalam tiga perkara, yakni dalam perang, mengislahkan (mendamaikan) antara seseorang dengan orang lain, dan suami bercerita kepada istrinya atau sebaliknya istri kepada suaminya (menjaga keharmonisan keluarga).

Menurut penulis, hadis ini masih belum jelas atas tafsirannya, karena jika dilihat dari segi arti ini masih dalam bentuk mengglobal, yang pasti di dalamnya akan banyak pengecualian. Maka menurut penulis tidak ada yang diperbolehkan dalam agama , meskipun dalam bentuk pembelaan diri ataupun jihad sekalipun. Apa salahnya kita berkata jujur dan berkata apa adanya sesuai fakta. Karena di setiap pasti ada resiko yang akan menimpanya sebagai balasan kebohongan itu. Seperti halnya yang dikisahkan oleh Nabi Ibrahim AS, ketika ia melakukan perjalanan bersama istrinya dan dihadang oleh salah satu raja dan kemudian dimintai keterangan, “Siapakah orang yang di samping engkau wahai Ibrahim?”, Nabi Ibrahim pun menjawab, bahwa itu adalah saudara perempuanku, padahal itu adalah istri Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim menutupi hal itu karena Nabi Ibrahim takut jika ia mengakui kalau itu istrinya, maka pasti akan diambil oleh raja tersebut. Nabi Ibrahim melakukan kebohongan itu karena ia takut di ambil istrinya oleh raja tersebut, padahal Allah selalu ada disisi Nabi Ibrahim, sekalipun ia berkata jujur dan diambil istrinya, Allah pasti akan mengembalikan istri Nabi Ibrahim sesuai dengan kehendak-Nya. Kemudian kisah ketika Nabi Ibrahim yang mengaku sakit ketika hari raya penyembahan berhala dan kemudian ia menghancurkan patung-patung raja Namrud.

Baca Juga:  Atas Nama Ideologi

Dan kisah yang terkenal adalah patung-patung yang di buat oleh Raja Namrud seketika patung-patung itu dihancurkan oleh Nabi Ibrahim, dan Nabi Ibrahim menyisakan satu patung yang paling besar, dan Nabi Ibrahim mengalungkan kapak yang digunakan untuk menghancurkannya di patung yang paling besar. Tak lama kemudian Nabi Ibrahim di panggil oleh Raja Namrud dan dimintai keterangan untuk mengakui apa yang telah ia perbuat kepada patung-patung Raja Namrud, dengan penuh keberaniannya Nabi Ibrahim berkata “Wahai Raja, atas dasar apa kau menuduh saya bahwa saya yang menghancurkan patung-patung engkau wahai Raja? Bukankah itu sudah jelas bahwa kapak untuk menghancurkan patung-patung kecil itu dipegang oleh patung yang paling besar? Pasti patung itulah yang menghancurkan patung-patung kecil itu wahai Raja?” Raja Namrud pun marah atas apa yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim, “Ya Ibrahim aku tidak bodoh, mana mungkin patung itu bisa bergerak apalagi untuk menghancurkan patung-patung kecil itu, mana bisa ya Ibrahim?”Dengan lantangnya Nabi Ibrahim pun menjawab “Wahai raja, sungguh anda terlalu naif, engkau mengatakan bahwa patung itu tidak bisa bergerak yang tidak memiliki daya sedikit pun apalagi memberi harapan kepada manusia dan bahkan mustahil bisa menghancurkan patung-patung kecil itu namun kamu masih saja menyembah kepada patung-patung mati itu wahai Raja, lantas siapa yang paling bodoh?” Seketika raja merasa malu dengan perkataan Nabi Ibrahim, karena secara logika ada benarnya apa yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim. Namun dengan keangkuhannya, Raja Namrud tidak ingin dijatuhkan oleh Nabi Ibrahim. Dan akhirnya Nabi Ibrahim menyuruh anak buahnya untuk menghukum dengan membakarnya hidup-hidup, namun atas ijin Allah Nabi Ibrahim tidak merasakan panasnya api itu, justru Nabi Ibrahim merasakan kedinginan dan ia pun terselamatkan dari hukuman Raja Namrud itu.

Halaman SebelumnyaHalaman 1 dari 2 Halaman

Lagi Trending