Oleh: Kanda Zunnur Roin, Sekretaris Jenderal PB HMI MPO
Bagi seorang muslim, keseimbangan ketakwaan dan kecerdasan ditakar jika mempunyai niat dan tujuan yang benar dan adil. Takaran tertingginya adalah kebergantungan kepada Allah SWT (QS. 3:18). Kesadaran untuk memanifestasikan frekuensi tauhid dan intelektual tersebut ke jalur ibadah vertikal (Habluminallah) dan horizontal (Habluminannas), tercetuslah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai narasi zaman yang kelak berinjak pada usia 77 tahun di 1443 Hijriyah ini. Kesadaran yang digiring oleh orang-orang yang mengalami fase penjajahan itu, menegakkan cita-cita teologis dan berpijak pada aspek masa depan kemanusiaan/kehidupan bernegara yang merdeka.
Di era tahun 1945-an, konsolidasi perjuangan rakyat dalam merefleksi kemerdekaan mengalir dari basis ideologi yang bervariasi. Oleh Lafran Pane dan rekan-rekannya yang se-mahasiswa Islam, meneguhkan semangat untuk mendeklarasikan HMI pada 14 Rabiul Awal 1366 Hijriah. Dengan tujuan mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia; serta menegakkan dan mengembangkan agama Islam. Etape HMI sejak berdiri hingga sekarang, telah banyak melukiskan khazanah Indonesia sebagai sebuah negara.
Mencintai Sejarah yang Dinamis
Catatan kesejarahan HMI meniscayakan realitas zaman, sehingga pasang surut HMI tidak bisa divonis final pada indikator kesejarahan yang sempit. Sebagai komunitas sipil yang berbudaya dan melembaga, HMI berkecimpung ke dalam dinamisnya pergolakan zaman yang turut menantang HMI agar tetap bisa hidup dan berdayaguna. Yang tak luput dari urgensi kesejarahan HMI adalah: Pertama, mengabadikan perkaderan sebagai esensi ketahanannya. Kedua, senantiasa mengintegrasikan ide dan gerakan emansipatoris dalam kompleksnya problem lingkungan sosialnya.
Babak kesejarahan HMI adalah anak kandung zamannya, yang praktis dibebankan pada generasi zamannya. Ikhtiar HMI dalam membumikan tujuannya telah banyak membentuk generasi tanah air yang ketokohan dan pemikirannya diakui dan bermanfaat. Hakikat organisasi kader begitu adanya, yakni membentuk proses tumbuh individu sehingga berakhlak, kontributif, kompetitif, dan adaptif pada banyak sektor. Bagaimana HMI menjawab itu telah diformat dengan metode perkaderan yang berbasis pada pembangunan kualitas spiritual dan intelektual kadernya di forum-forum training, serta diaktualisasikan di laboratorium kehidupan yang dinamis.
Terbatas, tulisan ini tidak ingin mengisahkan romantika kesejarahan yang terkungkung pada pemujaan kesuksesan ‘orang-orang HMI’ misalnya. Tetapi mengajak kita (kader HMI) untuk ‘menggelisahi’ tanggung jawab yang dibebankan sejarah pada generasi sekarang. Sehingga betapa pentingnya HMI yang paradigmatik, metodologis ini tetap progresif dan tidak dimurkakan oleh pewaris sejarah selanjutnya. Intinya, tuntutan ber-HMI pada idealita kekinian pun tidak boleh menafikkan kesadaran historis masa lalu, serta mampu meretas jalan-jalan rumit sejarah masa depan.
Universalitas Islam dan Citra Politik HMI
Islam yang menjadi asas HMI sejatinya telah memosisikan gerak HMI pada ruang yang universal. HMI adalah representasi entitas Muslim dunia yang berkedudukan dalam negara yang mayoritas muslim (Indonesia). Memeriksai HMI sebagai satu objek dari lanskap ekonomi-politik global, bukan tidak mungkin. Sebab watak pertarungan global tidak jarang menjadikan agama sebagai konstruksi ide dalam desain geraknya.
