Rumah Restorative Justice saat ini tengah gencar dibentuk di setiap daerah di Indonesia, tidak terkecuali di Provinsi Banten. Berdasarkan pemberitaan yang beredar, Kejaksaan Tinggi Banten telah membentuk sebanyak 8 Rumah Restorative Justice di seluruh daerah di Provinsi Banten.
Sebelum melanjutkan tulisan ini, penulis ingin menyampaikan disclaimer terlebih dahulu bahwa segala yang tertulis di sini merupakan murni opini penulis, pendapat penulis, dan kejadian serta perasaan yang dialami oleh penulis yang minim pengetahuan hukum. Tulisan ini juga bukan untuk membuka luka di masa lalu, namun sebagai pembelajaran ke depan.
Bagi sebagian orang awam, termasuk penulis, kalimat ‘Restorative Justice‘ baru banget didengar pada kisaran pertengahan tahun 2021. Pada saat itu, penyelesaian perkara hukum ringan melalui mekanisme Restorative Justice atau keadilan restoratif mulai sering digaungkan di media massa.
Secara teknis, mungkin saja warga Banten dan sekitarnya baru mengetahui apa itu penyelesaian perkara melalui Restorative Justice ketika perkara ‘pembajakan’ ruang kerja Gubernur Banten oleh massa aksi buruh pada akhir 2021 lalu, mulai bergulir di Polda Banten. Sekitar 6 buruh ditetapkan sebagai tersangka.
Pada saat itu lah Restorative Justice semakin dikenal oleh masyarakat. Restorative Justice yang dalam penyelesaian perkaranya mengedepankan penyelesaian yang adil antara pelaku dan korban dengan pemulihan ke kondisi semula tanpa adanya dendam antara kedua belah pihak, mulai digaungkan masyarakat.
Dorongan dari masyarakat untuk bisa menyelesaikan perkara pembajakan ruang kerja Gubernur Banten dengan keadilan restoratif pun berbuah manis. Gubernur Banten pada saat itu, Wahidin Halim, akhirnya memaafkan para buruh dan mencabut laporannya di Polda Banten.
Namun bagi penulis dan sebagian anggota HMI MPO Cabang Serang, konsep Restorative Justice sudah dirasakan dan diterapkan pada September 2020. Tahun yang sama ketika Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Kejaksaan RI nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Mahkamah Agung RI menerbitkan SK Dirjen Badan Peradilan Umum nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif.
Mengapa demikian? Karena pada saat itulah, Anta, penyandang tunagrahita korban pengeroyokan, menang atas 7 bulan perjuangannya dalam mencari keadilan. Bukan dengan konsep ‘lo yang berbuat, lo terima akibatnya‘, tapi dengan konsep ‘kamu berbuat, mari rundingkan penyelesaiannya, kita kembali bersaudara‘. Restorative Justice.
Oke agar tidak terlalu meraba-raba kondisi pada saat itu, penulis akan gambarkan sedikit kronologis kejadian pengeroyokan Anta, hingga akhirnya perdamaian bisa tercapai pada bulan ketujuh pasca-peristiwa.
Anta yang merupakan penyandang tunagrahita, pada sekitar bulan Maret, tengah berjalan-jalan seperti biasa. Memang, meskipun menyandang tunagrahita, Anta tetap bisa bermain sendiri dan selalu tahu jalan pulang. Namun pada saat itu, nasib buruk menimpa Anta. Warga desa tetangga yang tidak tahu bahwa Anta merupakan penyandang tunagrahita, mencurigai Anta sebagai ‘orang jahat‘.
Hal tersebut lantaran Anta kerap mondar-mandir di pemukiman warga tersebut. Hingga pada puncaknya, Anta pun dikeroyok oleh warga desa tersebut. Kondisi semakin rumit karena Anta tidak bisa diajak berkomunikasi oleh warga yang menangkapnya.
Beruntung warga setempat ada yang mengenali Anta sebagai warga Desa Sanding. Hingga akhirnya ayah dari Anta, Romi, datang menjemput Anta yang kondisinya sudah babak belur. Anta pun dilarikan ke Fasilitas Kesehatan terdekat untuk diberikan pengobatan.
Hari berikutnya, ayah Anta kembali ke lokasi pengeroyokan untuk meminta pertanggungjawaban atas peristiwa tersebut. Namun, tidak ada yang mau bertanggungjawab. Pada saat akan terjadi perdamaian, barulah diketahui bahwa warga setempat takut untuk berterus terang dan memilih bungkam.
Kesal dengan bungkamnya warga, ayah Anta pun akhirnya mengambil jalur hukum. Peristiwa tersebut dilaporkan ke Polsek Cadasari. Akan tetapi, berbulan-bulan laporan dari ayah Anta tersebut tidak mengalami progres yang nyata.
Hingga akhirnya pada bulan kelima pasca-peristiwa pengeroyokan, keluarga Anta meminta bantuan kepada HMI MPO Cabang Serang untuk membantu advokasi masalah yang menimpa mereka.
Pengurus Cabang Serang Periode 2020-2021 memang menetapkan isu disabilitas sebagai isu prioritas kepengurusan. Berbagai upaya pun dilakukan untuk bisa membantu Anta, mulai dari melakukan manajemen isu media massa, audiensi dengan Polres Pandeglang, hingga menggelar aksi unjuk rasa di Polda Banten. Semua dilakukan untuk mendapatkan atensi dari pihak Kepolisian, atas kejelasan perkara tersebut.
