Oleh: Yunda Irat Suirat, Kabid Infokom HMI MPO Cabang Serang
Hallo, bagaimana kabarmu hari ini? Bolehkah aku mengingatkanmu untuk terus menjaga kesehatan dan mematuhi protokol kesehatan?
Aku juga mau bilang, kamu jangan kemana-mana ya kalau urusanmu tidak begitu penting.
Eh, kamu pernah enggak sih mencintai seseorang, barang, atau objek lainnya?
Izinkan aku menyimpulkan tentang ini. Aku yakin kamu pernah merasakan jatuh cinta, baik ditingkatan biasa saja, atau justru tingkatan yang paling dalam (luar biasa).
Aku di sini bukan mau membahas tingkatan jatuh cinta kok, apalagi mencampuri urusanmu yang sedang dalam fase mencintai seseorang. Itu hakmu.
Hanya saja, pernahkah kamu jatuh cinta kemudian merasa sakit karena mencintai? Itu pasti ya, karena “Jatuh cinta itu sepaket dengan patah hati.” Kita harus siap patah hati jika kita telah menaruh hati pada selain diri kita sendiri.
Apakah kamu pernah mendengar bagaimana nasib para veteran?
Iya veteran, para pejuang kemerdekaan saat Nusantara, bangsa, dan negara Indonesia sedang berada di bawah kekuasaan para penjajah. Mereka dengan sungguh-sungguh mengorbankan jiwa, raga, harta bahkan nyawa mereka untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana kabar mereka hari ini?
Ya, mungkin beberapa dari mereka baik-baik saja karena beruntung di kelilingi oleh keluarga yang berkecukupan. Tapi tidak sedikit dari mereka yang justru “Terlantar.” Mereka yang seharusnya menikmati hasil jerih payahnya, tetapi saat ini di masa tuanya juga harus bersusah payah lagi demi memenuhi kebutuhan hidup.
Apa kabar Indonesia saat ini?
Bangsa yang katanya memegang teguh akronim “Jas Merah” tapi ternyata beberapa sejarah justru hilang dari peradaban, dan sekarang bahkan muncul kalimat “Sejarah itu milik para pemenang, siapa yang menang maka dia akan mampu mengendalikan sejarah.”
Mengapa bisa muncul kalimat seperti itu? Silakan ikuti alur kehidupan negara ini dan jangan lupa baca buku-buku sejarah.
Kembali ke veteran…
Iya, mungkin akan sangat kerepotan sekali jika seluruh veteran harus diberikan fasilitas yang sangat luar biasa. Harus ditulis dan dinobatkan sebagai pahlawan yang turut andil dalam merebut kemerdekaan, karena sampai hari ini sangat banyak dari mereka (veteran) yang sedang memperjuangkan -lagi- masa tuanya.
Seseorang akan berkata “Tapi veteran banyak banget, dan para pejuang kemerdekaan itu tidak bisa dihitung jari, dan tidak semua dari mereka berjuang sampai titik darah penghabisan, ada yang mereka memang hanya berjuang sekali atau dua kali saja. Ada juga dari mereka yang hanya menyaksikan pertempuran saja.”
Oke, sudah kukatakan tadi bahwa akan “kerepotan” jika harus menulis dan menobatkan seluruh pejuang kemerdekaan sebagai pahlawan di negara ini. Maka dari itu mari kita lihat hal-hal yang baru deh, mereka yang belum tua-tua amat, mereka yang lahir pasca-kemerdekaan yang memberikan kontribusi lebih dari orang-orang pada umumnya.
Kamu pernah dengar, para pejuang dan pemenang piala perunggu, emas, dan kejuaraan lainnya di masa mudanya yang kini hanya menjadi warga biasa, tanpa dipedulikan oleh negara? Padahal di masa muda, mereka menghabiskan waktu untuk membanggakan bangsa ini, mengharumkan nama bangsa di kancah internasional.
Tidak sedikit dari mereka yang harus bersusah payah untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai contoh, kita bisa lihat Bapak Suharto, sang atlet sepeda pada masanya yang harus berlapang dada menjadi tukang becak. Denny Thios, atlet angkat besi yang harus menjadi tukang besi. Dan masih banyak lagi dari mereka yang harus berlapang dada dengan perkejaan yang mereka jalani sekarang.
Bukan tanpa alasan mereka memilih jalan tersebut, keadaan ekonomilah yang memaksa mereka untuk mengambil langkah yang 180 derajat perbedaannya.
“Tidak akan sakit hati seseorang ketika mencintai dengan tulus.”
Iya aku mengakui itu, aku juga tidak mengatakan bahwa mereka sakit hati pada negara yang yang telah diperjuangkannya ini. Tapi apakah tega melihat seseorang yang sudah berjuang dan berkorban tapi diabaikan? Ibarat kata “Dipuji ketika masih berjaya, ditelantarkan ketika sudah tak berdaya.”
Mereka, para pejuang, sudah ikhlas dengan keadaannya saat ini, sudah menikmati hari-harinya dengan tangis, canda dan tawa (mungkin). Ikhlas adalah salah satu cara untuk terhindar dari segala hal. Tidak berharap lebih adalah kuncinya.
Aku menuliskan ini bukan berarti melarang kamu untuk berjuang atau menjadi pemenang untuk negeri ini. Justru aku sangat mendukung jika kamu mempersembahkan diri, hati, tenaga, dan seluruh kemampuan kamu untuk mengharumkan nama bangsa, dan itu memang hal yang harus dilakukan oleh anak bangsa. Tapi di luar itu, janganlah menaruh harap terlalu tinggi terhadap timbal balik negara kepada prestasimu.
John F. Kennedy (Presiden Amerika Serikat kala itu) pernah berkata “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyakanlah apa yang kamu berikan kepada negara.”
Berhati-hatilah ketika kamu akan menaruh hati. Boleh mencintai, tapi sewajarnya saja. Karena seni menyakiti diri sendiri adalah menaruh harap berlebihan kepada sesuatu hal.
Jatuh cinta adalah fitrah, mencintai lawan jenis adalah bagian dari bunga kehidupan, mengharumkan nama bangsa adalah sebuah keharusan, berserah diri pada Sang Pencipta adalah sebuah kehormatan.
Teruslah melangkah menyusuri jalan. Sekali lagi aku tegaskan “Jatuh cinta itu sepaket dengan patah hati.” Maka jangan pernah salah menaruh hati yaa.
Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini, tetap jaga kesehatanmu. Salam hangat dariku 😊