Kita dapat membaca bagaimana agama telah memainkan perannya yang signifikan dalam konstelasi global. Berkembang, Islam tak luput dilihat sebagai faktor meluasnya ketakutan melalui pembudayaan hukum-hukumnya secara global. Argumen yang dilukiskan Huntington dalam tesisnya tentang “benturan peradaban….” itu setidaknya memunculkan sentimen Islamophobia yang akut, sekaligus menghawatirkan masa depan buram peradaban yang penuh pertengkaran. Gelombang demokratisasi telah menghempas kebanyak sisi kehidupan. Demokratisasi yang berjilid dalam fase kehidupan modern, secara bersamaan telah menggeser peta geopolitik dunia. Berakhirnya perang dingin telah memporak-porandakan Uni Soviet, sebagai pertanda kekalahan Blok Timur yang memenangkan Barat, dengan Liberalisme-Kapitalisme-Demokrasinya. Fukuyama berpendapat, liberalisme, kapitalisme, dan demokrasi adalah akhir sejarah. Mungkinkah demikian, bila Islam meyakini akhir sejarah kehidupan dunia dengan gambaran fenomena yang menawarkan peluang varian jihad berbasis keyakinan beragama? Wallahu A’lam Bishawab.
Pada perspektif itu, kepedulian sosial HMI tidak boleh hanya terbatas pada variasi isu sektoral yang selalu digerakkan oleh setiap strukturnya. Namun harus melek pada sisi tata kelola sistem fundamental bernegara kita. Politik HMI yang bernilai, sedang ditunggu wujudnya. Suka tak suka, itu perlu.
Jauh ke depan, di era reformasi Indonesia (1998-sekarang), demokrasi yang dijunjung tampak berjejak dengan wujud kesejahteraan yang berjalan lamban. Dalam konteks ini, HMI memilih tidak meletakkan demokrasi pada tafsir seperti kalangan yang menginginkan khilafah itu. HMI tetap memilih berkelindan dalam hasil konsesus tentang sistem politik yang dihasilkan dari pendemokrasian yang dulu diperjuangkan bersama-sama. Sayangnya, HMI dinilai telah tunduk pada aturan main demokrasi yang diakuisisi sepihak oleh negara melalui pengamalan demokrasi proseduralnya. Alhasil, HMI dianggap tak lebih sebagai organisasi yang terkesan hanya menyumbangkan buih-buih elektoral. Dengan kata lain, HMI telah terjebak dalam framing pengorganisasian massa yang secara sempit untuk kebutuhan politik non-holistik, wujud kebutuhan yang individualistik, culas, dan rakus. Pada praktik lainnya, HMI dinilai melongo sembari menelan pil pahit demokrasi, dimana pelemahan atas kontrol sipil membudaya melalui streotipe intoleran,radikal oleh rezim yang ‘norak’ dan antikritik.
Menatap Kepemimpinan Nasional Indonesia
Pada satu perspektif, pendirian HMI adalah agenda politik yang mulia. Dimensi kemanusiaan dalam kehidupan bernegara merupakan tekad yang penting diperjuangkan secara terus menerus. Artinya, titik balik cita-cita pendirian HMI harus segera diteguhkan melalui pendekatan yang tak berjarak pada dialektika politik yang sebenarnya. HMI harus dijauhkan pada narasi perjuangan yang penuh dengan kepura-puraan hingga berakhir sia-sia. HMI mesti menjadi koordinat pada titik-titik hubung konsolidasi politik atas political will yang ingin diperjuangkan, tidak lagi sebagai subordinat atau bahkan terpinggirkan. Perlu dijernihkan, bahwa keterhubungan tersebut bukan dengan memasukkan HMI dalam pusaran sistem politik praktis, namun lebih kepada aktualisasi kredibilitas dan integritas HMI selama proses dari sistem politik itu berjalan.
Sebagai contoh, ijtihad HMI dalam kepemimpinan politik nasional adalah wujud artikulasi kepentingan Islam dan nasionalisme sejati. Dengan demikian, HMI hendaknya sebagai pengusung narasi komprehensif yang diintegrasikan melalui gerakan konsolidasi dan sosialisasi ide kepada lapisan elit dan akar rumput. Narasi yang tidak semata-mata memantaskan siapa yang pantas, namun memantapkan gagasan tersebut sebagai rujukan yang pantas dipertimbangkan. Metode yang digunakan pun mesti diadaptasikan pada standar etik dan indenpendensi yang dianut HMI.
Tafsir liar tidak dielakkan bila memaknai unsur politis dalam tulisan ini . Maklum, tulisan ini bukan citra politisasi HMI, terbatas merupakan refleksi atas pilihan HMI yang perlu mengedepankan aspek fundamental ikhwal situasi politik yang berkembang. Dalam hal ini, opsi kepemimpinan nasional lah yang diprioritaskan. Yang diharapkan mampu membawa cita-cita ke–Indonesiaan sebagai negara mayoritas muslim yang berkebhinekaan.