Oleh: Kanda Muhammad Aldiyat Syam Husain, Direktur Kornas LBHMI
(Ditulis untuk pengantar diskusi Perkumpulan Rumah Rehab)
Wacana penundaan Pemilu 2024 santer terdengar beberapa partai politik dan elit politik atau politisi mewacanakan perpanjangan masa jabatan Presiden (presidential term). Secara terang-terangan partai koalisi pemerintah yaitu, PAN, Golkar, dan PKB menyampaikan pendapat agar Pemilu 2024 ditunda selama 1 sampai 2 tahun. Beragam alasan-alasan yang dilayangkan untuk memuluskan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden, mulai dari Pandemi Covid-19 yang belum selesai, pemulihan ekonomi sosial, hingga keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Sebelumnya, mengemuka wacana untuk penambahan masa jabatan Presiden 3 periode namun isu tersebut langsung ditanggapi Jokowi bahwa pemerintahannya akan tegak lurus terhadap konstitusi, dan dirinya sama sekali tidak ada niat, juga tidak berminat untuk menjadi Presiden 3 periode.
Lalu bagaimana respon publik terkait wacana ini? Dalam rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) 48% warga tahu atau pernah dengar tentang usulan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi hingga tahun 2027, sedangkan 52% tidak tahu. Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan merincikan satu per satu alasan yang digunakan para pengusul dari wacana tersebut. Dimulai dari alasan Covid-19 yang belum berakhir. Secara keseluruhan 70,7% publik lebih menolak perpanjangan masa jabatan presiden.
Dikalangan yang mengetahui isu ini, penolakan terhadap wacana ini lebih tinggi lagi yaitu 74%. Sementara dikalangan yang tidak tahu isu ini, penolakannya sedikit lebih rendah ternyata tapi tetap mayoritas yaitu 67,5% (Sindonews.com,3/3).
Dari hal tersebut dapat kita lihat: Pertama, wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi lebih banyak atau mayoritas masyarakat Indonesia “menolak” menurut survei LSI yang dilakukan 25 Februari sampai 1 Maret 2022; Kedua, jika wacana ini semakin tersebar dan diketahui publik maka tingkat penolakannya cenderung akan semakin tinggi.
Dengan sendirinya alasan-alasan perpanjangan masa jabatan Presiden seperti mulai dari Pandemi Covid-19 yang belum selesai, pemulihan ekonomi sosial, hingga keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dirasa semakin tidak masuk akal karena wacana tersebut tidak memiliki alas argumentasi konstitusional yang kuat.
Dalam ketentuan pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke 4 menegaskan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil selama lima tahun sekali. Dan ketentuan pasal 7 mengatur Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Ketentuan yang mengatur masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden bersifat tetap (fix term) yaitu lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Secara jelas konstitusi kita tidak mengenal dengan adanya penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden sama artinya menunda regenerasi kepemimpinan nasional dan akan sangat berpotensi mencelakakan demokrasi dalam cengkraman oligarki bahkan otoritarianisme.
Apabila usulan tersebut terealiasi ini merupakan bentuk pelanggaran konstitusi dan berpotensi menimbulkan degradasi demokrasi, bahkan otoritarianisasi. Steven Livitsky (2018), “Negara memiliki kuasa untuk melaksanakan kehendaknya. Dan pada titik tertentu, kondisi itu akan menyebabkan matinya demokrasi.”
Perubahan konstitusi dengan tujuan hanya untuk penundaan Pemilu dan penambahan masa jabatan Presiden baik melalui jalur formal ataupun informal adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi yang ada dalam konstitusi. Padahal nilai-nilai konstitusionalime justru bertujuan untuk membatasi kekuasaan, menjamin hak asasi manusia, dan mengatur struktur fundamental ketatanegaraan. Olehnya itu, tidak tepat konstitusi diubah hanya untuk menunda pelaksanaan Pemilu. Penundaan Lemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden seolah menegaskan bahwa tujuan bernegara adalah demi kekuasaan, bukan sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
Keadaan darurat tidak mutlak dapat dijadikan alasan untuk menunda Pemilu dan/atau memperpanjang masa jabatan Presiden. Setiap masa periode kepemimpinan memiliki tantangannya sendiri tentu juga memiliki strateginya dalam merealisasikan program-programnya dalam periode yang sudah ditentukan. Ada begitu banyak problematika paling mendasar saat ini dihadapi masyarakat tetapi pemerintah justru dianggap gagap memberi solusi, salah satunya krisis minyak goreng misal harganya yang meroket, kelangkaannya, dan antrean panjang masyarakat, dan kabarnya gula diprediksi akan menyusul akibat harga impor tinggi.
Sebelum keadaan ini semakin belarut-larut pemerintah harus fokus dan cepat menemukan solusi permanen dan memutuskan kebijakan yang tepat, bukan kebijakan tambal sulam yang keliru. Daripada sibuk mencari kambing hitam atau memikirkan cara menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan Presiden.
Apapun argumentasi dan upaya-upaya memuluskan wacana tersebut sesungguhnya sangatlah tidak etis untuk dilakukan karena wacana tersebut secara jelas bertolak belakang dengan Undang-Undang Dasar 1945, walau kehendak elit penguasa tetap memaksakan sekalipun melalui DPR/MPR dengan diadakannya Sidang Istimewa amandemen konstitusi misalnya, untuk penundaan pemilu dan/atau masa perpanjangan jabatan Presiden, namun jika kehendak itu nantinya dilaksanakan tentu akan menabrak etika politik demokrasi itu sendiri.
Wallahu A’lam Bishawab