Jangan tinggalkan saya, jangan biarkan saya terus tersesat. Saya mohon bimbinglah saya, karena sayalah yang paling membutuhkan bimbingan.
Mungkin saya tak menjanjikan bisa menjadi yang terbaik, tapi saya berjanji akan menjadi lebih baik bila selalu ada yang bersedia untuk membimbing diri yang hina ini.”
Saya teringat penelitian guru besar jurusan Fotografi di University of Florida, yang saya dapati di buku
Atomic Habbits karya James Clear.
Pada suatu semester di Universitas tersebut, guru besar bernama Jerry Uelsmann membagi
mahasiswa fotografinya menjadi dua kelompok
Kelompok satu diberi nama kelompok “kuantitas”, sedangkan kelompok dua diberi nama kelompok “kualitas”. Dua kelompok ini memiliki penilaian yang beda selama satu semester.
Kelompok “kuantitas” akan mendapatkan nilai jika mereka mengumpulkan sejumlah foto. Semakin banyak foto yang terkumpul maka akan semakin banyak nilai yang didapatkan.
Mahasiswa yg membawa 100 foto akan dapat nilai A, yg membawa 90 foto, dapat B dan 80 foto akan dapat nilai C dan seterusnya.
Sebaliknya, kelompok “kualitas” akan mendapatkan nilai hanya dilihat dari kualitas gambar tersebut. Semakin bagus dan sempurna karya itu maka akan semakin besar nilai yang didapat.
Pada akhir semester, Uelsmann mengumpulkan karya-karya
mahasiswa dari kedua kelompok tersebut. Akhirnya dia mendapati bahwa ternyata semua foto terbaik dihasilkan oleh kelompok “kuantitas”.
Karena selama semester itu, kelompok “kuantitas” sibuk membuat foto, bereksperimen, menguji berbagai metode, dan belajar dari kesalahan-kesalahan mereka. Berbeda dengan kelompok “kualitas,”selama semester itu mereka hanya melamun tentang kesempurnaan. Sehingga mereka hanya sedikit menunjukkan bukti usaha mereka. Tidak ada dari mereka yg menggali teori-teori yang diajarkan di perkuliahan, sehingga hanya menghasilkan foto biasa-biasa saja.