Oleh: Muhammad Aldiyat Syam Husain / Direktur Kornas LBHMI PB HMI
Kitab undang-undang hukum pidana atau KUHP yang berlaku merupakan produk hukum Belanda sejak 1918 atau sampai saat ini 104 tahun.
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna ke-11 masa persidangan II tahun 2022-2023 berhasil mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP dan secara resmi sah menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP. Namun, pengesahan RKUHP menjadi KUHP ini tentu tidak semulus keinginan penguasa ditengah berbagai kontroversi di masyarakat terhadap isi RKUHP.
Kontroversi dalam RKUHP yang menjadi sorotan masyarakat salah satunya adalah tindak pidana khusus yaitu pelanggaran Hak Asasi Manusia (gross violations of human rights) sebab, KUHP baru ini mengubah penyebutan pelanggaran HAM berat menjadi Tindak Pidana Berat terhadap Hak Asasi Manusia.
Perubahan penyebutan dalam KUHP baru, secara teknis bisa tidak bermasalah, tetapi konsekuensi normatif yuridis jika sudah disahkan, yakni UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (selanjutnya disingkat “UU No.26/2011”) harus dilakukan perubahan untuk menyesuaikan dengan penyebutan dalam RKUHP. Lalu, ketika dilakukan perubahan terhadap UU No. 26/2000 tidak akan menghilangkan kekhususannya yakni dapat berlaku surut.
Menurut Anis Hidayah Komisioner Komnas HAM (Tempo.co, 6/12), ada dua asas penting yang belum dipastikan akan dimiliki pasal pelanggaran HAM berat di RKUHP atau tidak, yaitu asas retroaktif dan tidak mengenai daluarsa.
Asas retroaktif memiliki sifat khusus dikarenakan KUHP yang masih belaku saat ini tidak mengenal ketentuan tersebut dan memungkinkan kasus pelanggaran HAM masa lalu di proses secara hukum, karena UU No. 26/2000 dapat berlaku surut.