Aksi di Polda Banten membuahkan hasil. Pihak Kepolisian mulai serius dalam menangani perkara tersebut. Sejumlah warga pun dipanggil untuk dimintai keterangan, hingga akhirnya sekitar 4 atau 5 (penulis sedikit lupa) warga ditetapkan sebagai tersangka pengeroyokan.
Penetapan tersangka itu pada akhirnya membuat heboh warga desa tempat peristiwa terjadi. Mereka tidak menyangka perkara yang sudah lama mandek di Polsek Cadasari, bisa sampai pada penetapan tersangka.
Berbagai upaya lobi pun bermunculan menghampiri keluarga Anta, tidak terkecuali kepada HMI MPO Cabang Serang. Sempat salah seorang senior HMI mencoba melakukan lobi kepada HMI MPO Cabang Serang, namun ditolak. Sebab, yang dibutuhkan oleh keluarga Anta adalah permohonan maaf langsung dari para pelaku.
Hingga akhirnya pada suatu momen, datanglah puluhan warga desa tetangga itu ke rumah Anta yang dijadikan basecamp HMI MPO Cabang Serang selama melakukan advokasi. Alhamdulillah, kedatangan puluhan warga itu bukan untuk mengamuk atas penahanan para tersangka, namun untuk meminta maaf secara langsung kepada keluarga Anta.
Mereka yang hadir adalah anak, adik, kakak, istri, ibu, dan ayah para tersangka. Mereka mewakili para tersangka, meminta maaf atas kejadian yang menimpa Anta. Kejadian itu disebut merupakan bentuk spontanitas warga.
Mereka pun menyampaikan jika seusai kejadian, para pelaku pengeroyokan bersama dengan perwakilan warga sempat datang ke rumah Anta untuk meminta maaf. Namun pada saat itu, keluarga Anta sedang tidak ada di rumah. Kemungkinan sedang mengantar Anta berobat.
Diketahui pula pada saat itu, para warga berniat kembali datang ke rumah Anta untuk meminta maaf lagi. Akan tetapi, terdapat pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, yang membuat permintaan maaf tersebut tidak sampai kepada keluarga Anta, dengan embel-embel perkara akan selesai tanpa ribet.
Satu jam lebih mereka menyampaikan permintaan maaf dan klarifikasi kejadian, hingga akhirnya mereka pulang meski keluarga Anta tidak memberikan jawaban pada saat itu juga atas perkara mereka.
Keluarga Anta pun meminta tanggapan dari HMI MPO Cabang Serang terkait dengan hal itu. Sebagai pihak yang melakukan advokasi, tentu HMI MPO Cabang Serang pada saat itu hanya ingin agar Anta mendapatkan keadilan atas peristiwa pengeroyokan tersebut.
Namun kembali lagi pada sudut pandang, keadilan seperti apa yang diinginkan oleh keluarga Anta? Dalam hukum formil saja, ada sejumlah pendekatan keadilan, seperti keadilan retributif dan keadilan restoratif.
Sejak awal, HMI MPO Cabang Serang menginginkan keadilan restoratif lah yang menjadi akhir perjuangan tersebut. Karena, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat antar rakyat saling berseteru. Alhamdulillah, keluarga Anta memilih Restorative Justice dalam penyelesaian perkara tersebut.
30 September 2020, keluarga Anta, HMI MPO Cabang Serang dan warga desa tempat kejadian pun akhirnya datang ke Polres Pandeglang. Di sana, antara keluarga Anta dengan perwakilan desa tempat kejadian pun menandatangani surat perdamaian, disaksikan oleh HMI MPO Cabang Serang dan Satreskrim Polres Pandeglang.
Deru tangis dan haru menyeruak usai para tersangka pada akhirnya keluar dari tahanan Polres Pandeglang. Para tersangka disambut oleh para keluarga mereka dengan pelukan. Antara keluarga Anta dan warga desa tempat kejadian pun akhirnya saling bersalaman dan berpelukan.
Pasca-perdamaian tersebut, laporan datang ke HMI MPO Cabang Serang dari keluarga Anta. Mereka menyampaikan bahwa hubungan kedua belah pihak usai perdamaian bahkan selayaknya keluarga yang sangat dekat.
Bagi penulis, perjuangan dari keluarga Anta dan kebesaran hati mereka dalam memilih ‘jalan‘ keadilan restoratif, harus menjadi salah satu contoh, bahkan monumen, bagaimana Restorative Justice yang saat ini tengah digembar-gemborkan, merupakan solusi penyelesaian perkara pidana ringan yang sangat Indonesia banget. Mengedepankan kelapangan hati dan sangat berdampak positif.
Bahkan, jalan keadilan restoratif yang ditempuh oleh keluarga Anta dapat penulis katakan berada di tingkat tinggi, karena dilakukan tanpa campur tangan penegak hukum, baik Jaksa, Polisi maupun Hakim. Semua murni atas kebesaran hati keluarga Anta.
Sehingga bagi penulis, tidak berlebihan jika rumah Anta yang berada di Desa Sanding, Kabupaten Serang, yang menjadi saksi perjuangan hingga keputusan perdamaian tersebut, disebut sebagai Rumah Restorative Justice pertama di Kabupaten Serang, bahkan Provinsi Banten.
Mengapa harus hidup penuh dendam, jika semua bisa menjadi saudara se-perkopi-an dengan jalan keadilan restoratif?